AYAH = ‘MANTAN’ SUAMI (dan kabar dari para ibu di garis depan medan perang) Teryl Zarnow (Addison Wesley Publishing Company, Inc.), USA 1990

Saat ini aku sedang berusaha menerjemahkan sebuah buku pengasuhan tulisan seorang kolumnis perempuan asal California. Dari korespondensi yang sudah kujalin, tergambar olehku bahwa Teryl ini pribadi yang hangat namun juga lugas.

Berikut cuplikannya:

Untuk semua ibu (dan ayah) yang pernah yakin anak-anak mereka tak bakal menonton film-film kartun di TV, atau main-main dengan senjata bohongan; bagi yang pernah memasang kereta bayi dengan satu tangan dan harus melek padahal hanya tidur dua jam; bagi yang serius berniat memantau buku catatan perkembangan buah hati mereka—Teryl Zarnow menawarkan minuman segar rendah lemak yang disajikannya dengan penuh canda. Cara pandangnya yang tajam dan berani terhadap kegembiraan, rasa bersalah, juga stress ringan maupun berat yang dialami para ibu, membuatnya memiliki dunia tersendiri—dunia yang langsung akan Anda kenali sebagai dunia Anda sendiri.

“Siap?” tanya Zarnow. “Tak ada yang bisa menyiapkan anda agar terampil menjadi seorang ibu. Anda harus belajar saat terjaga di malam hari, dan di siang hari yang begitu panjang—tanpa tidur siang. Di keluargaku, kami menyebutnya terbang tanpa jaring … Tak tahu apa yang akan kami hadapi, dan sejak itu kami hanya berbekal keyakinan. “

Buku ini disarankan agar dibaca sebagaimana penulisnya menuliskannya: ketika mesin cuci tengah berputar, saat anak-anak tidur siang, dan ketika semua orang di rumah terlelap. Membacanya akan membuat Anda merasa lebih nyaman. Ternyata, Anda bukan satu-satunya oran yang ‘rewel’ membahas mangkuk dan piring yang berdentingan di meja makan. Bukan Anda satu-satunya orang yang memperoleh nilai sempurna “10” dalam skala Richter untuk rasa bersalah saat memutuskan untuk berkarir di luar rumah. Zarnow tahu bahwa rasa bersalah itu lazim muncul.

Tapi di dunia Tery Zarnow, masalah seperti ini akan dibahas dengan tawa dan penuh pengertian. Mengerti bahwa ada ibu yang lain mengalami hal serupa.

Teryl memaparkan bahwa betapa seorang ibu harus “terbang tanpa jaring” ketika belajar mengasuh anak-anak. Mulai dari kehamilan, kelahiran, hingga kejutan-kejutan yang harus mereka alami ketika sang anak lahir dan mulai tumbuh, semua dilakukan secara otodidak. Tidak ada pelatihan apa pun yang bisa menyamai realitas yang dihadapi orang tua sehari-hari.

Teryl Zarnow memulai tulisannya dengan persiapan menyambut bayi pertama. Mulai berbelanja perlengkapan bayi, belajar menggunakannya, hingga saatnya tiba seorang ibu harus menyimpannya di gudang. Mulai dari belajar memasang popok hingga begadang hingga larut untuk kemudian terbangun beberapa kali, sedangkan keesokan harinya, rutinitas harian harus berlangsung seperti biasa.

Proses pengasuhan berlanjut hingga anak-anak beranjak tumbuh, saat mereka mulai bebas bergerak ke mana-mana. Saat sekolah, saat anak beranjak remaja … semua menuntut kerja keras—sekali lagi tanpa pelatihan khusus. Namun yang mengagumkan, para ibu bagaikan pasukan berani mati yang bertempur di garis depan medan perang. Mereka melawan rasa bosan, rasa lelah, ego ….

Yang tak kalah pentingnya adalah bergesernya peran suami istri menjadi ayah dan ibu. Pasangan yang telah memiliki momongan seolah kehilangan relasi suami istri. Pernikahan mereka kian jarang diperbincangkan. Anak-anak selalu jadi poros keluarga. Teryl bahkan mengistilahkan “ayah” sebagai “mantan suami.” Dulu, sebelum punya anak, dia adalah suamiku. Kami biasa berbincang tanpa interupsi, bepergian berdua tanpa banyak pertimbangan. Kini, dia adalah ayah anak-anakku. Kami harus rela melayani ocehan anak kapan pun mereka muncul. Saat ingin liburan, kami harus memperhitungkan jadwal sekolah anak-anak. Ulang tahun perkawinan kian terlupakan, muncullah ulang tahun anak-anak.

