Surat untuk Pak Nadiem

Surat ini ditulis oleh putri saya setahun lalu.

Tadinya mau buat lomba, tapi begitu naskah dikirim, penyelenggaranya menghilang.

Ketika saya beres-beres file, muncullah surat ini.

Saya post di sini saja 🙂

Bandung, 2 April 2020

Assalaamualaikum,

Pak Nadiem, apa kabar?

Semoga Bapak selalu sehat, amin.

Nama saya Qosima, kelas VII SMPN 37 Bandung. Sekolah saya di dekat rumah, jadi saya jalan kaki pulang pergi. Bersama teman-teman, saya biasa lewat gang-gang kecil. Lebih aman daripada lewat jalan besar tapi sering macet. Tikungannya seram, sering membuat saya kaget karena mendadak ada kendaraan dari depan.

Buat saya, berangkat dan pulang sekolah bersama-sama itu seru, apalagi kalau musim hujan. Di tas saya selalu ada sandal jepit dan payung. Jadi begitu hujan turun, saya dan teman-teman lepas sepatu, lalu menerobos jalan dan gang-gang yang penuh genangan air.

Kalau hujan deras dan lama, jalan menuju rumah pasti banjir. Saya cemas tapi senang juga, soalnya bisa main air di jalan sambil bercerita dengan teman-teman. Saya tahu airnya kotor, kan luapan dari selokan. Tapi saya bisa cuci kaki di rumah. 

Kalau hari panas, saya dan teman-teman berjalan berputar-putar dulu supaya punya lebih banyak waktu bercerita. Walau sudah seharian bersama di sekolah, berjalan bersama sepulang sekolah itu menyenangkan.

Tiba-tiba kesenangan itu hilang. Karena corona, kami harus belajar di rumah.

Serius, Pak Nadiem.

Dua minggu belajar di rumah itu sudah lama sekali. Eh, setelah itu, ternyata  diperpanjang dua minggu lagi. Sejak mulai belajar di rumah, saya tidak pernah menginjak aspal jalanan. Keluar rumah untuk membeli camilan pun tidak. Membosankan sekali.

Selain bosan, tugas juga menumpuk. Dalam sehari, kami bisa dapat enam tugas dari mata pelajaran yang berbeda! Biarpun waktunya masih banyak, entah mengapa saya merasa sedikit terbebani. Mengerjakan satu soal saja tidak bisa fokus karena memikirkan tugas-tugas lainnya.

Sudah pasti bukan hanya saya yang pusing. Teman-teman sekelas saya juga ribut saling bertanya. Grup di hape yang biasanya sepi sekarang selalu berbunyi, penuh dengan pertanyaan. Tentu saja grup kelas tidak hanya satu, karena pelajarannya kan banyak. Hape saya yang lelet terus bergetar dan berdering.

Guru-guru saya juga meminta muridnya difoto ketika sedang mengerjakan tugas sebagai bukti. Ada yang minta kami membuat video juga. Tujuannya biar kami benar-benar belajar. Tapi kadang itu merepotkan. Yah, memang hari-hari pertama belajar di rumah sangat berantakan. Belum lagi kegiatan lainnya.

Selain sekolah, saya juga menekuni olahraga wushu, khususnya taiji. Biasanya saya latihan di sasana empat kali seminggu.

Karena sedang ada wabah, latihannya juga jadi di rumah, deh. Saya latihan di tempat jemuran. Ibu saya selalu menyuruh saya dan kakak-kakak berjemur. Di tempat jemuran itu saya harus pakai sepatu karena banyak batu dan kerikil. Lantainya juga tidak rata, ditambah ada tiang dan tali jemuran. Jadi susah sekali bergerak dengan benar.

Setiap pagi saya latihan sambil ditemani Ibu. Saya skipping, latihan fisik, latihan kuda-kuda, dan latihan jurus. Ibu ikut berjemur, kadang sambil menjemur baju. Kadang kakak-kakak saya juga ikutan biar saya semangat. Tapi tetap saja, latihan di rumah itu aneh rasanya.

