Phantom of the Opera

phantom-w-face

foto: Burdekin Theatre

Qosima Luthfa alias Upeng (9) sedang terpesona oleh Phantom of the Opera. Mula-mula entah bagaimana dia suka lagunya. Seneng aja, katanya. Berbagai versi youtube pun dia setel.

Kemudian dia mulai berusaha menyanyikannya sambil sesekali berseru, “Sing my angel of music! Sing for me!”

Saya santai saja, tapi kakaknya, Ubit (12), protes.

“Serem, Bu, suaranya!”

Haha.

Nah, seharian ini Upeng terus mengejar saya dengan berbagai pertanyaan: kenapa Phatom pakai topeng, dia cacat sejak kecil atau pas sudah dewasa, dia seumur dengan Christine atau sudah tua, apakah Christine tahu siapa dia, sejak kapan Christine diajari nyanyi sama Phantom, gimana ngajarinnya … dan seterusnya.

Barusan setelah salat isya dia bilang, “Seharian ini Upeng tanya terus soal Phantom, ya Bu. Upeng juga heran kenapa suka. Penasaran, sih.”

Biasanya, ketika penasaran tentang sesuatu, saya ajak dia googling. Lagi pula, biasanya dia googling sendiri. Khusus film ini dia tanya-tanya melulu dan saya berusaha menjawabnya—padahal saya juga harus diam-diam googling karena film ini sudah lama dan saya lupa sebagian detailnya.

Belum niat nonton lagi, sih. Walaupun penuh lagu yang indah, film ini agak gloomy. Kesedihan dan kesepian Phantom benar-benar berhasil dibagikan pada penonton. Itu juga alasan saya masih menahan diri mengajak Upeng nonton bareng.

Mungkin besok saya masih harus berjaga-jaga melayani pertanyaan anak 9 tahun tentang kematian Phantom dan mengapa selama ini dia bersembunyi. Kalau dia lapar gimana? Kan gedung opera itu tidak selamanya dihuni. Apakah dia harus ke warung atau ke pasar? Pipisnya di mana? Apakah di atas atap ada kamar mandinya? Kenapa tidak ada orang lain yang berusaha menyelidikinya—ini pasti ditanyakan karena Upeng adalah pembaca Detektif Conan.

Jadi, malam ini saya tunda beberapa pekerjaan yang sudah mepet tenggatnya. Saya belajar tentang Phantom dulu agar besok tak perlu mengeluarkan jurus ngeles, eheheh.

Selama jadi ibu, hal yang paling menantang adalah menyiapkan diri untuk memberikan jawaban paling seru dan obrolan yang disukai anak-anak. Saya merasa jadi orang yang paling berprestasi ketika anak-anak manggut-manggut mendapatkan jawaban dari saya—walau tidak semua jawaban itu benar. Ya itu tadi, lebih banyak ngeles-nya. Saya merasa jadi komunikator terandal ketika anak-anak tak mau beranjak saat saya berbicara. Kadang mereka terus bertanya sambil membuntuti saya yang mondar-mandir di dalam rumah sambil mengerjakan ini itu.

Penafian: itu hanya terjadi ketika yang saya bahas adalah hal yang mereka inginkan, yang menyangkut kepentingan mereka.

Ketika yang saya obrolkan adalah kepentingan saya: jadilah anak yang baik, saleh, penurut, rajin bantu Ibu, mau beres-beres tanpa disuruh — wiii, beda banget reaksinya.

Bahasa tubuh mereka akan menjauh, ingin segera melarikan diri dari saya. Raut muka mereka datar, tanpa binar. Suara mereka pun cenderung perlahan, kosakata pun terbatas, “iya, maaf, oke …”

OOT: Tadi si sulung lapor tukang sampah belum datang dan aroma tak sedap mulai muncul. Dia berinisiatif akan membuang semua sampah kami ke TPS besok pagi. Antusiasme terasa sekali ketika keinginan muncul dari dirinya sendiri. Beda banget dengan kejadian … ah, lupakan, saya malu.

Balik ke Phantom yang misterius.

Saya sudah dapat beberapa informasi penting, dan siap menjadi narasumber besok pagi. Itu pun jika Upeng masih berminat membahasnya. Saya juga pernah semalaman mencari asal usul emoticon hati, mengapa dia jadi simbol cinta, gara-gara Ubit kecil bertanya.

Keesokan harinya ketika saya berapi-api memaparkan muasal simbol “lope-lope” ini, dia mengerutkan dahi sambil bertanya, “Emang kemarin Ubit tanya apa, gitu, Bu?”

