Opini ini dimuat di Harian Galamedia, 22 Desember 2016. Seperti biasa, tulisan saya di koran lebih padat, berisi, rapi. Terima kasih kepada editornya yang jeli menatanya.
Ini versi aslinya, ampuni kealpaannya đ
Muasal pendidikan adalah keluarga sebagai lingkungan terdekat bagi anak. Sentuhan pendidikan pertama yang dirasakan seorang bayi diharapkan berasal dari keluarga yang memiliki cinta kasih dan daya dukung positif bagi perkembangannya. Alih-alih isu pengarusutamaan gender yang pernah dan masih menguat, dalam umumnya budaya Indonesia, peran pengasuhan dan pendidikan masih menjadi tanggung jawab ibu (Tobit dalamTim Pengembang Imu Pendidikan FIP-UPI, 2007: 309). Di pundak para ibu kualitas pendidikan anak disandarkan.
Di negara maju, pendidikan bagi perempuan dan laki-laki sama pentingnya. Di negara berkembang dan belum berkembang, pendidikan bagi perempuan jauh lebih penting berdasarkan alasan sosial ekonomi. Terkait dengan perbaikan generasi, pendidikan untuk ibu dan calon ibu menjadi kebutuhan yang mendesak. Jika seorang perempuan memiliki pendidikan memadai, anak-anaknya akan memperoleh manfaat berupa berbagai pencerahan dan pengalaman belajar dari ibunya. Di bawah pengasuhannya, semua anggota keluarga akan terdidik (Gupta, N.L. (2000), Woman Education through Ages, New Delhi: Concept Publishing Company).
Sementara itu, data dari Badan Pusat Statistik 2009 memperlihatkan bahwa 75,69% perempuan usia 15 tahun ke atas hanya tamat SMP ke bawah. Mayoritas perempuan, 30,70%, hanya lulus SD. Bisa dimengerti mengapa 4,2 juta perempuan, artinya sekitar 70% dari Tenaga Kerja Indonesia adalah perempuanâdan sebagian besar bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Berikutnya, data BPS tahun 2010 mencatat 12,26% perempuan Indonesia menikah pertama kali pada usia 10-15 tahun, 32.46% pada usia 16-18 tahun. Artinya, 45% perempuan Indonesia menikah pertama kali sebelum mereka berusia 19 tahun.
Pada usia 19 tahun, idealnya mereka masih belajar di perguruan tinggi. Kajian yang dilakukan oleh Bank Dunia di 25 negara berkembang, Gender Equality and The Millenium Development Goals (2003) memperlihatkan bahwa rendahnya tingkat pendidikan seorang ibu berdampak langsung pada gizi buruk dan rendahnya kualitas pengasuhan terhadap anak. Penelitian ini juga memperlihatkan bahwa jika perempuan bersekolah satu hingga tiga tahun lebih lama, angka kematian anak bisa turun hingga 15%. Dengan masa sekolah yang sama pada laki-laki, angka kematian anak yang berhasil diturunkan adalah 6%.
Data tersebut menunjukkan bahwa peran perempuan terhadap pendidikan bahkan keselamatan anak sangat krusial. Tentu, yang dimaksud dengan pendidikan pada era sekarang bukan lagi sekadar melek aksara. Cakupan pendidikan yang mesti dimiliki perempuan masa kini sungguh luas sekaligus kompleks.
Karenanya, untuk menjaga kesinambungan belajar, pendidikan digital bisa jadi jembatan. Para ibu tetap memiliki peluang untuk âkuliahâ tanpa meninggalkan rumah. Mereka bisa mengikuti berbagai kursus online yang disediakan melalui berbagai platform dengan biaya murah hingga gratis. Banyak universitas terkemuka di dunia menawarkan kursus online dengan aneka pilihan materi. Kini berbagai universitas dan lembaga di Indonesia pun menawarkan kursus yang tak kalah menarik. Kursus disampaikan melalui sistem yang mudah diakses dan waktu yang fleksibel.
Ada pula kursus yang diselenggarakan melalui grup-grup media sosial atau aplikasi chat group yang lebih praktis. Prinsipnya, kemauan untuk mengakses pintu demi pintu adalah kunci awalnya, media atau sarana yang digunakan bisa apa saja. Setelah itu, para ibu bisa memperoleh keuntungan tak terduga seperti:
- Pilihan sangat luas. Mereka bisa memilih berbagai materi sesuai minat: memasak, menjahit, politik, sastra, mesin, biologi, seni, dan masih banyak lagi
- Menjadi teladan. Dengan menjadi pembelajar tiada henti, ibu menjadi teladan dalam penggunaan internet positif. Keluarga sebagai pusat belajar dengan sendirinya terwujud.
- Biaya murah. Banyak kursus yang berkualitas dan gratis, bahan belajar pun bisa diakses dengan mudah.
- Suasana belajar yang nyaman. Karena kelas online bisa diakses dari mana pun, para ibu tak perlu buru-buru meninggalkan rumah dan kehilangan waktu paling berharga bagi keluarga. Mereka bisa memilih waktu belajar yang paling efektif, misalnya tengah malam atau menjelang pagi.
- Interaksi antar peserta fleksibel. Bagi pembelajar yang malu-malu, kelas online memberikan ruang yang lebih leluasa untuk ikut berekspresi.
- Konsep diri yang seimbang. Suasana akademis dalam diri ibu akan terus terjaga, pengetahuan dan wawasan mereka terus berkembang, sehingga self esteem pun seimbang.
- Jejaring kebaikan. Melalui kelas-kelas online, para ibu menemukan teman-teman dengan minat yang sama dan bisa saling bekerja sama dalam kebaikan.
- Belajar hal baru, bertemu teman baru, dan mendapatkan kepercayaan diri (kembali) tentu hal yang menyenangkan. Belajar untuk kesenangan, mengapa tidak?
Bagi perempuan, dengan segala kendala dan kesibukannya, ketersediaan internet dan berbagai platform pendidikan digital memberikan jalan untuk terus belajar. Kunci utamanya tentu kemauan yang datang dari diri sendiri dan kemauan untuk mengajak orang lain belajar bersama.
E-learning juga memberikan rasa percaya diri bagi para ibu bahwa mereka mampu mendidik anak-anak menjadi generasi terbaik. Keyakinan ini akan berimplikasi pada cara mereka mengasuh anak-anak, memberikan pilihan-pilihan terbaik kepada anak, sekaligus menjadi teladan bagi anak sebagai pembelajar mandiri.
Ruang pendidikan digital ini demikan luas, namun belum dieksplorasi secara optimal. Ajakan secara terus menerus kepada masyarakat melalui berbagai lini informasi wajib disampaikan. Pendekatan pribadi hingga pendekatan kelembagaan bisa diupayakan agar masyarakat Indonesia, khususnya perempuan, memahami jenis pendidikan ini sebagai alternatif yang istimewa.
Melalui kelas-kelas online, kita bisa menjangkau pendidikan yang berkualitas. Aksesnya terbuka bagi semua kalangan. Bukan mustahil bahwa pendidikan di zaman ini sudah semestinya mudah, murah, dan berkualitas dunia.
Selamat Hari Ibu.
———————-
Anna Farida, Kepala Sekolah Perempuan, penulis buku-buku pendidikan. www.annafarida.com
Artikel ini disarikan dari jurnal ilmiah berjudul Preserving Sustainability Of Mothersâ Education Through Digital Classes yang disampaikan penulis dalam International Conference on Education in Indonesia di Universitas Singaperbangsa Karawang.