Teryl mengajak para ibu untuk lebih terbuka. Mengakui kelelahan tanpa rasa bersalah, mengakui rasa kesal tanpa sembunyi-sembunyi, mendiskusikan segala keberatan mereka dengan suami dan anak-anak. Di saat yang sama, Teryl juga menyingkapkan banyak hal indah yang mungkin tak disadari oleh para ibu ketika mengasuh anak-anak. Keindahan yang tak akan pernah dilepaskan siapapun juga, jika mereka tahu hakikatnya.

Dengan menata peran secara proporsional dan penuh tanggung jawab—karena kelahiran anak adalah pilihan kita, dan bukan pilihan mereka—kelak kenangan manis tentang anak-anak akan menghiasi hari tua kita.

Membaca dan menerjemahkannya seolah membaca buku harian yang tak pernah sempat kutulis hingga kini.

Begadang bikin Kanker Hati ?

Para dokter di National Taiwan Hospital baru-baru ini menemukan kasus dokter muda berusia 37 tahun yang diketahui positif menderita kanker hati sepanjang 10 cm! Nah…. Pencegahan kanker hati harus dilakukan dengan cara yang benar. Tidak ada jalan lain kecuali mendeteksi dan mengobatinya sedini mungkin, demikian kata dokter Hsu Chin Chuan.
Penyebab utama kerusakan hati adalah :
1. Tidur terlalu malam dan bangun terlalu siang adalah penyebab paling utama
2. Tidak buang air di pagi hari.
3. Pola makan yang terlalu berlebihan.
4. Tidak makan pagi.
5. Terlalu banyak mengkonsumsi obat-obatan.
6. Terlalu banyak mengkonsumsi bahan pengawet, zat tambahan, zat pewarna, pemanis buatan.
7. Minyak goreng yang tidak sehat! Sedapat mungkin kurangi penggunaan minyak goreng saat menggoreng makanan hal ini juga berlaku meski menggunakan minyak goreng terbaik sekalipun seperti olive oil. Jangan mengkonsumsi makanan yang digoreng bila kita dalam kondisi penat, kecuali dalam kondisi tubuh yang fit.
8. Mengkonsumsi masakan mentah (sangat matang) juga menambah beban hati. Sayur mayur dimakan mentah atau dimasak matang 3/ 5 bagian. Sayur yang digoreng harus dimakan habis saat itu juga, jangan disimpan.

Info seram itu kuperoleh dari posting seorang kawan yang entah pula dia dapat dari mana. Dah terlalu rajin kali beredar di kalangan tukang begadang. Yang jelas, begitu baca, aku langsung keder…cari info sana sini.

Kanker hati? Siapa tak gentar membayangkannya? Padahal, hampir tiap malam aku begadang menekuni layar komputer. Siang baru tidur… Alasannya sederhana: Bekerja di malam hari relatif lebih nyaman dan sepi dari kelincahan anak-anak. Trus…kalau dipikir-pikir, kasihan juga yaa…para pramugari, supir bus malam, para night guard, penjaga loket gedung bioskop midnight, buruh pabrik yang kena shift malam mereka semua (termasuk aku menabung kanker hati….Naudzubillah…).

Belum lagi soal osteoporosis yang mengancam mayoritas perempuan…berbagai jenis kanker lain….wuihhh…ngeri…

Walaupun begitu, (mudah-mudahan) tak akan ada yang mampu menggerogoti jasmani ketika optimisme dan keyakinan tetap ada. Setidaknya, ada riset yang membuktikan bahwa stress adalah salah satu sumber penyakit. Artinya, kalau aku stress karena berpikir bakal kena kanker hati gara-gara begadang…bisa-bisa kena betulan deh…

“The Secret” tulisan Rhonda Byrne cukup menginspirasi. Fokus pada apa-apa yang kuinginkan. Aku ingin sehat lahir batin, aku ingin jadi istri yang baik, aku ingin jadi ibu yang baik, aku ingin jadi pribadi yang baik…Apa yang kutakutkan tak perlu kupikirkan , tak perlu kubicarakan (trus….buat apa yaaa…kutuliskan?, sekedar curhat aja gitu? Bukan…sekedar pembuka bahasan boleh lah… )

Lebih baik, sekarang aku mulai memperbaiki kualitas hidup. Makan lebih sehat, berpikir lebih positif, shalat dan berdoa lebih khusyu, olah raga teratur (???)…dan yang paling penting: berhenti takut.

