Ciletuh Geopark: Nyali dan Keindahan

IMG_20160321_094257

Keragaman Bumi Ciletuh –  Jampang

Teriakan itu berawal dari sebuah buku.

 

Beberapa bulan yang lalu, bapaknya anak-anak bawa oleh-oleh buku “Keragaman Bumi Ciletuh – Jampang” karya Oman Abdurahman dan Mega Fatimah Rosana.

Dengan ukuran yang cukup besar dan tebal 170 halaman, buku ini memamerkan keindahan alam yang beragam, mulai dari bentangan sawah, air terjun, pantai, bukit yang tingggi …

Anak bungsu saya, Luthfa alias Upeng (8) paling antusias melihat halaman demi halaman.

Setiap kali melihat air terjun, komentarnya selalu sama, “Upeng belum pernah lihat air terjun asli seumur hidup.”

Waktu berlalu dan buku itu beberapa kali turun dari rak untuk dikagumi, hingga tiba kabar gembira, ada rombongan tur ke Ciletuh!

Tanpa pikir panjang, saya menyatakan ikut!

Upeng senang bukan kepalang. Ubit santai saja seperti biasa, yang penting pergi sama Ibu 😀 Si sulung sempat galau karena ada kegiatan kampus, tapi demi menemani Ibu dan adik-adik dia ikut sambil menahan serangan flu berat.

Done!

Rencana perjalanan disusun, rumah yang mau ditinggalkan pun diatur. Ali (14) dan Bapak tidak ikut, mereka harus jaga gawang sambil manyun, hehe.

Dengan ikhlas saya tinggalkan dua lelaki itu sementara, dan … let’s travel!

Ciletuh ada di kabupaten Sukabumi, tepatnya 4 jam perjalanan bermobil dari pusat kota. Sempat ciut nyali, karena kami sudah harus pakai mobil Land Rover yang duduknya menyamping. Emak-emak dan anak-anak, gitu, lho!

Tapi karena niatnya memang jalan-jalan, ya dibawa seneng saja. Beberapa kali Ubit dan Upeng ribut di jalan dan ngambek diam-diam, lalu baikan lagi, bertengkar lagi, baikan lagi, haha.

Sesekali Ubit tanya, “Kita kok on road melulu? Katanya mau off road.”

Penumpang dewasa pun saling berdiskusi, dari yang serius sampai yang pikaserieun. Prinsipnya, perjalanan itu kudu bahagia!

Alhamdulillah, rasa pegal di kaki terobati begitu kami sampai.

 

 

IMG_20160326_124825

Panenjoan – Ciletuh

PANENJOAN

Di bawah matahari yang terik, kami disambut hamparan sawah yang sangat luas, dikelilingi Lembah Ciletuh dan bukit-bukit megah yang hijau padat. Benar-benar laksana amfiteater raksasa.  Kamera hape saya yang apa adanya tak mampu menangkap semua keindahannya. Pemandangan yang aslinya hijau cerah jadi kurang cling di layar hape—ini curhat terselubung pingin kamera bagus 😛

Ubit dan Upeng dapat teman baru, Reza, dan segera main bareng. Saya pun sibuk … sibuk makan! Menunya begitu nikmat, ada ikan asin dan sambal yang bikin lupa tenggat!

 

 

IMG_20160326_144141

Curug Sodong – Ciletuh

CURUG SODONG

Air terjunnya ramah, anak-anak segera mendekat dan main air. Di sanalah ada legenda larangan membawa daun kemangi agar terhindar dari sapaan “penjaga” air terjun—saya tak mau menyebutkan namanya, takut terbawa mimpi 😀

Legenda ini menjaga budaya dan kearifan lokal yang manunggal dengan alam.

Tak terlalu lama kami di sana, namun sempat menikmati kelapa muda diiringi bebunyian unik dari kalung domba yang bebas berkeliaran merumput.

 

PUNCAK DARMA

Hati saya langsung tidak enak ketika sopir Land Rover kami bilang, “Pegangan, ya, Bu.”

This is it.

Begitu saya lihat jalan kecil menanjak dan berbatu, saya tahu, inilah saat yang tepat buat baca doa.

Dan apa yang terjadi sesudahnya tak bisa sepenuhnya diceritakan!

IMG-20160328-WA0037

Foto: Irwind

Kami diguncang dari sisi kanan kiri atas bawah. Posisi mobil bisa sangat miring, sangat menukik, dan melompat tanpa kendali, hingga saya teriak-teriak antara takut dan senang. Anak-anak juga teriak, si sulung yang semula tidur di sepanjang jalan karena flu jadi bangun dan ikut ribut. Dia lebih tenang daripada saya, tapi tetap saja ribut.

Berbagai macam doa otomatis meluncur, mungkin doa makan juga ikut saya baca saking paniknya. Pikiran lebay saya langsung bekerja, peluang antara selamat dan terjungkal dari mobil atau mobil terjungkal adalah 50:50, apalagi saya duduk di sisi paling luar.

“Ubit, we are off road now! Literally off road! Ini kan, yang Ubit mau?” teriak saya sambil terus mencengkeram tali pegangan.

