BISA SENYUM, NGGAK?

Senyum

Senyum

Kabarnya konsumen itu raja, tapi aku tak segitunya ingin dianggap ratu. Aku hanya ingin dikasih senyum, kok.

Dua hari yang lalu aku ke pasar cari jeruk peras. Tak seperti biasanya, buah pesanan Upeng itu sulit sekali dicari. Dua tukang buah langganan tak punya persediaan, dan aku harus cari di kios lain. Fyi, aku ini buta arah. Begitu masuk pasar, aku tidak tahu lorong mana yang sudah kulewati, dan ke mana lagi aku harus belok. Beberapa kali aku harus malu karena kembali ke kios buah yang sama dan tanya barang yang sama. Ada yang bernasib sama? Hoho …

Di sebuah kios kecil, aku melihat keranjang tertutup. Penjaganya duduk menyamping.

Pak, ada jeruk peras?”

Nggak,” sahutnya tanpa menoleh.

Di kios-kios sebelumnya aku langsung permisi dan pergi. Di kios ini ada sesuatu yang menahanku.

Pak, saya perlu jeruk peras. Cari di mana, ya?”

Nggak ada. Nggak ada!” jawabnya ketus.

Pak, Bapak bisa senyum, nggak?”

Deg! Aku ngomong apa, ya, barusan?

Penjual buah itu bengong. Mungkin pertanyaan semacam itu baru dia dengar seumur hidupnya. Aku tak mau ambil risiko dan segera pergi. Tentu setelah berterima kasih dan tersenyum, dong!

Beberapa langkah kemudian, aku menemukan grosir kue. Ah, kacang kulit sangrai pasti asyik. Penjualnya seorang ibu berkerudung jingga—ini ngarang biar dramatis. Aku tak yakin warnanya, karena cahaya lampu kebiruan jatuh tepat di atas kepalanya. Jadi anggap saja jingga.

Dia duduk di bangku. Kedua lengannya terlipat di atas kantung bantal keju, menyangga dagu.

Kacang sangrainya berapaan, Bu?”

Habis. Itu pesanan orang,” jawabnya lesu tanpa mengangkat kepala.

Sungguh, seharusnya aku pergi saja atau beli kue yang lain. Tapi kemarin lusa aku sedang tak mau mengalah.

Bu, Ibu bisa senyum, nggak?”

Innalillahi, pertanyaan itu terlontar lagi, dong!

Penjual kue itu segera menegakkan badannya, “Naon, Neng? Kue yang lain aja, atuh.”

Duh! Semoga dia tidak dengar, semoga dia salah dengar.

Akhirnya, setengah hati aku beli bagelen kering seperempat kilo. Akhirnya juga jeruk peras tak kudapat. Akhirnya Upeng minum es jeruk nipis.

Dia tetap tersenyum manis, walau kadang meringis.

TTS dan CARI KATA SEPUTAR ISLAM

TTS Cari Kata Seputar Islam - Anna Farida

TTS Cari Kata Seputar Islam – Anna Farida

Bikin buku TTS? Enteng, pikir saya. Eits! Ternyata, menyusun 2.400 pertanyaan dan 1.200 kata bermakna tentang Islam itu bikin saya nyaris frustrasi.

Isi kamus seperti sudah tumpah setengahnya, tapi soal yang saya buat belum sampai seperempatnya. Masalah yang saya temui berkaitan dengan transliterasi Arab-Indonesia, hingga istilah yang tidak mudah diterjemahkan. Lebih dari itu, saya harus bisa mengajukan pertanyaan yang padat tapi jelas, sehingga pembaca memahaminya dengan baik. Komposisi pertanyaan mudah, sedang, dan sulit juga saya perhitungkan.

Saya pernah mau mundur, lho.

Sambil malu-malu saya angkat tangan kepada editor, “Mbak Dewi, kita bikin buku lain, saja, yuuuk…”

Editor bertahan. Dia semangati saya untuk terus berjuang.

Saya sulut kembali energi yang sempat mengempis. Saya merancang buku ini demi menyajikan cara seru untuk menemani teman-teman mempelajari (kembali) Islam dengan cara yang asyik. Jadi, saya harus mengerjakannya dengan energi yang melimpah.

Saya yakin TTS ini akan jadi teman berbincang yang lumayan cerdas. Biasanya, ketika mengisi TTS, saya jadi meramban ke sana kemari cari referensi. Banyak serendipity yang saya temukan dan membuat saya membaca tanpa henti.

