MESIN PEMUTAR WAKTU
Tanpa disangka, suatu hari seorang kawan berbicara tentang mesin pemutar waktu. Senyumku mengembang tanpa tertahan. Mungkin menjadi orangtua membuat orang dewasa pun berfantasi. Mendadak aku juga berpikir, andai mesin semacam itu memang ada dan benar-benar berfungsi, apa yang akan kulakukan? Hingga beberapa hari sesudahnya, sesekali aku masih berpikir, kurun waktu mana, ya, yang hendak kukunjungi pertama kali. Wah, semakin direnungkan, ternyata banyak kesalahan yang ingin kuperbaiki, banyak yang sebenarnya ingin kulakukan namun tak kesampaian.
Tunggu…
Jika aku berhasil kembali ke masa lalu, kemudian bisa mengubah apa yang dulu pernah terjadi, apakah kehidupanku di masa kini juga bakal seperti ini? Sebagai anak, aku pernah membuat ibuku sedih dan menangis begitu rupa, pun pernah membuatnya bersyukur sepenuh hati. Jika hal membuatnya menangis kuhapus dari rangkaian perjalanan hidupku…. akankah dia bersyukur dan bahagia kini? Akankah aku bahagia?
Sebagai pribadi, kadang kubertanya, kesalahan langkah apa yang bakal kuhindari dan kuganti, jika aku kembali ke masa lalu. Sekolah macam apa yang seharusnya kupilih, kota manakah yang bakal kukunjungi? Organisasi apa yang perlu kuikuti? Pekerjaan apa yang seharusnya kutekuni? Prinsip hidup yang mana yang kuputuskan untuk kuyakini?
Sebagai manusia, banyak salahku. Sebagai istri, aku banyak bersalah pada suami. Sebagai ibu, dalam sebelas tahun terakhir, sudah bertumpuk dosaku pada anak-anakku. Aku punya banyak alpa terhadap tetanggaku, kawan-kawanku, guru anak-anakku, kerabatku…. Semoga semua memaafkanku.
Tapi tunggu lagi…
Mengapa masa lalu seolah berarti kesalahan? Kalau ada ungkapan semacam ”semua orang punya masa lalu,” maka makna implisitnya negatif. Bagiku tidak.
Aku lebih memilih untuk bersyukur atas masa laluku—yang mengecewakan maupun yang membahagiakan, bersyukur atas masa kiniku, dan berdoa untuk masa depanku. Masa kini adalah berkah atas salah dan benarku di masa lalu.
So, jika ada mesin pemutar waktu, apa yang hendak kau lakukan?