Mungkin Anda pernah mual dan mabuk perjalanan karena guncangan kendaraan. Suwer! Guncangan yang ini tidak akan membuat Anda mabuk. Tidak akan sempat!

Tapi … dalam kondisi seperti itu, tetap saja kamera video saya aktif sampai Upeng dan Ubit teriak melulu, “Ibu! Jangan ngerekam wae! Bahaya!”

Tentu saya tidak akan membagikan videonya kepada Anda—teriakan saya terlalu memalukan ahahah.

Setelah kurang lebih satu jam jadi bola bekel yang sama sekali tidak lentur, sambil menyaksikan mobil lain terperosok di lumpur dan harus didorong, kami sampai di Puncak Darma.

Maha besar Allah.

Apa yang kami lihat di buku kini terbentang nyata. Teluk Ciletuh namanya.

IMG_20160326_170634

Teluk Ciletuh dilihat dari Puncak Darma

Memandang laut luas dengan gugusan pulau dari puncak bukit adalah pengalaman pertama bagi kami. Upeng memastikan bahwa benda-benda hitam di kejauhan adalah perahu, “Kan ada di buku, Bu.”

Bu Dina, teman perjalanan saya, men-zoom-nya dengan handycam, ternyata itu rombongan sarana penangkap ikan yang biasa disebut bagang oleh masyarakat setempat.

Kami tinggal di sana beberapa saat, memuaskan rasa syukur, dan melambaikan tangan pada matahari jingga bulat yang tenggelam perlahan. Sun set yang sempurna.

O owww

Tadi sempat lupa sejenak bahwa kami harus turun melewati medan yang sama, dan kali ini dalam gelap. Adrenalin kembali bangkit, rasa cemas menyelinap. Salah satu peserta tur bahkan berwudu dan menyiramkan air bekas wudunya ke mobil 😀

 

HOMESTAY

Kami istirahat di rumah penduduk. Tidak banyak yang bisa diceritakan, karena yang berputar di kepala adalah tidur … tidur … tidur …

IMG_20160327_083628

PANTAI PALANGPANG

Tak ada yang bisa menghentikan laju lari anak-anak menuju air. Saat orang-orang dewasa menghindari basah, mereka langsung nyebur. Anak-anak tahu benar bagaimana menikmati laut. Rasakan airnya, sentuh pasirnya, bermainlah di antara ombaknya.

Ubit, Upeng, dan Reza basah kuyup berlarian sambil tertawa, sementara ibu-ibu mereka menatap dari kejauhan sambil foto-foto. Lha wong main di laut kok takut basah. Sungguh ibu-ibu tak bernyali #halah.

Pantai Palangpang masih asri dan relatif bersih, pengunjungnya pun sedikit—padahal long weekend—warung juga hanya ada beberapa. Sehari sebelumnya kami menatap pantai ini dari Puncak Darma, kini bukit tinggi itu yang tampak di kejauhan. There is a subtle feeling passing by at that time.

 

CURUG CIMARINJUNG

IMG_20160327_092645

Curug Cimarinjung, foto oleh Mang Ndik

Air terjun ini membelah bukit yang sangat besar dan tinggi. Saat pertama kali memandangnya, saya hanya melongo. Mungkin lebih dari tiga detik.

Kami tiba di sana saat debit air sedang banyak sehingga percikan air terus membuat kaca mata saya basah. Debur air yang deras menghantam bebatuan menciptakan suasana hening, bikin betah berlama-lama. Berkali-kali saya mengusap wajah, semburan air yang dingin membuat saya merasa kian muda #anotherhalah

Sama dengan Pantai Palangpang, Curug Cimarinjung pun masih tergolong perawan. Jalan setapak yang harus kami tempuh untuk mencapainya masih sederhana, melewati saluran irigasi yang mengairi hamparan sawah. Yang datang pun tak banyak.

Yang juga istimewa, masyarakat setempat mematuhi benar-benar bahwa air terjun ini tak boleh dikunjungi pelancong setiap Jumat, saat yang tepat bagi alam untuk beristirahat.

 

PULANG

Sebagaimana saat datang, kami kembali menumpang bus ke Bandung. Sungguh pengalaman berharga, tak bisa dituangkan semua dalam tulisan. Upeng bilang, hadiah ulang tahunnya mau ke Ciletuh lagi. Waduh, ultahnya kan satu setengah bulan lagi!

Kepada penyelenggara dan pemandu , terima kasih. Untuk basecamp Komunitas Backpacker Sukabumi yang nyaman, terima kasih. Untuk silaturahmi penuh berkah antar peserta, terima kasih.

Izinkan saya turun panggung sebelum insiden tusuk gigi ikut eksis di blog ini 😀

 

Salam takzim,

Anna Farida

Informasi kunjungan, klik Road To Ciletuh Geopark.

Foto-foto perjalanan kami ke Ciletuh ada di sini

Cerita Ubit (11) yang melihat perjalanan ini dari sudut pandang berbeda, termasuk tentang emaknya yang narsis 😀  ada di sini