Glek!

Jadi, mari berseru saja, “Sing my angel of music! Sing for me!”

😀

Paraklita V

layout

Paraklita V – foto milik SCM

Begitu masuk ke dalam ruangan yang cenderung gelap, Upeng (8) menarik tangan saya dan berbisik, “Ini bioskop?”

Dia lupa pernah masuk ruang yang sama di acara serupa tahun lalu.

Setelah duduk dan menyaksikan tata panggung, dia masih bertanya, “Kita mau nonton film?”

Saya menggeleng sambil nyengir.

Sebenarnya sejak pagi Upeng dan Ubit sudah tahu kami mau nonton Paraklita, pentas teater anak. Rupanya bagi Upeng, nonton berarti bioskop, atau film, atau Youtube, atau Ganool—haha, kata terakhir ini sering jadi bahan tertawaan di rumah. Mohon maaf kepada para penggemarnya #tutupmuka.

Saya beruntung karena rasa penasaran Upeng segera terjawab. Panggung dibuka, cerita segera dimulai. Ingatannya tergugah, dan lirikan saya menangkap bibirnya membentuk bulatan, menyuarakan kata “Ooo”.

Saya biarkan dia cari posisi nyaman. Kisah dibuka dengan kehidupan pesantren yang teduh di zaman penjajahan Belanda. Sifat usil lima santrinya berbuah rangkaian peristiwa, termasuk serbuan Belanda ke pesantren. Tergambar suasana kala itu, walau samar anak-anak jadi tahu beratnya perjuangan bangsa Indonesia di masa lalu.

Eh, di antara ketegangan ada tokoh Pak Lurah yang bikin gemas. Bagi anak-anak sih lucu karena gerak-geriknya mengundang tawa, dan bajunya kedodoran. Tapi bagi penonton dewasa, Pak Lurah ini bikin ingat pada tokoh manipulatif yang sering muncul di televisi #eehhh

Upeng dan Ubit khusyuk nonton, hanya mengaduk isi tas saya cari kue dan minuman saat jeda. Ketika paduan suara anak dengan kostum warna warni mulai menyanyi, Upeng terpesona. Tampangnya berganti-ganti antara serius, tersenyum, terbata-bata ikut bernyanyi, dan menggoyangkan kaki. Saya gatal pingin memotretnya. Biasa … buat nebeng eksis di media sosial, huehehe. Tapi tidak jadi, kok. Tak santun mengganggu penonton cilik yang sedang khidmat.

Karena itu pula, di antara musik dan alur cerita yang mengalir apik dan jeda yang tidak terasa, saya membatin syukur. Untung, ada sekolah yang mau repot menggelar acara seperti ini.

Sekolah Cerdas Muthahhari memberikan Upeng dan Ubit sentuhan manusiawi, bukan sekadar sentuhan grafis di layar. Menyaksikan anak sebayanya tampil dengan percaya diri akan memberinya pengalaman yang positif, insya Allah—suwer, saya mencoba mencari anak yang malu-malu di panggung, tidak nemu!

Semua tampil lepas, ceria, dan total, termasuk dua anak yang didorong di atas kursi roda—yah, basah deh, mata. Saat lazimnya panggung jadi ajang tampilnya anak-anak “berbakat” saja, panggung Paraklita V menjadi milik semua anak. Masing-masing menampilkan apa yang disukai apa yang diminati: drama, gitar, jimbe, karinding, paduan suara, bela diri, tarian daerah … kumplit!

Semua punya peran menebar kebahagiaan, senapas dengan nama acaranya. Kata Pak Ketua Yayasan yang memberikan sambutan, Paraklita artinya dia yang membawa kebahagiaan, merujuk pada Sang Nabi yang disebutkan dalam kitab-kitab terdahulu—basah lagi deh, mata.

Tema “Azimat Keberuntungan” yang dimainkan tahun ini meninggalkan pesan beragam: cinta orang tua, cinta tanah air, setia kawan, komitmen, keberanian, bahkan pengarusutamaan gender!

Masih banyak cerita, yang tersampaikan sebagian dan yang tak terucap. Kalau saya tuliskan semua bisa jadi buku, deh! Terima kasih atas pertunjukan yang menyuburkan jiwa. Terima kasih, terima kasih.

Salam takzim,

Anna Farida

 

 

 

 

Road to ABRSM Royal

Alhamdulillahirabbil’alamiin…

Biar nggak bolak-balik buka partitur

Biar nggak bolak-balik buka partitur

Hari ini dapat kabar bahwa Zaky lulus ujian Grade 5 Violin ABRSM Royal.

