MESIN PEMUTAR WAKTU

MESIN PEMUTAR WAKTU

Tanpa disangka, suatu hari seorang kawan berbicara tentang mesin pemutar waktu. Senyumku mengembang tanpa tertahan. Mungkin menjadi orangtua membuat orang dewasa pun berfantasi. Mendadak aku juga berpikir, andai mesin semacam itu memang ada dan benar-benar berfungsi, apa yang akan kulakukan? Hingga beberapa hari sesudahnya, sesekali aku masih berpikir, kurun waktu mana, ya, yang hendak kukunjungi pertama kali. Wah, semakin direnungkan, ternyata banyak kesalahan yang ingin kuperbaiki, banyak yang sebenarnya ingin kulakukan namun tak kesampaian.

Tunggu…

Jika aku berhasil kembali ke masa lalu, kemudian bisa mengubah apa yang dulu pernah terjadi, apakah kehidupanku di masa kini juga bakal seperti ini? Sebagai anak, aku pernah membuat ibuku sedih dan menangis begitu rupa, pun pernah membuatnya bersyukur sepenuh hati. Jika hal membuatnya menangis kuhapus dari rangkaian perjalanan hidupku…. akankah dia bersyukur dan bahagia kini? Akankah aku bahagia?

Sebagai pribadi, kadang kubertanya, kesalahan langkah apa yang bakal kuhindari dan kuganti, jika aku kembali ke masa lalu. Sekolah macam apa yang seharusnya kupilih, kota manakah yang bakal kukunjungi? Organisasi apa yang perlu kuikuti? Pekerjaan apa yang seharusnya kutekuni? Prinsip hidup yang mana yang kuputuskan untuk kuyakini?

Sebagai manusia, banyak salahku. Sebagai istri, aku banyak bersalah pada suami. Sebagai ibu, dalam sebelas tahun terakhir, sudah bertumpuk dosaku pada anak-anakku. Aku punya banyak alpa terhadap tetanggaku, kawan-kawanku, guru anak-anakku, kerabatku…. Semoga semua memaafkanku.

Tapi tunggu lagi…

Mengapa masa lalu seolah berarti kesalahan? Kalau ada ungkapan semacam ”semua orang punya masa lalu,” maka makna implisitnya negatif.  Bagiku tidak.

Aku lebih memilih untuk bersyukur atas masa laluku—yang mengecewakan maupun yang membahagiakan, bersyukur atas masa kiniku, dan berdoa untuk masa depanku. Masa kini adalah berkah atas salah dan benarku di masa lalu.

So, jika ada mesin pemutar waktu, apa yang hendak kau lakukan?

Fun-Tastic String Ensemble Manggung di “Bali”

zakydewafaridfsebali

Sabtu sore, 28 Maret 2009.

Kami sekeluarga berangkat satu pasukan penuh ke Bali Art Festival, menasbihkan diri sebagai penggembira bagi Zaky (11), yang hendak turut menyumbangkan gesekan biolanya bersama Fun-Tastic String Ensemble.

Sekira dua puluh violinis muda memadu nada di Union Square, sebuah panggung terbuka di Cihampelas Walk (Ciwalk), Bandung. Dengan kostum kotak-kotak bak papan catur dan ikat kepala khas Bali lengkap dengan bunga kamboja terselip di daun telinga, FSE membawakan lagu-lagu klasik dan pop, menghibur penonton yang rela berdiri.

Selain FSE, tampil pula pasukan murid dan Guru dari Concordia & Swara Harmony music school. Guyuran hujan yang sempat menunda penampilan mereka memang membuat waswas. Kabarnya, alat musik yang sedianya sudah tertata di panggung harus dikemasi lagi. Namun nampaknya saat itu Tuhan mengijinkan kami turut bersenandung bersama anak-anak, sehingga hujan reda, dan tertunda hingga menit-menit terakhir usainya pertunjukan.

Sesi pertama diawali oleh gebukan drum, disusul rombongan violinis imut asuhan Concordia (rupanya dari sebuah taman kanak-kanak yang menjadikan biola sebagai ekskulnya). Tak ketinggalan bocah ayu berbusana Bali turut memamerkan kepiawaiannya bernyanyi. Selanjutnya, serangkaian penyanyi dan musisi usia sekolah dasar hingga sekolah lanjutan, juga beraksi (aku tak tahu, mana yang dari Concordia, mana yang dari Swara Harmony, mana yang anggota FSE yang tampil menutup sesi pertama…semua berkostum sama: papan catur!)

Setelah jeda untuk sholat Maghrib dan istirahat, sesi kedua kembali menyemarakkan malam itu dengan musik. Kakiku sudah pegal berdiri, adik-adiknya Zaky sudah mulai berhamburan tak betah. Zaky sendiri mulai merayuku minta dibelikan segelas Starbuck, kopi seharga puluhan ribu rupiah. Penasaran, ujarnya. Kutolak. Dia minta J-Co, kutolak. Walau raut kecewanya begitu kentara, dia mau menerima penjelasanku bahwa belum saatnya dia membelanjakan uang demi segelas kopi dan kue yang sedemikian mahal. Saat Zaky berlalu berbekal lima ribu rupiah untuk beli minuman kaleng di supermarket, mataku hangat. Berat juga rasanya, membiarkan dia menahan diri, justru di hari istimewanya.

Back to the stage. Walau pegal, toh suguhan di panggung berdekorasi Bali itu acapkali menahanku beranjak. Hingga pada akhirnya Zaky kembali tampil bareng FSE (lagi-lagi sebagai penutup rangkaian acara malam itu), diam-diam aku bernafas lega. Mungkin begitupun Concordia dan Swara Harmony. Hmmh… akhirnya….

Kami pulang dan menyelamati Zaky atas keberhasilan penampilannya dan keluasan hatinya untuk menahan diri. Selamat untuk Concordia, Swara Harmony, dan Fun-tastic String Ensemble. Insya Allah berikutnya benar-benar manggung di Bali (tanpa tanda kutip), Amien…