COBA DULU: Gowes Bandung–Bogor, Seperih Apa?

Ruzbi atau Ubit kecil tidak suka kegiatan outdoor. Udara dingin membuat kulitnya bentol kemerahan. Udara gerah membuatnya gelisah, suasana ramai membuatnya terganggu. Dia lebih senang di rumah, membaca dan main game.

Meski begitu, selera humornya lumayan. Sering kali komentarnya membuat saya melongo tiga detik dulu baru tertawa. Ucapannya lugas cenderung pedas. Sesekali juga dia dapat masalah karena kelugasannya itu—tapi itu nanti cerita lain.
Ketika remaja, dia mau berkegiatan di luar, tetapi tetap lebih suka di rumah—workout, main game, atau tidur.

Bapaknya mulai mengajaknya bersepeda jarak dekat—sekadar biar segar dan biar punya kegiatan bareng anak. Mungkin semula Ubit bersepeda demi menyenangkan bapaknya, eh, lama-lama jarak tempuh kian jauh, arena gowesnya pun bervariasi: jalan raya hingga jalanan tanah yang naik turun, becek, dan tidak ramah.

8 Januari 2022 ada tour bersepeda dari Bandung ke Bogor. Bapaknya mengajak Ubit ikut serta. “Bapak ingin mengajak Ubit membuat milestone baru yang akan membuatnya lebih yakin pada kekuatan tekad, percaya diri, dan memiliki pengalaman tak terlupakan,” begitu kata bapaknya.

Saya ragu. Bandung Bogor itu 125-an kilometer, dan Ubit akan bersepeda dari pagi hingga sore bahkan malam. Saya pergi ke Bogor bermobil sambil tidur sepanjang jalan saja capek—cemen banget, kan, emaknya.

Ajaib. Ketika ide ini ditawarkan ke Ubit, dia menyahut ringan, “Ayok. Ubit mau.”
Mereka langsung berstrategi, membuat kesepakatan bahwa acara ini milik Ubit, jadi dia yang harus berinisiatif menyiapkan dirinya. Bapak hanya mendampingi dan jadi konsultan.
Ibunya? Cheerleading dan mendukung dengan story di IG as usual.

Deal.
Program persiapan dimulai. Selain workout yang sudah jadi kegiatan rutin Ubit, mereka beberapa kali bersepeda dengan jarak yang lumayan jauh. Alhamdulillah ada pemuda lain yang ikut bersiap-siap—Jawad namanya—jadi selama masa persiapan itu, Ubit ada teman ngobrol. Biasa, bapak-bapak kalau sudah ngobrol sering lupa anak #eh.

Satu hal yang juga harus diperbaiki adalah jam tidur.
Ubit yang gamer biasa begadang. Ini haram buat goweser.
Jadi, mulailah Ubit mengalihkan kegiatan game-nya saat siang dan mulai tidur awal waktu. Ini perjuangan berat. You don’t wanna know how.

Singkat cerita, datanglah hari yang ditunggu.
Meluncurlah Ubit dan bapaknya ke titik start, Balai Kota Bandung. 700-an peserta yang terdaftar pun berangkat. Plus romli (rombongan liar), peserta mencapai 1000-an.

Bapak mengawal Ubit dan Jawad—keduanya disebut rombongan sirkus alias tim hepi-hepi. Kepada keduanya Bapak mengajak untuk menikmati setiap kayuhan, tidak memboroskan power di awal— jangan balap di awal dan teler kemudian. Ini long ride alias gowes jarak jauh. Yang diperlukan bukan kecepatan, gunakan power seirit mungkin, bertahan hingga akhir. Gowes perlahan, santai, nikmati.