Sebuah panggilan telepon membuatku heboh. Kalau dituruti, aku kepingin menangis terharu.

Mengapa se-lebay itu reaksiku?

Lha iya! Perjalanan menempuhnya bukan perkara sepele, tak semudah soal pilihan ganda yang bisa dia tebak saat Ujian Nasional.

Zaky 15 tahun, sekolah di SMA berasrama yang padat kegiatan dari pagi hingga sore. Gurunya di Swara Harmony Music School merekomendasikan dia mengambil Grade 5.

Waduh! Berat jika aku melihat kemampuan sekaligus gaya latihannya yang sekenanya.

Tapi gurunya percaya ke Zaky, sekaligus percaya diri bisa membimbingnya.

Baiklah, kuserahkan sepenuhnya keputusan ini  kepada yang bersangkutan.

Setelah berpikir beberapa minggu, dia berkata YA.

Maka mulailah kami menyusun strategi.

Kami? Maksudnya Zaky dan aku, gitu?

Ya. Tepat sekali.

Ternyata setelah Zaky berkata “sanggup”, aku harus sangat terlibat dalam proses ini. Sang guru memberiku tugas mendampingi dan memastikan Zaky latihan sesuai porsi.

Dan itu TIDAK mudah.

Jadwal les dan latihan diatur sesuai dengan jadwal dan kegiatan sekolah yang super sibuk. Sesekali (atau sering kali) Zaky sok sibuk. Haha… ngaku, Zaky!

Les, latihan, latihan, les. Satu tahun menuju D-day, Hari –H, Dinten-D.

Membuat dia berangkat les tepat waktu juga penuh perjuangan. Jadwal kereta tidak selalu tepat, angkot lebih sering melintasi daerah macet.

Dengan segala keterbatasan kesempatan, kadang latihan Zaky kupantau via skype, kadang dia kuculik dari asrama atau kegiatan kesiswaan agar bisa latihan di rumah. Satu ekskul yang menyita waktu terpaksa dia lepaskan dengan air mata, dan wali kelas serta guru-guru lain kuminta turut mendukung. Semua setuju!

Walaupun begitu, latihan tidak selalu mulus. Di antara pujian dan tawa bersama, proses ini sering juga diwarnai perdebatan tak penting, pertengkaran, marah-marahan, dan marah betulan.

Satu tahun seperti itu!

Untung tidak setiap akhir pekan Zaky bisa pulang. Kalau bisa justru kasihan dia. Kasihan aku juga, haha…

I’m a tiger mom, aren’t I? Gggrrauung!

So be it. Call me that way. Saatnya dia bertanggung jawab atas keputusannya itu.

Ketika menemaninya latihan, kendala terbesarnya adalah fakta bahwa aku tidak paham teori musik, tidak bisa main musik, tapi sering tergoda komentar sok tau. Sotoy, gitu.

Zaky sering ngambeg kalau aku mulai komentar. Kalau sedang baik, kondisi ini sering dia “selesaikan” dengan cara mengawuri aku. Dia tahu benar bahwa di tahap tertentu, ibunya nggak akan paham apa yang dia katakan atau lakukan.  Mengawuri adalah kosa kata temuanku dalam kurun waktu itu.

Ketika latihan tangga nada, misalnya, aku komentar, “Kok kayak fals, ya, Kak?”

Dia jawab enteng, “Itu tangga nada minor, Bu. Emang gitu suaranya.”

“Ooo…”

“Kak, kayaknya kata Kak Eya dan Bu Lina bagian itu mainnya jangan patah-patah, deh…”

“Nggak, Bu. Lihat partiturnya. Tanda ini artinya patah-patah…”

Huh! Mana bisa kubaca! Lagi-lagi aku hanya bisa bilang, “Oooo…”

Waktu berlari cepat.

Latihan bersama Kak Eya Grimonia dan Bu Carolina S Yana

Latihan bersama Kak Eya Grimonia dan Bu Carolina S Yana

Target les masih berjalan sesuai rencana gurunya, walau tidak optimal. Kesadaran Zaky untuk bersikap progresif timbul tenggelam. Tapi kami selalu punya harapan dan berpikir positif.

Nah…

Saat studio class pertama, Zaky gugup. Simulasi ujian yang diadakan di hadapan guru-guru Swara Harmony membuatnya nyaris menangis.

Aku galau. Gimana nanti kalau ujian beneran? Guru-guru menghibur, “Masih ada waktu, Bu…”

Studio Class kedua lebih parah karena kualitas dan kuantitas latihan Zaky merosot.

