FULL DAY SCHOOL BUKAN JAWABAN

 

FULL DAY SCHOOL BUKAN JAWABAN

“Aku mau yang seharian. Full day. Jadi kuantar pagi, sore kujemput. Kalau perlu pakai jemputan sekalian biar ga repot. Sampai di rumah kan dia pasti capek. Makan, nonton TV bentar, trus tidur deh. SPPnya memang selangit, tapi sebanding kan, dengan apa yang kita dapat.”

Begitu petikan obrolanku dengan seorang kawan, waktu putri bungsunya mau masuk SD.  Akrab dengan istilah one stop shopping? Kali ini dia mau one stop school, agar anaknya bisa belajar semua hal di sekolah—dari pagi hingga sore. Dengan sejumlah banyak uang untuk uang pangkal dan SPP, dia pikir pendidikan anaknya bakal terjamin (sholat, mengaji, calistung, olah raga, seni, karakter, dll dsb…). Pendeknya, dia mau semua beres, tanpa harus repot.

Menurutku, jadi ibu itu pilihan. Perempuan bisa memilih untuk jadi ibu atau tidak. Sesudah menikah pun dia bisa mengikat rahimnya agar tak perlu punya anak—walau keputusan ini mesti disepakati suami istri.

Artinya, begitu aku memutuskan untuk punya anak, aku harus bertanggung jawab dengan pilihanku itu. Aku tak setuju dengan istilah ”kebobolan,” kecuali—ini juga mungkin—untuk perempuan di bawah umur yang belum/tidak bisa bertanggung jawab atas pilihannya.

Kembali ke full day school. Dengan memilih jenis sekolah ini, mungkin ortu berpikir bisa lepas dari sebagian besar atau bahkan seluruh tanggung jawab atas pendidikan anaknya. Senyampang anak ”dididik” di sekolah, ayah ibu tetap punya waktu penuh untuk dirinya sendiri, tanpa harus ”direcokin” anak-anak.

Not me. Saat anak-anakku sekolah di full-day school, tapi aku tetap repot dengan pendidikan mereka. Aku memang sangat terbantu dengan program lancar baca Alquran yang menjadi program sekolah, dan kebijakan minimnya PR. Jauh berbeda dengan tetanggaku yang menyekolahkan di SD negeri favorit. Tiap malam ibu dan anak sama-sama stress menghadapi pe-er yang menggunung.

Jika kawanku merasa bisa tenang setelah memilih full day school, aku sebaliknya. Karena jam belajar mereka di sekolah lebih panjang, waktuku dengan mereka jadi lebih terbatas. Aku memilih jenis sekolah ini karena tawaran programnya yang interaktif. Orangtua diperbolehkan bahkan dihimbau untuk turut terlibat dalam proses pembelajaran—That’s what I’ve been looking for.

Walaupun begitu, tidak semua potensi anak bisa dieksplorasi di sekolah. Karena perhatian sang guru harus dibagi dengan murid lain, banyak kemungkinan letupan kecerdasan mereka terabaikan atau lambat ditindaklanjuti. Bukan tak mungkin masa emas mereka lenyap tanpa jejak.

Lain halnya dengan orang tua. Bagaimanapun, mereka akan lebih bersedia memberikan diri sepenuh hati bagi anak-anak mereka sendiri.

Aku yakin bahwa sebenarnya pendidikan (baca: sekolah) adalah proses pendampingan terhadap anak-anak untuk bisa menggali potensi yang sudah dikaruniakan Tuhan kepada mereka. Di sekolah, mereka didampingi untuk memperoleh berbagai ilmu dan keterampilan interaksi dengan orang lain. Di rumah, mereka didampingi untuk menjadi pribadi yang utuh. Mengapa?