Tim sirkus meluncur perlahan, stabil. Mereka melintasi wilayah demi wilayah, bahkan sesekali menyalip rombongan pesepeda yang loading (pesepeda yang mengangkut sepeda dengan mobil), pesepeda yang naik ojek atau yang bergelimpangan teler di sisi jalan. Mereka juga menyaksikan Bapak mengalami pecah ban. Justru mentornya yang kena perkara! 😀

Dari video yang kemudian saya saksikan, terlihat perjuangan dua pemuda ini tidak main-main. Mereka bukan hanya mempertahankan irama kayuhan, tetapi juga harus dalam kondisi waspada penuh karena berkendara di jalan raya yang tidak ramah pesepeda sungguh mengerikan. Mereka dihajar lelah, sengatan panas matahari, dan diguyur hujan.

Medannya pun bukan sembarangan, apalagi buat pesepeda pemula. Dari Bandung hingga perbatasan Cianjur jalan menurun. Di Cianjur jalan mendatar. Tanjakan pertama adalah ke arah Cipanas, dan tanjakan yang ganas tentu menuju Puncak Bogor.
Jalan turun maupun naik sama-sama menantang. Saat jalan menanjak, tantangan ada di power pesepedanya. Saat jalan turun, tantangannya ada di medan yang bisa jadi berbahaya dan bisa membuat sepeda melaju tanpa kendali.

Nah, pada check point pertama di KM 72, Ubit mulai kelelahan secara fisik, tetapi semangat masih menyala. Tangan Ubit sudah membiru karena terlalu lama menggenggam setang. Bapak memberi trik untuk berganti-ganti cara menggenggam. Urusan sementara selesai.

Masalahnya, mereka masih harus melewati tanjakan tinggi 25 km.
Di check point kedua di KM 94, mulailah mental Ubit yang down. Capek dan perasaan “ini kapan sampainya” mulai menyerang. Kabut mulai turun, hawa dingin menyergap. Ubit bilang kedinginan dan lelah.

Posisi mereka di tanjakan Cimacan. Di titik inilah biasanya para goweser tumbang beramai-ramai dan banyak yang memutuskan loading saja.

Bapaknya berkata, “Sabar. Kita istirahat dulu. Ada tiga tahap menuju loading. Kayuh dengan rasio gigi sepeda yang paling ringan, dorong sepeda, atau loading. Jadi mau bagaimana?”

Setelah mengancingkan jaketnya, Ubit menjawab, “OK, Pak. Ubit coba dulu.”

Ubit dan Jawad mengayuh lagi. Kayuhan Ubit sudah mulai oleng, tetapi dia tetap bergerak perlahan. Lama-lama semangatnya bangkit lagi, dan meluncurlah mereka kembali dengan stabil.
Eh, keterusan!

Mereka pun sampai ke Puncak Pass, ke warung Mang Ade Puncak (MAP) yang dikenal sebagai kuil para goweser. Kabarnya, siapa pun yang sampai sana bak ditasbihkan resmi sebagai goweser.

Kabut yang kian tebal mencegah mereka berlama-lama di MAP. Tim Sirkus kembali bergerak, mengayuh hingga titik finish!

Dengan turunan dari Puncak ke arah Bogor yang panjang dan tajam, dengan situasi lalu lintas yang sangat padat, sudah malam pula, pertaruhan mereka sungguh berat!
Ini tidak main-main bagi dua pemuda yang baru pertama kali menjajal rute ini.

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah.
Touch down Balai Kota Bogor!
Sampai juga saatnya para finisher merayakan kemenangan di GOR Pajajaran. Tercatat 536 peserta yang terverifikasi sebagai finisher.
Luar biasa!

Benar, ini milestone yang akan menjadi milik mereka selamanya.
Ubit, di usianya yang ke 17 mendapatkan pengalaman lahir batin, insyaallah, juga bagi Jawad yang tepat merayakan ultah ke-20 keesokan harinya.
Keduanya berhasil melewati tantangan atas diri mereka sendiri, diganjar medali finisher.