Ouugghhh…

Studio Class ketiga lumayan membaik…

Berikutnya Aural Class. Peserta ujian belajar teori dan wawasan musik klasik. Mereka juga belajar merespon pertanyaan penguji dengan cepat dan tepat. Seminggu sekali di luar jadwal les, selama dua bulan, Zaky sering pulang malam sendirian. Ini selalu bikin aku mules. Kadang dia terlambat dapat angkot, kadang miskomunikasi dengan yang menjemput, kadang hapenya tewas, bikin aku telepon sana sini untuk memastikan dia sudah sampai asrama. Dongkol campur lega ketika satpam bilang, ternyata dia sudah pulas di kamarnya. Heuu…

Akhirnya hari itu pun tiba.

Rabu, 25 September 2013. Setelah subuh, Zaky, aku, dan bapaknya meluncur menuju Hotel Hyatt, Bandung. Ujian dilakukan di sana, dan orang tua tidak boleh mendekat. Hanya peserta dan pianis pengiring yang diperbolehkan berada di sekitar lokasi. Boro-boro bisa motret 😀

Bismillah… Ini kali pertama Zaky ikut ujian.  Internasional, pula. Hanya doa yang bisa kubekalkan untuknya. Sejam kemudian, dia keluar ruang ujian dan heboh bercerita dengan suara yang emosional.

“Pengujinya nanya apa sering nggak jelas, Bu! Telingaku mendadak seperti berdengung, gitu!”

Hehe…

Bahasa Inggris Zaky terhitung bagus, jadi kecil kemungkinan dia tidak bisa menangkap pertanyaan. Tapi kalau dia gugup… kemungkinan apa pun bisa terjadi.

Agak lega ketika pianis pengiringnya berkata tiga lagu ujian bisa dimainkan Zaky dengan aman.

Sudahlah, perjuangan sudah dijalani semampu kami.

Gurunya sudah bersinergi sebaik mungkin dengan Zaky yang ajaib karena sedang berkutat dengan sekolah dan hormon remaja.

Aku melepaskan semua lelah di hari itu.

A really BIG fyuhhhh…

Begitulah ceritaku.

Zaky pasti punya cerita lain di blog-nya sendiri. Dia tak akan menuliskannya hari ini. Lagi heboh teriak-teriak dia, haha…

Selamat, mein Sohn. Maafkan semua kekhilafan yang pernah terjadi saat kita melewati  proses ini.  Lagi-lagi ibu masih harus banyak belajar jadi orang dewasa yang bener.

Terima kasih, Kak Eya Grimonia sang guru biola, dan Ibu Carolina S. Yana, sang pianis. Dunno what to say. Tak lupa, nuhun, Kak Anna, staf SH yang sering repot dengan jadwal les Zaky.

Terima kasih, Bapak, atas dukungannya dan mengizinkan Zaky ikut aural class di malam Jumat.

Psst… izin ini kuperoleh dengan negosiasi alot dan rayuan yang paling uhuk!

Penasaran dengan penilaian pengujinya?

Ini dia liputannya:

Selamat, Zaky... Ibu bangga.

Selamat, Zaky… Ibu bangga.

Lagu Corrente: 2nd movt from Sonata in D minor, Op. 5 No. 7 Corelli (25/30)

A rythmic opening and the < > were all clear. There were some tonal slips and not all of the pitching was centred but there was a sense of character.

Lagu Pastorale, Op. 23 No. 1 Rieding (25/30)

You made a good start with warm tone but there were some pitching issues yet there were some musical colour and you thought in phrases

Lagu For Latin Lovers Brian Chapple (26/30)

This was all rythmically (…) and details were graded nicely. There were a number of coordination lapses and a few tonal slips, however.

Scales & Arpeggios (16/21)

A number of slips and one scale was flawed but others were safe. Appergios were acceptable and  (….) were fine as well as the chromatic.

Sight Reading (15/21)

A reasonable attempt but with some hesitation and < > were missed

Aural Test (16/18)

One of the sung tests was wrong but elsewhere a good response.

Total: 122

Keterangan:

< > tanda dinamik, suaranya makin kenceng – makin pelan

(…) bukan tanda dinamik. Itu tanda bahwa aku nggak bisa baca tulisannya hehe

25/30 = nilainya 25, dari nilai tertinggi 30

Nilai tertinggi ABRSM itu 150. 100 = pass, 120= merit, 130= distinction

Zaky 122, MA: Merit Alhamdulillah… 

Banyak yang mesti diperbaiki. Perjalanan masih panjang. Ini awal yang baik, insya Allah.