Belajar Virtual via Skype

Minggu lalu murid-murid saya heboh. Tanpa banyak bicara, saya meminta mereka menyiapkan speaker dan kabel untuk netbook saya. Sesudahnya, secara singkat saya jelaskan bahwa salah seorang teman saya—Scott Hemmingway, seorang guru sekolah dasar di Wyoming USA—ingin melakukan kunjungan balasan. Seminggu sebelumnya, saya berkunjung ke kelasnya di Amerika sana, dan bertegur sapa dengan murid-muridnya.

Anak-anak ABG itu bengong. Apaan sih, Ms?

Video call, jawab saya pendek sambil terus menuliskan pesan ke Scott.

With HP? 3G?

No. We use my netbook.

How? Gimana sih?

Like this.

Saya klik call dan speaker kecil kami berdering nyaring. Tiba-tiba hadirlah Scott di layar saya dan menyapa murid-murid saya dengan antusias. Kebetulan di sekolah tempat dia mengajar sedang ada seminar di malam hari, jadi video call dia lakukan dari sekolah.

Tak menyangka bakal berhadapan dengan bule yang benar-benar bicara kepada mereka, sebagian besar murid saya kabur sambil cekikikan. Saya harus minta ijin ke Scott (yang disertai istrinya yang juga guru, dan beberapa guru peserta seminar) untuk membujuk mereka agar mau kembali ke depan kamera.

Duh… niat saya kan memang mau kasih kejutan ke anak-anak, ternyata mereka benar-benar terkejut, hehe…

Setelah dibujuk, dua tiga orang mau duduk di samping saya. Mereka adalah anak-anak yang biasanya ceriwis di kelas. Dan saat ini mereka bungkam. Yang lain berkerumun di belakang punggung saya, sambil sesekali melongok, agar wajah mereka tampak di kamera. Masih sambil cekikikan.

Dengan telaten Scott membimbing mereka agar angkat bicara. Dari sekedar bertanya nama dan umur, hingga meladeni pelajaran bahasa Indonesia dari anak-anak.

Di akhir lima belas menit yang kami sepakati, anak-anak bertepuk riang saat Scott berhasil mengucapkan selamat pagi…

Hari itu kami berbincang dengan dua guru dari Amerika. Kepada Bob Greenberg di New York, anak-anak mengajarkan sapaan ‘apa kabar’ dalam bahasa Sunda, dan dengan susah payah namun tetap salah, Bob berteriak, Kyumaha Madam?

Saya tak pasang target aneh-aneh, kecuali bahwa satu lagi pengalaman unik belajar bahasa Inggris diperoleh murid-murid saya. Lucunya, salah satu murid yang sedang gandrung band Korea merayu agar saya menghubungi guru yang ada di Korea. Entah mau apa dia. Hehehe… not now, kata saya.

Oh ya, hampir lupa. Saya pakai Skype. Video call antar benua di siang hari bolong? Gratis!

Catatan Pertama

Blog ini hadiah untuk Luthfa, putri cantik kami. Putri yang seharusnya (?) dimanja, tapi sering kuperlakukan biasa-biasa saja–bahkan lebih sering terbaikan saat aku mengurus keperluan kakak-kakaknya.

Saat ini dia 3,5 tahun. Niatku sederhana, rekam jejak ini adalah teriakanku pada dunia, bahwa aku mencintainya 🙂

Bahasa Bukan Sekadar Kosakata

Memahami bahasa bukan sekadar belajar kata-kata, atau susunan kalimat. Aku membuktikannya selama seminggu di rumah Mami di Jawa Tengah. Di rumah Tengaran (begitu kami biasa menyebutnya) ada beberapa orang yang dipercaya ibuku mengurus sapi. Di antara mereka ada pegawai baru, sepasang suami istri yang sudah memiliki anak bernama  Fadli. Umurnya 4 tahun lebih, anaknya sigap, khas bocah desa yang akrab dengan arit, gerobak, dan tentu saja sapi 🙂

Sehari-hari, Fadli hanya bermain dengan orang tuanya dan tukang urus sapi yang lain. artinya, semua temannya adalah orang dewasa.

Bisa ditebak, bahasanya juga sangat “dewasa”. Ibuku sempat sebal karena Fadli sering memanggilnya Makdhe atau Mbokdhe. Hehe … jika Anda ingin tahu artinya, tanyakan kepada orang Jawa Tengah. Aku pun sulit menerangkan, mengapa panggilan itu tidak disukai ibuku. Syukurlah, kini Fadli sudah pintar memanggil beliau “Sibu”. Suasana sebal pun tak lagi ada.

Kedatanganku bersama Ubit (6) dan Luthfa (3) saat liburan membuat Fadli girang. Tak pernah dia memperoleh teman sebaya selama beberapa bulan di Rumah Tengaran. Segala upaya dia lakukan untuk menarik perhatian anak-anakku, agar mau main bersamanya.

Fadli tak paham bahasa Indonesia, Ubit dan luthfa tak pandai berbahasa Jawa (salahkan ibunya).

Mulailah berbagai dialog lucu terdengar. Untuk memahami dialog anak-anak saya dengan Fadli, mungkin Anda perlu penerjemah bahasa Jawa. Saya tak ingin mengurangi keindahan nilai linguistiknya dengan menuliskan terjemahannya di sini.

Reneo …

Apa?

Rene ki lho …

Apa, sih?

Ayo ndhelik neng kene.

Apa?

Wah jan, cah iki ra ngerti opo-opo

Kamu lagi ngapain?

Ndhelik kene.

Kamu lagi sembunyi?

Kene … lha, pinter. Ndhelik kene.

Di kesempatan lain:

Mas Ubit … aku gawekno koyo kuwi

Apa?

Kuwi lho, sing mbok cekel kuwi.

Ini? Pedang?

Iyo. Ooo kuwi pedhang to jenenge?

Ya, ntar.

Itu hanya dua adegan. Banyak sekali adegan menarik di antara anak-anak yang tidak saling mengerti bahasa masing-masing. Toh mereka bermain dengan tulus dan gembira. Faktanya, bahasa sama sekali bukan sekadar kosa kata.