MAMI RAJAWALI

Aku memanggilnya “Mami”. Tatapan matanya tajam, setiap ucapannya membuat ciut nyali. Dia salah satu dari sedikit pemborong bangunan di kota kecil kami, Boyolali. Dengan berani dia membangun jalan dan jembatan di berbagai pelosok kampung, memimpin para pekerja yang mayoritas laki-laki. Setiap pagi, dia sigap naik turun truk pasir sambil menenteng cerek air dan sekantung nasi bungkus untuk makan siang para pekerja. Dia memasaknya sendiri, membungkusnya, dan membagikannya dengan tangannya sendiri. Dunia kerja yang keras menempanya menjadi perempuan yang tegas, tak mudah didebat, dan mandiri.

Seperti rajawali.

Walaupun begitu, di saat lain, sikap dan tutur katanya bisa berubah total jadi sangat santun, lemah lembut, khas perempuan Jawa yang penuh tata krama. Dia tumbuh dari keluarga petani yang mencintai seni budaya. Kemahirannya berbahasa Jawa krama inggil membuatnya sering diundang sebagai MC, yang memandu upacara pernikahan adat Jawa Tengah. Pada tahun 1990-an, dia dikenal sebagai Bu Mul Pemborong dan Protokol.

Perempuan yang unik. Dalam dirinya terpadu ketegasan seorang pemimpin lapangan dan kecintaan pada akar tradisi. Dia tampil gagah dengan celana jeans dan kemeja, tetap luwes saat berkebaya dan bersanggul besar. Dia lincah mengemudikan truk berisi pasir dan batu, sekaligus telaten memasang manik-manik di bajunya sendiri. Dia mendidikku dengan keras, tapi cintanya tak pernah kuragukan.

Dalam tradisi Jawa, atau setidaknya di kampungku saat itu, mengucapkan kalimat semacam “I love you” atau “aku tresna sliramu” bukan hal yang lumrah.

Rasa cinta biasa diperlihatkan Mami dengan memberiku hadiah setiap aku ulang tahun. Aku pun biasa menulis kartu ucapan di hari ulang tahunnya, kubelikan juga keripik nangka kesukaannya. Kadang kami bertukar bingkisan begitu saja, tanpa alasan apa-apa.

Kali ini aku ingin mengucapkan “I love you” padanya. Bukan sebagai pembuktian cinta, karena cinta kami tak perlu bukti apa-apa. Aku hanya ingin dia mendengarku mengucapkan kalimat tak lazim itu dan melihat reaksinya.

Sebagai anak tunggal, hubunganku dengan Mami nyaris seperti teman. Kami biasa saling curhat bahkan bertengkar. Sayang, “pertemanan” kami jadi sering memanas begitu ayahku meninggal.

Wajar, lah. Dia harus bekerja lebih keras, sementara aku mulai tumbuh jadi remaja yang juga keras. Dia makin sibuk dengan proyeknya, makin sering ngemsi hingga ke luar kota, sekaligus menghadapi pemberontakan kecil dan besar yang sering kulakukan. Cengkeraman rajawalinya membuatku sesak, banyak keputusannya yang membuatku ingin meledak. Baru dua puluh tahun kemudian aku paham apa yang dia rasakan, saat anak-anakku sendiri beranjak remaja.

Itulah hal pertama yang membuatku ingin mengungkapkan cinta padanya.

Berikutnya, saat aku dewasa, dia wujudkan cinta dengan melepaskan genggamannya. Pasti dia merasa sangat berat saat kehilangan teman bertengkar sepertiku. Sementara aku? Dengan santai aku melenggang ke kota lain, dan mulai sibuk membangun keluargaku sendiri. Sesekali aku mengunjunginya saat liburan. Dari 365 hari dalam setahun, tak lebih dari 30 hari yang kuberikan untuknya.

Toh dia tak pernah mengeluh. Dia tetap sibuk dengan pekerjaannya, tetap menjadi nenek idola anak-anak, dan menantikan kepulangan kami dengan setia.

Hingga akhirnya, dia menelepon dan mengucapkan kalimat yang belum pernah kudengar sebelumnya, “Pulang, ya, Ndhuk. Aku kangen.”

Aku segera tahu dia sedang dalam masalah besar. Hari itu juga aku pulang kampung dan menemukannya di rumah sakit. Tak ada yang menduga.

Enam bulan berikutnya adalah masa pertarungan besar: rajawali melawan kanker indung telur. Dengan berani dia menghadang sel perusak yang selama ini diam-diam bersarang di tubuhnya. Berbagai terapi dia jalani, banyak dokter dia datangi. Dia ingin hidup.

Empat bulan kemudian, tubuhnya yang tinggi menjulang itu tak kuasa lagi. Mami lebih banyak berbaring di tempat tidur. Dan dua bulan berikutnya adalah masa kritis. Berkali-kali aku menandatangani surat persetujuan operasi dan tindakan medis yang pasti menyakitkan.

Kami lewati malam-malam di rumah sakit dengan cerita masa lalu. Kami tertawa dan menangis bersama. Dia minta maaf atas masa-masa pahit yang pernah terjadi di antara kami.

Ya Allah, bukankah seharusnya aku yang minta maaf padanya? Tapi seperti itulah dia. Hingga akhir hayatnya, sifat ksatria masih kuat digenggamnya.

Tepat pada tanggal cantik, 1-1-11, saat senja mulai redup, rajawali itu terbang pulang menuju Tuhan.

Kini, walau hanya pada pusara dan kenangan tentangmu, ingin kukatakan, “I love you.”

Penafian: Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba “P.S. I Love You, Mom” yang diselenggarakan oleh Nivea. Tidak menang, tidak masuk lima belas besar 😀