Simpul Jiwa

Beberapa hari ini media yang biasa saya baca diwarnai oleh obituari yang didedikasikan untuk  pakar komunikasi, Dr. Jalaluddin Rakhmat. Penghargaan dan pengakuan atas luasnya ilmu datang dari para pakar, ulama, petinggi, juga para murid yang berutang ilmu dan kebaikan.

Saya sendiri sebenarnya hingga saat ini masih overwhelmed, bingung mau menulis apa. Kegemaran menulis saya juga dibentuk oleh beliau melalui buku-buku karya beliau dan berbagai forum yang beliau ampu. Saya benar-benar patah hati karena kehilangan.

Saya sangat ingin bisa menulis seperti beliau. UJR wannabe tetap jadi cita-cita saya. Karena itu, ketika ingin menulis tentang beliau, saya justru bingung mau mulai dari mana.

Oke, saya ceritakan saja salah satunya.

Dalam sebuah forum, seperti biasa beliau menyebutkan dan menayangkan aneka rujukan: buku dalam berbagai bahasa termasuk kitab gundul yang tidak bisa saya baca, hingga film-film pendek dari Youtube. Tampaknya beliau tahu bahwa hadirin datang dari berbagai kalangan. Emak-emak seperti saya akan lebih mudah mengerti jika disuapi ilmu dengan cara yang enteng.  

Di antara buku, ada sebuah novel yang beliau sebut, Madame Bovary. Belakangan saya tahu novel itu karya Gustave Flaubert, sudah difilmkan, dan isinya tentang sebuah pernikahan yang tragis. Dari novel itu saya mendapatkan insight  tentang pentingnya komunikasi Pasutri.

Jika Ustaz Jalal hanya melayani hadirin yang pintar saja, yang mengerti kitab berbahasa Arab saja, emak awam seperti saya ini hanya bakal terkantuk-kantuk tak paham apa-apa. Berkat kuatnya daya jelajah bacaan beliau, hadirin mendapatkan kunyahan sesuai level pengetahuan dan keawaman masing-masing.

Ada kalanya saya—mungkin juga Anda—minder menghadiri forum yang bahasa dan bahasannya tidak dipahami. Perasaan semacam itu tidak saya dapati di mimbar Ustaz Jalal. Selalu ada percikan kebaikan yang bisa saya tangkap dan bisa saya ceritakan ulang pada anak-anak saya—tentu sesuai keawaman saya tadi.

Tampaknya dengan pertimbangan itu pula beliau meminta saya menuliskan pengalaman berinteraksi di dunia virtual–Second Life–dalam Psikologi Komunikasi edisi revisi. Beliau tidak main medsos, dan pengguna medsos dianggap lebih pas bercerita. Kesahajaan ilmiah yang membuat saya kian meringkuk. Saat ini cerita saya itu terselip di antara ratusan halaman buku legendaris tersebut, dan inilah yang menghibur saya di tengah suasana patah hati ini.

Berikutnya, yang juga selalu saya tunggu dan tidak akan saya dapati lagi—beneran ini saya tunggu sebagai bagian utama dari materi apa pun yang sedang dibahas—adalah kebiasaan Ustaz Jalal mengekspresikan cinta kepada istri tanpa jaim di hadapan publik, terutama ketika Bu Jalal hadir.  Ada saja cara beliau untuk menyebut Ibu, dari sekadar ucapan “Ya, kan, Mah? Naon eta teh, Mah?“, ledekan yang membuat Bu Jalal tersenyum atau tertawa kecil, hingga cerita-cerita singkat yang menghangatkan jiwa.

Simpul jiwa itu yang membuat mereka tak terpisahkan. Ibu berpulang 11 Februari 2021, Bapak wafat 15 Februari 2021. Empat hari terlalu lama untuk sebuah perpisahan, Kini keduanya senantiasa bersama dalam keabadian.

Selamat pulang, Bapak, Ibu. Kami sungguh rindu. Utang kebaikan dan utang ilmu ini akan saya bawa hingga kapan pun. Terima kasih tak terhingga.

Salam takzim,

Anna Farida