Khusus bagi Ubit dan bapaknya, tour Bandung Bogor ini semoga menguatkan ikatan father and son dan menjadi hadiah bagi keduanya. Ibu dan kakak-kakaknya salut pada Ubit yang berani menerima tantangan, menyiapkan diri dengan baik—bukan sekadar ikut-ikutan tanpa perhitungan—dan menjalani prosesnya dengan tekun.

Saya salut kepada bapaknya yang sejak awal mendedikasikan dirinya sebagai pengawal tim sirkus, padahal seharusnya dia bisa meluncur cepat bersama para goweser kawakan lainnya. Ini hadiah dari Bapak buat Ubit, katanya.

So, thank you so much.

Lantas peran Ibu apa?
Seperti biasa, dia cukup merasa berjasa dengan dukungan berupa doa dan post-post nebeng eksis di medsos.
😀

HARI IBU?

Apa kabar, Bu?

Sudah sarapan?

Ah, mungkin belum sempat.

Mungkin bayi atau balitamu rewel hingga malam, dan kau tidur terlambat.

Mungkin tadi subuh kau bangun terhuyung-huyung dengan kepala berat.

Mengeluh? Ah, lagi-lagi mana sempat?

Hari ini, seperti hari-hari yang lain, mungkin kau mendapati bak cuci piring terisi penuh.

Mungkin meja makan dan mainan berhamburan, buku berserakan tak beraturan.  

Mungkin lantaimu kotor oleh remah-remah kue, lengket oleh percikan susu dan jus sisa semalam.

Mungkin kakimu perih menginjak nasi kering yang mengeras tajam.

Keranjang baju kotormu tak pernah kosong, selalu terisi tanpa jeda.

Mungkin juga hari ini kau sedang resah.

Anak sakit atau rewel, sedangkan kau harus segera berangkat bekerja.

Mungkin hari ini kau sungguh ingin membelah diri.

Antara berpelukan dengan buah hati, atau mencari nafkah untuk keperluan esok hari.

Mungkin pula hari ini kau sedang berdoa dan berusaha menyingkirkan rasa ragu,

atas pencapaian putra putrimu yang beranjak remaja dan dewasa,

lantas berjuang meyakinkan diri, bahwa mereka akan bahagia sampai akhir waktu.

Bu, mungkin di antara istirahatmu, tangan dan isi kepalamu itu bergolak tak henti.

Lisan dan batinmu mendaras doa bagi anak-anakmu,

anak yang lahir dari rahimmu, juga anak yang tumbuh dalam pengasuhanmu.

Sejak dulu, sejak rambutmu masih hitam legam, hingga uban muncul satu demi satu.

Meski begitu, Bu.

Di antara napas pendek karena resah atau lelah, selalu ada senyum itu.

Tidak ada yang sepenuhnya tahu, berapa banyak air mata mengalir,

dan selalu cepat-cepat terhapus oleh punggung tanganmu.

Tak ada yang persis tahu, berapa kali sehari kau menarik napas panjang,

agar dapat menegakkan diri  dan menyebarkan kegembiraan.

Karena saat kau tersenyum, anak-anakmu mendapatkan energi yang melimpah.

Mereka dapatkan kekuatan menghadapi hari ini dan esok.

Mereka siap menjadi bagian dari hari-hari yang penuh tantangan.

Ingatkah, kau, Bu?

Saat mereka berhasil, kau yang pertama kali mensyukurinya walau dari kejauhan.

Saat mereka gagal, kau yang pertama kali merentangkan tangan menawarkan pelukan.

Mereka berani karena  yakin selalu ada tempat untuk pulang.

Salam takzim untuk semua ibu. Katanya hari ini Hari Ibu, ya? Sudah sarapan?

Jaga kesehatan selalu.

Anna Farida

Simpul Jiwa

Beberapa hari ini media yang biasa saya baca diwarnai oleh obituari yang didedikasikan untuk  pakar komunikasi, Dr. Jalaluddin Rakhmat. Penghargaan dan pengakuan atas luasnya ilmu datang dari para pakar, ulama, petinggi, juga para murid yang berutang ilmu dan kebaikan.

