DIA BUKAN AKU

zaky, matahari kami

Hari ini Zaky, anak sulungku lulus SD. Hasil UASBN-nya 23,30. Dibandingkan dengan teman-temannya, (berdasarkan riset yang dilakukannya sendiri) dia menyatakan diri berada di posisi medium.

Setengah mengiyakan, kukatakan, “ Bagi Ibu, Zaky yang terbaik. Bagi diri Zaky sendiri, Zaky juga yang terbaik.“

Dia adalah dirinya sendiri, dan tidak untuk dibanding-bandingkan dengan yang lain. Itu yang selalu berusaha kami teguhkan dalam dirinya. Nilai itu adalah salah satu bukti bahwa dia sudah melewati tahap yang memang mesti dilalui sebagai peserta didik di sekolahnya. Itulah mengapa, dia pantas dapat perayaan.

Dia pilih Nasi Padang. Kami menyusuri Cimahi mencari rumah makan Padang, pesan dua porsi dan makan berdua saja. Air putih panas di gelas besar kami jadikan “toast” dan dengan tulus kuucapkan padanya, “Selamat, ya, Kak Zaky sudah lulus SD.” Berikutnya … rendang yang pedas pun menghentak selera.

Hasil UASBN Zaky memang sesuai prediksi, berdasarkan hasil beberapa try out sebelumnya. Kutunggu komentarnya atas nilai yang dia peroleh. Tak juga dia bicara. Aku berjaga-jaga, siapa tahu dia menyatakan kekecewaan, agar bisa menghiburnya. Aku ingin jadi orang tua yang membesarkan hatinya. Jadi  pahlawan (yang sok bijak).

Belakangan ini Zaky banyak dapat pelajaran kecewa. Mula-mula dia gagal ujian masuk SMPN 1 Cimahi yang SBI. Berikutnya nilai UASBN-nya “medium“. Yang teranyar, jalur penerimaan siswa melalui prestasi musik ke salah satu SMP Negeri di Cimahi juga kecil peluang lulusnya.

Dia menyaksikan sendiri betapa petugas pendaftaran di SMP tersebut mengabaikan kemampuan bermusiknya, karena tak satu pun piagam dimilikinya. Sempat dia ngeper melihat beberapa orang yang urung mendaftar karena dianggap tidak memenuhi kualifikasi.

Kubilang, “Let’s fight. Nothing to loose. Nanti ketika ujian praktek, anggap saja latihan rutin.

Semangatnya kembali pulih, walau tidak menggebu seperti sebelumnya.

Meski begitu, tetap tak ada gejala dia mau curhat. Akhirnya aku yang penasaran. Kutanya bagaimana perasaannya. Hanya dua jempolnya yang teracung. Matanya tetap ke layar komputer.

Menurutnya, nilainya itu cukup, bahkan di atas prediksinya sendiri. Kucoba pancing, mungkinkah dia menyimpan rasa cemburu pada kawan-kawannya yang nilainya lebih tinggi. Jawabnya di luar dugaan, “Nggak, dong. Be brave. Aku kan harus percaya diri. Lagian, aku bukan mereka.“

Mataku basah. Kalau aku jadi dia, saat ini suasana hatiku pasti awut-awutan. Ya! Kalau aku jadi dia. Nyatanya, aku bukan dia, dan dia bukan aku. Itulah mengapa dia santai saja, sedangkan aku penasaran. Jadi, sebenarnya yang kepingin curhat? Siapa yang sebenarnya cemburu? Aku atau dia?

Selamat, Nak, kamu lulus. Ibu belum 🙂

WHEN WRITING IS BY NO MEANS EASY

Just now, some cyber friends of mine wondered whether I’ve been so occupied that no postings recently. Surely, I always wanna write anything. However, this very moment, I just wanna let everything occurs as it is. Without notes. Why?

I use to write anything concerning my family as well as myself. Instead of contemplating every single miscellaneous thing, I just jot down anything to be remembered next months, next years…. As for my family (my kids particularly), I write about them as a splash of my love. I wish, someday when they’re grown up, and eventually browse this blog, they will find out how I’m proud of them, how I love them.

There are ample stories to be shared, actually, such as learning new softwares for my books to be or trying the new method for my kids (who are learning English through their new e-books). Much laughters, much tears…but I just wanna keep them for a while.

So, writing anything is sometimes a piece of cakes. On the other hand, when the moment of truth comes, it’s by no means easy. That’s why.