Dipikir-pikir, jadwal di sasana kan empat kali seminggu, sekarang saya jadi latihan setiap hari. Baru sebentar, keringat saya mengucur terus. Bukan hanya karena capek, tapi juga karena berjemur di bawah sinar matahari yang begitu terik!

Pak Nadiem,

Beneran. Latihan sendirian itu tidak menyenangkan. Saya dan teman-teman biasa latihan dua jam tanpa henti di sasana dan tetap senang. Kalau sendiri, 30 menit saja saya sudah capek, tidak mood, lalu cari gara-gara biar bisa istirahat atau berhenti. Ambil minum, lah. Ke kamar mandi, lah. Sepatu kemasukan kerikil, lah. Atau cek hape siapa tahu ada tugas. Kalau sudah begitu, Ibu pasti mengomel.

Tapi, yang paling membuat saya heran adalah banyak anak yang masih saja bermain di luar. Entah siapa mereka, saya tidak kenal. Mereka main bareng-bareng, bersepeda, bahkan naik sepeda motor hingga malam tiba. Seperti sedang liburan!

Beberapa teman sekolah saya juga bilang biasa saja keluar rumah, santai saja dengan larangan tidak boleh keluar rumah sembarangan. Padahal ada risiko tertular dan ikut menyebarkan wabahnya. Beberapa teman lain mengingatkan, lalu jadi bertengkar di grup.

Pak Nadiem,

Saya bosan sekali di rumah terus.

Saya ingin segera kembali ke sekolah bertemu lagi dengan teman-teman. Saya juga ingin ke sasana. Saya rindu matrasnya. Di rumah, saya tidak berani lompat karena takut cedera. Saya juga rindu pergi latihan diantar Ibu, lalu singgah beli susu murni di pinggir jalan.

Itu saja cerita saya, Pak. Maaf jadi curhat macam-macam. Saya sekarang berusaha senang dan tidak bete lagi. Kan rugi, saya marah-marah juga tetap tidak bisa keluar. Saya berdoa berharap semua ini cepat selesai dan bisa keluar rumah lagi tanpa rasa was-was.

Terima kasih atas waktu Bapak membaca surat ini.

Wassalamualaikum,

Qosima Luthfa Anvari.  

OBOR BLARAK

OBOR BLARAK

 

Tahun lalu saya dipameri foto pesohor yang berhasil mengurangi berat badan. Semangat saya menggebu-gebu ingin melakukan hal yang sama. Berikutnya, suami saya beli sepeda (lagi) dan saya jadi bersepeda ke warung atau sekadar gaya-gayaan keliling kampung—sebenarnya sambil mengeluh sepanjang jalan karena beratnya kaki mengayuh.

 

Dari Youtube saya menyimak presentasi tentang pentingnya menata wadah-wadah di lemari dapur. Saya langsung praktik dan mendapatkan manfaatnya. Kepada dokter gigi saya berjanji untuk tidak makan yang keras-keras agar tambalan saya tidak lepas lagi, lagi, dan lagi.

 

Dengan semangat membara saya tularkan aneka tekad itu di media sosial. Gaya banget, lah, pokoknya! Saya memajang foto makanan sehat, menge-post foto sedang bersepeda, mengomel ketika lemari dapur berantakan, dan menolak keripik basreng yang menggoda. Pendek kata, militan!

 

Kurang dari seminggu, militansi itu kendur satu demi satu. Saya nglali alias sengaja lupa saat memilih jenis makanan, nglali bahwa telur gabus yang alot bisa merontokkan tambalan. Saya berhenti bersepeda dengan alasan tidak bisa cepat atau tidak sempat. Wadah-wadah di dapur mulai tidak jelas mana mangkuk dan mana tutupnya.

 

Padahal beberapa hari sebelumnya saya begitu bersemangat. Peribahasa Inggris menyebutnya new brooms sweep clean. Sapu yang masih baru hasil sapuannya bersih (ada juga, sih, sapu yang malah mengotori lantai saat dipakai—mungkin tukang bikinnya atau tukang sapunya kurang profesional). Begitu sapu mulai usang, kualitas sapuannya kian berkurang.