Saya sendiri sebenarnya hingga saat ini masih overwhelmed, bingung mau menulis apa. Kegemaran menulis saya juga dibentuk oleh beliau melalui buku-buku karya beliau dan berbagai forum yang beliau ampu. Saya benar-benar patah hati karena kehilangan.

Saya sangat ingin bisa menulis seperti beliau. UJR wannabe tetap jadi cita-cita saya. Karena itu, ketika ingin menulis tentang beliau, saya justru bingung mau mulai dari mana.

Oke, saya ceritakan saja salah satunya.

Dalam sebuah forum, seperti biasa beliau menyebutkan dan menayangkan aneka rujukan: buku dalam berbagai bahasa termasuk kitab gundul yang tidak bisa saya baca, hingga film-film pendek dari Youtube. Tampaknya beliau tahu bahwa hadirin datang dari berbagai kalangan. Emak-emak seperti saya akan lebih mudah mengerti jika disuapi ilmu dengan cara yang enteng.  

Di antara buku, ada sebuah novel yang beliau sebut, Madame Bovary. Belakangan saya tahu novel itu karya Gustave Flaubert, sudah difilmkan, dan isinya tentang sebuah pernikahan yang tragis. Dari novel itu saya mendapatkan insight  tentang pentingnya komunikasi pasutri.

Jika Ustaz Jalal hanya melayani hadirin yang pintar saja, yang mengerti kitab berbahasa Arab saja, emak awam seperti saya ini hanya bakal terkantuk-kantuk tak paham apa-apa. Berkat kuatnya daya jelajah bacaan beliau, hadirin mendapatkan kunyahan sesuai level pengetahuan dan keawaman masing-masing.

Ada kalanya saya—mungkin juga Anda—minder menghadiri forum yang bahasa dan bahasannya tidak dipahami. Perasaan semacam itu tidak saya dapati di mimbar Ustaz Jalal. Selalu ada percikan kebaikan yang bisa saya tangkap dan bisa saya ceritakan ulang pada anak-anak saya—tentu sesuai keawaman saya tadi.

Tampaknya dengan pertimbangan itu pula beliau meminta saya menuliskan pengalaman berinteraksi di dunia virtual–Second Life–dalam Psikologi Komunikasi edisi revisi. Beliau tidak main medsos, dan pengguna medsos dianggap lebih pas bercerita. Kesahajaan ilmiah yang membuat saya kian meringkuk. Saat ini cerita saya itu terselip di antara ratusan halaman buku legendaris tersebut, dan inilah yang menghibur saya di tengah suasana patah hati ini.

Berikutnya, yang juga selalu saya tunggu dan tidak akan saya dapati lagi—beneran ini saya tunggu sebagai bagian utama dari materi apa pun yang sedang dibahas—adalah kebiasaan Ustaz Jalal mengekspresikan cinta kepada istri tanpa jaim di hadapan publik, terutama ketika Bu Jalal hadir.  Ada saja cara beliau untuk menyebut Ibu, dari sekadar ucapan “Ya, kan, Mah? Naon eta teh, Mah?“, ledekan yang membuat Bu Jalal tersenyum atau tertawa kecil, hingga cerita-cerita singkat yang menghangatkan jiwa.

Simpul jiwa itu yang membuat mereka tak terpisahkan. Ibu berpulang 11 Februari 2021, Bapak wafat 15 Februari 2021. Empat hari terlalu lama untuk sebuah perpisahan, Kini keduanya senantiasa bersama dalam keabadian.

Selamat pulang, Bapak, Ibu. Kami sungguh rindu. Utang kebaikan dan utang ilmu ini akan saya bawa hingga kapan pun. Terima kasih tak terhingga.

Salam takzim,

Anna Farida