MEMERKOSA BAHASA

10552439_10202522322675073_786562598078022292_nSemiloka Bahasa dan Lembaga Adat yang diadakan Badan Bahasa Kemendikbud ini asyik. Para pemateri yang diundang memaparkan bahasa dan adat dari sisi yang tidak mainstream. Adrianus Meliala (gelarnya banyak sekali!), guru besar kriminologi Universitas Indonesia, berbicara tentang fungsi bahasa untuk dalam merusak perdamaian dan kebhinekaan. Ini dia hasil catatan saya.

Tentang bahasa, ada tiga sudut pandang kriminologis:

1. Bahasa dan tutur kebencian (terjemahan ngarang dari hate speech—semoga pas di lidah pas di hati haha)

2. Bahasa dan kriminologi budaya

3. Bahasa dan sensitivitas sosial

Ada sebuah kejahatan yang disebut hate crime. Ketika Anda benci kepada saya karena saya perempuan Jawa, bergigi besar, dan berkerudung, Anda telah melakukan kejahatan. Saya tidak memilih ras dan gender saya. Saya meyakini Islam sebagai pilihan yang paling pribadi. Jika aspek primordial dan lahiriah itu membuat Anda tidak suka dan bersikap tidak baik, Anda telah jadi penjahat. Halah!

Kebencian itu berpengaruh pada pilihan bahasa penutur, menghasilkan tuturan dengan nuansa serupa. Inilah sudut pandang yang pertama, bahasa dan tutur kebencian.

Misalnya:

  • Maklum, lah. Perempuan memang tidak bisa diandalkan.

  • Orang Papua itu biar direndam sebulan tetap hitam.

  • Mas, berdiri, dong, biar kelihatan!–diucapkan ketika ada orang pendek berbicara.

Jika dibiarkan dan dibudayakan, tutur kebencian itu bisa berujung pada pelecehan, kekerasan, hingga pemusnahan kelompok tertentu. Ya! Itu bisa terjadi. Bahasa yang digunakan untuk menyebarkan kebencian bisa merusak otak penutur dan petuturnya, sekaligus merusak masyarakat dari skala yang terkecil hingga terluas. Anda ingat aneka slogan lebay beraroma SARA yang bermunculan di masa kampanye beberapa bulan terakhir? Menurut Prof. Meliala, itu kejahatan. Bahasa diperkosa untuk memojokkan dan menindas orang lain.

Sudut pandang yang kedua adalah bahasa dan krimonologi budaya, yaitu perilaku menyimpang yang berlaku dalam keseharian. Penyimpangan ini diterima sebagai kewajaran karena melibatkan simbol-simbol resmi atau umum.

Misalnya:

  • Tentara menggantungkan tanda pangkat di spion mobil agar bebas berkendara, atau pakai seragam dinas saat mengurus pajak.

  • Bunyi sirine saat rombongan pejabat lewat—Minggir kalian. Gue mau lewat.

  • Grafitti di tembok kota: Sahur on the Road dengan lambang gank tertentu—Mari sahur sambil balapan motor.

  • Kalimat dalam iklan atau kampanye yang merujuk pada jajaran pulau di Indonesia atau bendera merah putih dengan tujuan memanipulasi emosi kebangsaan.

 

Foto: Alffian W P Walukow, Sulawesi Utara.

Foto: Alffian W P Walukow, Sulawesi Utara.

Lambang-lambang tersebut lazim dipakai berbagai kalangan dan dianggap wajar. Tak jarang, anak-anak dan remaja kita menggunakannya atau menjadikannya lelucon. Please hindari penggunaan simbol atau bahasa yang bertujuan merusak kerukunan dan budaya kebaikan.

Sudut pandang yang ketiga adalah bahasa dan kepekaan sosial, yaitu berubahnya komunikasi secara sadar atau tidak, biasanya karena pilihan medium—bisa berupa kata-kata atau bahasa tubuh yang menyinggung orang lain.

Suatu saat saya dan Anda sedang berbincang seru. Kita tertawa riang dan saling berkomentar. Tiba-tiba antusiasme Anda merosot dan lebih banyak diam. Saya harus peka, mungkin ada kalimat saya yang menyinggung perasaan Anda. Bahasa adalah penghasil sensitivitas yang ampuh, dan kedewasaan penuturlah yang berperan di sini.

Misalnya:

  • Kata mualaf atau Cina diucapkan di kalangan yang sensitif dengan dua kata itu

  • Iklan Ayo ramai-ramai beli properti! dipasang di wilayah rawan pangan

  • Promosi rok mini di komunitas ibu menyusui yang punya problem berat badan. Coba saja kalau berani!