 

Dalam bahasa Jawa ada istilah obor blarak.

Fyi, blarak itu sebutan untuk daun kelapa kering. Sifatnya mudah terbakar. Ketika dinyalakan, api yang dihasilkannya besar dengan bunyi berisik, plus percikan bara ke mana-mana.

Wusss!

Api menyala-nyala, lantas padam tak lama kemudian, karena pada dasarnya yang dibakar hanyalah daun kering yang tipis. Bara yang dihasilkan pun nyaris tidak bersisa, langsung menghitam begitu angin berhenti berembus.

 

Dalam belajar, kadang saya kena gejala obor blarak ini.

Menggebu pada saat awal, lantas meredup tanpa proses dan hasil yang jelas. Ingin ini ingin itu, heboh tak tentu ingin jadi seperti ini atau seperti itu, kemudian padam sambil lalu. Maklum, anak muda #annanglaliumur

Watak blarak memang mudah padam. Itu kemestiannya, jadi sama sekali bukan salahnya. Hanya blarak KW alias sintetis yang nyalanya awet 😀

 

Jadi, untuk menjadi kayu yang bisa jadi bara yang bagus, yang bisa mematangkan banyak hidangan, atau menghangatkan ruangan, perjalanan saya masih panjang.

Saya kan masih muda #anothernglali

 

Salam takzim,

Anna Farida

 

 

LITERASI ANAK: PERGESERAN PARADIGMA

cerpen

FL2N 2018 Bidang Cerpen

LITERASI ANAK: PERGESERAN PARADIGMA
Oleh: Anna Farida

Tiga puluh tujuh anak khusyuk menghayati kertas folio bergaris. Pena di tangan mereka bergerak dengan irama yang beraneka. Kadang kepala mereka mendongak, menatap langit-langit, mungkin sedang menata kalimat di kepala.

Anak-anak ini datang dari sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah, atau yang sederajat dari berbagai penjuru Indonesia. Selain utusan dari provinsi di Pulau Jawa yang masih mendominasi, ada peserta dari Bali, Bali, Jambi, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Riau, Kalimantan Barat, juga Sumatra Barat. Mereka terpilih sebagai finalis lomba menulis cerpen, menyisihkan lebih dari empat ratus naskah lain.

27-31 Oktober 2018 berlangsung kegiatan Festival dan Lomba Literasi Nasional (FL2N) Sekolah Dasar 2018, yang diselenggarakan oleh Subdit Peserta Didik Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Pada kegiatan ini, lima bidang lomba dipertandingkan: menulis cerita pendek, baca puisi, cipta pantun, cipta syair, dan mendongeng. 165 peserta terpilih sebagai finalis dari seluruh Indonesia dan unjuk kebolehan di hadapan para juri yang terdiri dari para akademisi dan praktisi literasi anak.

Tema besar yang diusung adalah “Literasi Membangun Pembelajar Sepanjang Hayat” dan tahun ini anak-anak berkarya dengan tema khusus memperkenalkan budaya daerah dalam bingkai keindonesiaan yang damai.

Sebagaimana dijabarkan dalam Petunjuk Teknis FL2N 2018, salah satu tujuan kegiatan ini adalah memotivasi peserta didik untuk meningkatkan budaya membaca dan menulis sejak dini, juga mendorong tumbuhnya semangat kebersamaan dalam keberagaman.

Ketika melakukan seleksi untuk menentukan finalis, para juri saling berbagi evaluasi berkaitan dengan karya anak-anak. Dari bidang cerpen, yang ditemukan adalah mulai bergesernya cara pandang anak-anak terhadap relasi sehari-hari.

Tema keragaman budaya yang disodorkan pada finalis sebagian menjelma menjadi tulisan yang sederhana, unik khas anak-anak, ada pula yang agak too good to be true. Ada anak yang berkisah tentang perselisihan dua kelompok masyarakat beda suku dan akhirnya bisa mereka damaikan. Ada yang menulis tentang temannya dari suku lain yang kehilangan keluarga kemudian anak itu meminta orang tuanya melakukan proses adopsi. Ada juga cerita tentang anak yang bertualang ke pulau lain dan menjalin persahabatan dengan penduduk asli di sana.

