NIKAH SIRI

Dari empat anakku, hanya Ubit yang lahir di kampung, ketika kami sedang berlibur. Karena lahir di bidan desa, aku hanya menerima Surat Kenal Lahir—Ibu Yati, sang bidan sabar yang sudah sepuh, tidak biasa menguruskan pembuatan akte kelahiran pasien-pasiennya. Jadilah Ubit tidak punya akte kelahiran hingga kini. Setelah terlantar selama enam tahun, baru hari ini aku menyempatkan diri untuk mengurusnya.

Tadi siang aku ke kantor Pemerintahan Kota Cimahi. Lumayan banyak orang yang antri. Di sebelahku, seorang lelaki sedang berbicara dengan petugas:

“Pak, ini syaratnya belum lengkap. Mana fotokopi surat nikahnya?”

“Nggak ada, Bu. Saya nikah siri. Tapi ada keterangan dari wali dan saksi nikah.’

“Wah, kalau nikah siri, hanya nama ibunya saja yang dicantumkan dalam aktenya.”

“Lho, sejak bayi anak ini tinggal dengan saya, Bu. Saya yang urus.”

“Ya memang aturannya harus begitu, Pak. Tidak peduli anak ini tinggal dengan siapa, jika tidak ada surat nikah, ya hanya nama ibunya yang tercantum.  Emang ibunya ke mana?”

“ Saya nggak tahu, Bu. Sejak anak ini bayi, dia pergi ninggalin saya. sudah saya cari ke mana-mana. Ya udah deh, Bu. Biarin nama ibunya saja yang tercantum. Tapi secara batin dia kan anak saya. Akte kan cuma syarat formal.”

“Oh, ya sudah. Terus ini, Pak ……………………… (Bagian percakapan ini aku tidak ingat persis. Aku mendadak melamun. Entah melamunkan apa.)

“Bapak minta saja keterangan ke kelurahan, bahwa ibunya pernah menjadi warga sini…..”

“Gimana, Bu?”

Tepat saat itu, tanda terima berkasku selesai diperiksa. Sebenarnya ingin juga terus menguping—aduh,  sebenarnya aku malu mengakuinya, tapi memang saat itu aku penasaran banget.

Di rumah, aku ceritakan kejadian itu ke adik sepupuku. Kami tertawa kecil. Tanpa makna. Aku seperti presenter infotainment yang sedang berbagi gosip.

Kini, kudoakan setulusnya, semoga si anak menjadi anak penyayang, amin.