Di sekolah tetap ada keterbatasan dalam berbagai hal. Jam sekolah, jadwal pelajaran, guru, tata tertib, nyaris semua baku (walau sekolah tertentu berinisiatif memodifikasinya agar tetap ramah anak). Di sekolah pada umumnya, guru bertugas mengekspresikan dirinya sebagai pendidik. Kadang sebagian dirinya ditinggalkannya di rumah. Di sekolah, guru wajib menjalankan kewajibannya sepenuh hati walau di rumahnya terjadi huru-hara, walau sebenarnya dia sedang enggan mengajar.

Di saat yang sama, ketika di rumah, orangtua menjadi dirinya sendiri. Keutuhan diri inilah yang menurutku memoles paket pribadi anak. Di sekolah anak belajar untuk mengeksplorasi sebagian potensinya, dan di rumah dia belajar menjadi dirinya secara utuh. Anak melihat ortunya sebagai manusia yang utuh, dari bangun hingga tidur kembali. Anak belajar mengamati ortunya saat bahagia, marah, sedih, sakit, kesal, puas, atau bingung. Perlahan anak juga belajar untuk menempatkan dirinya dalam berbagai situasi yang berbeda. Mestinya mereka belajar mengekspresikan dirinya secara lebih natural ketika di rumah, bukan di sekolah.

Di rumah, anak bisa belajar dalam arti menggali semua rasa ingin tahunya, tanpa terbatas bel sekolah.

What do you think?

7 thoughts on “FULL DAY SCHOOL BUKAN JAWABAN

  1. jadi ortu adalah salah satu jenjang atau tangga kehidupan (baca : proses) dalam sebuah proses pasti banyak cara atau alternatif untuk menempuhnya. so yang penting kita sering-sering lebih mengenali tujuan keberadaan kita ini. boleh cara beragam namun tujuan jangan sampai berubah. harusnya kita bersyukur krn Allah msh memberikesempatan kpd kita untuk menambah bekal kita untuk hari esok. kalo masa remaja or awal baligh mungkin sering tk terkendali difase skrg kita raih amal soleh seoptimal mungkin. Think best to educate our children is our best choice.

  2. menurut aku sih rasanya kurang tepat kalo menyekolahkan anak2nya di full day school hanya untuk mendapatkan kebebasan waktu untuk diri sendiri….untuk ibu2 yang bekerja sebagian berpendapat dari pada dipegang pembantu lebih baik disekolahkan di full day scholl…karena dipegang pembantu anak2 belum tentu mendapatkan pendidikan yang lebih dari mereka menyekolahkannya di full day scholl…menjadi ibu memang pilihan tapi ada sebagian ibu yang tidak mempunyai pilihan untuk tidak bekerja karena alasan2 tertentu…tapi dengan adanya full day school bisa menjadi salah satu alternatif jalan keluar bagi ibu2 yang bekerja…bahkan banyak ibu2 yang bekerja, meski menyekolahkan anaknya di full day school tapi sepulang kantor dan menjemput anak2nya masih menyempatkan waktu untuk bermain dan belajar…kalo menurut aku sih sangat luar biasa dan salut untuk ibu2 yang seperti itu…

  3. Sulung saya, produk fullday scholl, benar2 fullday, masuk jam 7 pagi-pulang jam 5 petang (kalah oranf kantoran). Akibatnya, hingga SMA dia begitu cinta sekolah. Walaupun resminya sekolah usai pukul 4 petang, dia akan pulang ke rumah ketika magrib menjelang. Betapa sedihnya kami, bertahun-tahun kehilangan kebersamaan.
    Akhirnya, kedua adiknya kami putuskan Home Schooling! Kami tidak mau mengulangi kesalahan yang sama, kehilangan waktu bersama anak-anak. Tanpa disadari, tahu-tahu mereka sudah tidak membutuhkan kita.
    Lagipula, bukankah sudah menjadi tugas dan tanggungjawab orangtua, untuk mendidik dan mengarahkan anak-anaknya sesuai amanah yang diberikan Allah swt? Kelak orangtua harus mempertanggungjawabkan amanah tersebut di hadapan Sang Maha Pencipta.
    Demikian pendapat saya (tulisan mb Anna sangat menginspirasi)… 😉

Leave a comment