Dari kacamata orang dewasa, anak-anak tampil sebagai tokoh pendamai wilayah konflik rasanya mustahil. Proses adopsi anak dari suku lain juga tidak sederhana, begitu pula bertualang ke pulau lain sendirian. Banyak faktor yang harus dipertimbangkan.

Sebaliknya, anak-anak cenderung berpikir spontan dan berani melepaskan imajinasi. Pertimbangan teknis dan detail yang biasa dilakukan orang dewasa tentu bukan ranah mereka. Jangankan ke luar pulau, mendadak tersesat di luar negeri pun bisa. Tanpa harus repot mengurus visa bahkan tanpa orang tua, mereka bisa jalan-jalan ke mana-mana. Mereka bebas tanpa sekat formalitas.

Punya imajinasi yang terbebaskan adalah privelege yang kian terkikis begitu manusia mendewasa. Meski demikian, ada pula catatan kecil yang perlu dipertimbangkan. Ada paradigma yang bergeser tentang pengamatan anak-anak terhadap kehidupan sehari-hari.

Dari cerpen yang mereka tulis, terlihat bahwa tema-tema yang diambil cenderung jauh dari keseharian. Alih-alih bercerita tentang relasi yang dijalin dalam keseharian dengan keluarga atau tetangga terdekat, mereka memilih bercerita tentang hal yang dianggap lebih istimewa atau heroik.

Tema favorit mereka adalah berlibur ke tempat yang jauh atau ikut lomba yang sulit, berlatih sangat tekun bahkan dalam waktu singkat, lantas jadi pemenang. Tema pilihan lainnya adalah bertemu dengan anak yang sangat nakal kemudian menyadarkannya, menjadi penengah antara kelompok yang saling berseteru, hingga memecahkan misteri yang seru. Pendek kata, mereka memilih tema-tema yang dianggap “wow”.

Dari aspek bahasa, sebagian anak menggunakan bahasa di luar bahasa sehari-hari. Pilihan kalimat mereka cenderung formal dan berbunga-bunga, diselingi dialog yang dramatis dan tidak natural.

Yang justru jadi hiburan yang menyegarkan adalah keberanian anak-anak menyelipkan beberapa kata dalam bahasa daerah ke dalam cerita mereka. Selama pembaca yang bukan penutur bahasa itu tetap bisa mencerna maknanya, penggunaan bahasa daerah membantu penulis cilik menyajikan narasi atau dialog yang alamiah. Walau tidak banyak anak melakukannya, ini pertanda bahwa kebanggaan anak terhadap bahasa daerahnya masih ada.

Perihal pemilihan tema favorit dan penyajian bahasa pada karya anak ini hendaknya menjadi catatan bagi para guru atau pelatih mereka. Pertama, menciptakan karya yang berkualitas tetap bisa dilakukan tema yang dekat dengan keseharian.

Dengan demikian, mereka bisa menuliskannya dengan mendalam karena pernah peristiwa atau situasi tersebut pernah dialami atau diinderai.
Imajinasi tentu sah adanya, karena pada dasarnya cerpen itu bermuatan fiksi dan berisikan hal-hal khayali. Meski begitu, imajinasi yang bagus tetap perlu dilandasi oleh pengetahuan atau pengalaman yang memadai.

Kedua, cerita yang menggugah tetap bisa disampaikan kepada pembaca melalui kalimat-kalimat sederhana. Kekuatan cerita pendek ada pada tema, penokohan, setting, dan alurnya, sementara kalimat adalah sarana penyampaiannya. Kepada anak-anak semua aspek itu bisa dilatihkan perlahan-lahan, setahap demi setahap, hingga cerita demi cerita yang mereka tulis adalah teman seperjalanan mereka menuju dewasa.

Salam literasi.

Anna Farida, Juri Bidang Lomba Cerpen FL2N 2018