Ini kampanye saya di sampul belakang. TTS dan Cari Kata itu mengajak Anda

  • Menambah kosa kata
  • Menyehatkan otak
  • Melatih konsentrasi
  • Memperluas pengetahuan
  • Mengasah kesabaran
  • Merasakan nikmatnya sukses
  • Memperoleh hiburan

Wawasan baru tentang Islam bisa Anda temukan, pengetahuan yang telah Anda miliki jadi bangkit kembali.

Jadi, saya berharap, buku TTS dan dan Cari Kata ini akan jadi awal yang baik. Setelah mengisi kotak demi kotak, menemukan kata demi kata, semoga pembaca jadi ingin tahu lebih banyak tentang istilah yang baru saja ditemukan.

Seperti biasa, ketika buku masuk percetakan, saya meriang.

Banyak pihak yang mengawal buku ini. Editor, desainer, hingga Ali–putra saya–dengan setia membantu saya melakukan cek akhir. Eh saat buku siap cetak, desainernya masih saya recoki dengan revisi susulan. Maaf, dan tentu saja terima kasih setulusnya.

Semoga buku ini bermanfaat, menemani Ramadan teman-teman semua.

Turun panggung, melanjutkan meriang 😀

MENYUNTING EMPATI

editing workshop

Foto dok. panitia

Pagi itu saya buru-buru.

Ada workshop penerjemahan dan jurnalistik di Jakarta, dan saya bertugas memberikan materi penyuntingan naskah alias editing.

Bus melaju tanpa hambatan, jadi seharusnya saya tiba tepat waktu.

Tiba-tiba sopir menepikan kendaraan, dan berdiri di hadapan saya dengan sikap sopan. Ternyata dia menyapa penumpang yang duduk di belakang saya.

Terdengarlah dialog ini:

Ibu, maaf. Jadinya Ibu mau turun di mana?”

Aduh, Ibu juga belum tahu. Dari tadi nelepon belum diangkat…”

Ibu kan mau ke daerah ****?” (Saya lupa nama tempatnya)

Iya.”

Begini, Bu. Bus ini tidak akan lewat ****.”

Trus gimana?”

Lebih enak Ibu turun di Ceger. Nanti dari sana Ibu naik taksi.”

Ya sudah, gimana bagusnya saja…”

Suara ibu itu menggantung. Keraguan dan kecemasannya membuat sang sopir berpaling ke arah saya dan bertanya, “Mbak, turun di Pasar Rebo trus ke Pondok Gede, kan?”

Iya, Pak,” sahut saya.

Ibu ini mau turun di Ceger. Tapi saya hanya bisa berhenti di perlintasan jalan tol. Ibu ini harus jalan kira-kira seratus meter trus nyebrang. Mbak mau nemenin?”

Dia menjelaskan bahwa turun di Ceger sama saja, dan akan ada banyak taksi di sana. Lagi-lagi saya mengangguk tak yakin. Saya tidak tahu Ceger, tidak tahu juga Pasar Rebo.

Ah, sama-sama tidak tahu, kan. Jadi saya setuju saja.

Maka turunlah kami di sisi jalan tol diiringi ucapan terima kasih sang sopir.

Ternyata ibu yang duduk di belakang saya itu sudah berusia lanjut. Kami berjalan bergandengan tangan, dan berpisah tanpa sempat berkenalan.

Kejadian singkat itu terputar ulang ketika saya duduk di dalam taksi.

Saya pernah menemukan sopir yang mengemudi ala pilot pesawat tempur di film-film. Ada pula yang merokok seenaknya di bus ber-AC, atau menelepon sambil menginjak rem semaunya.

Hari itu saya belajar dari seorang sopir yang berbeda.

Dia bisa saja menurunkan semua penumpang yang tidak punya tujuan jelas di pool terakhir. Dia juga bisa berteriak dari kursinya dan bertanya ke ibu itu, atau meminta kondekturnya untuk melakukannya. Dia juga bisa saja kasih instruksi agar ibu itu turun sendiri, tanpa repot-repot minta tolong kepada saya. Pilihannya untuk menepikan bus hanya untuk bertanya, dan tutur katanya yang santun itu sungguh mengesankan. Masih ada orang baik, masih ada harapan untuk dunia yang lebih baik.

Karakter seperti inilah yang mesti sampai kepada anak-anak kita, generasi muda kita, masyarakat kita. Sebenarnya, kita selalu punya pilihan untuk peduli.

Saya sampai di lokasi tiga puluh menit lebih lambat—untung ada acara lain yang bisa ditukar jadwalnya. Workshop berlangsung dua sesi, bermain kalimat dan paragraf dari pagi hingga sore, seru sekali.