  • Menyebut-nyebut kata “ingin merdeka” di wilayah konflik di Papua.

Jadi, bahasa sebagai salah satu temuan spektakuler dalam sejarah manusia sekaligus karunia Tuhan ini punya dua sisi. Anda mau pilih yang mana?

Di akhir paparan dan contoh-contoh “nakal” yang sebagian besar off the record, Prof. Meliala berpesan, “Berhentilah membuat bahasa menderita. Jangan perkosa dia untuk jadi sarana penyebar kebencian.”

 

Penafian: Tulisan ini adalah hasil catatan saya dari materi Prof. Adrianus Meliala dalam Semiloka Bahasa dan Lembaga Adat, Badan Bahasa Kemdikbud, tanggal 17-20 Agustus 2014 di TMII. Jika ada kesalahan pemahaman maupun contoh, tuduhlah saya, hehe.

 

(Mas) Sugeng Riyadi

 

 

Selo, Boyolali, Jawa Tengah

Selo, Boyolali, Jawa Tengah

Suami saya orang Bugis. Pernikahan delapan belas tahun tidak membuatnya terampil berbahasa Jawa. Sama parahnya, kosakata Bugis saya juga tak lebih dari dua belas lema.

Ini Lebaran tahun ketiga di rumah Mbah Kung, kakek saya. Untuk pertama kali, suami saya ikut acara bakar ikan bersama para pemuda di desa. Biasanya dia menghabiskan waktu untuk tidur setelah jadi sopir antar kota antar provinsi. Sambil membawa sepiring peuyeum, dia berangkat bersama paklik saya, dan pulang tiga jam kemudian dengan baju berbau asap.

“Seru, bumbu ikan bakarnya enak, tapi ngantuk banget,” katanya.

Keesokan harinya, setelah salat Idulfitri dan saling bersalaman, sambil heran suami saya bertanya, “Semalam Bapak kenalan dengan banyak orang yang namanya Sugeng Riyadi. Bapak pikir itu nama laki-laki. Ternyata perempuan juga banyak yang namanya Sugeng Riyadi, ya?”

Saya bengong sejenak, berpikir beberapa detik, lalu terbahak tak tertahankan. Di antara tatapan kesalnya, saya jelaskan bahwa sugeng riyadi itu artinya selamat hari raya. Bukan nama orang! Pasti frasa itu sering dia dengar tahun sebelumnya, tapi sepintas saja. Suasana Lebaran di rumah Mbah Kung kan selalu ramai, dan biasanya kunjungan kami hanya beberapa jam. Baru kali ini suami saya berinteraksi dengan penduduk asli dalam waktu yang lebih lama.

Begitu kami pulang, kasus sugeng riyadi memburaikan tawa seisi rumah, termasuk kotek ayam yang berkeliaran. Anak-anak merdeka meledek bapaknya, sementara suami saya bersungut-sungut tanpa daya.

Pantes. Beberapa orang menunjukkan reaksi aneh semalam,” keluhnya.

Kenapa, emang?” tanya saya.

Kalau ada yang ngajak salaman sambil bilang ‘sugeng riyadi‘ pasti Bapak jawab ‘Saya Anwar’. Kan Bapak pikir dia ngajak kenalan hahaha!” akhirnya dia ikut tertawa.

Hari itu dan hari berikutnya, setiap tamu terhibur oleh “Mas Sugeng Riyadi” yang jadi wajib diceritakan berulang-ulang. Pasalnya, anak-anak bergiliran mengintai orang yang menyalami bapaknya. Tawa mereka membahana begitu frasa fenomenal itu terdengar. Mau tak mau sang tamu bertanya, “Kenapa tertawa?” dan … mengalirlah kisah itu kembali 😀

Dari berbagai sumber saya temukan keterangan bahwa frasa sugeng riyadi berasal dari bahasa Jawa sugeng riyadin. Sugeng artinya selamat, riyadin adalah singkatan dari riyaya din. Riyaya artinya hari raya atau hari besar, din berasal dari bahasa Arab yang berarti agama. Jadi riyadin adalah hari raya agama (Islam). Belakangan kata riyadin jadi dilafalkan riyadi

Ngaturaken sugeng riyadi, sedaya kalepatan nyuwun pangapunten.

Salam Idulfitri, semoga kita berjumpa dengan Ramadan lagi.