Tapi…bukankah ketakutan dan harapan itu harus senantiasa berjalan beriringan? Agar aku optimis di satu sisi, dan berhati-hati di sisi lainnya.

So?

Pemutakhiran 7 tahun kemudian:

Artikel ini saya pertahankan dalam kondisi asli sebagai contoh proses belajar. Inilah wujud tulisan saya tahun 2008. Pernah saya jadikan materi ajar Pelatihan EYD, dan peserta tak percaya kalau ini tulisan saya.

Sejak tahun 2013, saya mulai rajin berbagi wawasan tentang belajar Ejaan Yang Disempurnakan alias EYD di berbagai media. Hingga disebut sebagai Guru EYD pun, saya masih sering terpeleset. Take it easy. Belajar tiada henti, berbagi penuh nyali, di antaranya nyali berani malu ketika ada yang nemu tulisan seperti ini, huehehe …

Salam EYD.

Keluarga Besar & Pengendalian Diri

sekeluarga-duduk-di-kursi.jpg 

Demi menghadiri pernikahan adik iparku, tak kurang dari 15 orang kerabat menginap di rumah kecil kami. Suasana riuh rendah oleh obrolan melepas rindu, canda tawa & berbagi cerita. Malam hari kami tidur berdesakan…termasuk bayiku. Bahkan anak ketigaku, yang biasanya rewel jika harus tidur dengan orang asing, ikut dalam keramaian itu dan begadang hingga larut.

Sebagian besar di antara berabatku itu belum pernah kukenal sebelumnya. Namun dari awal, aku memang menciptakan chemistry sok akrab hingga membuat kami nyaman berinteraksi. Di Tasikmalaya, rombongan kami tampil sebagai keluarga besar yang kompak…. 

Setelah pesta pernikahan usai, keramaian masih berlanjut. Kerabat yang berasal dari Makassar dan Papua itu ingin menikmati kota Bandung. Yenny, adik iparku yang lain yang masih belum punya anak, jadi sasaran untuk jadi guide sekaligus granny sitter. Banyak kisah lucu dan unik kudengar dari perjalanan mereka. Bayangkan, dia mengasuh tak kurang dari 4 nenek-nenek dan 3 tante-tante belanja barang-barang murah meriah di Pasar Baru.

Sementara itu, di rumah, aku bersiap dengan logistik yang berlipat dari hari-hari biasa. 5 kg beras yang biasanya baru habis setelah seminggu, habis dalam dua hari. Air mineral galon yang biasa kuganti seminggu dua kali, kini harus kupesan agar diganti setiap pagi. Kran air yang tak henti mengalir, televisi yang on pada jam tayang sinetron (anak-anakku pada ikutan nonton sambil sesekali melirik malu-malu kepadaku), dan kamar mandi yang selalu banyak peminatnya.

Aku jadi berpikir…mungkin beginilah suasana keluarga yang dihuni dua atau tiga keluarga. Bahkan di Cicadas (yang masih jantung kota Bandung) banyak rumah kecil yang disesaki hingga , bahkan sekedar untuk tidur, mereka harus menggelar tikar di teras.

DAN….Yang paling terasa olehku adalah: Pengendalian diri. Selama hampir sebulan Ummi (mertuaku) di rumah, disusul kemudian oleh kerabat yang datang untuk acara pernikahan, aku hampir tak pernah marah ke anak-anak. Aku jadi pintar menjaga suasana hatiku sendiri. Bukan sekedar karena Ummi sedang sakit, tapi karena suasana rumah memang membuatku selalu sibuk. Yang kumaksud sibuk adalah ngerumpi tiada henti dengan tamu-tamuku. Luthfa yang biasa menggantung di pundakku hampir setiap waktu, kini banyak yang mengasuh. Selama dua minggu aku tak pernah mengurus jemuran baju. Pakaian terjemur dan terangkat sendiri secara ajaib (hehehe….), cucian piring selalu beres, lantai juga selalu bersih.

Jadi, memang di satu sisi, kedatangan keluarga besar membuatku belajar banyak untuk mengendalikan diri. Mungkin aku sekedar jaim (jaga image, supaya tampil sebagai menantu yang baik hati dan sempurna….).

Walau begitu, bagi anak-anakku, apapun alasannya sama sekali tak penting. Bagi mereka, selama sebulan, Ibu menjelma jadi peri yang baik hati. Tak pernah marah, dan selalu sabar. Aku berdoa, semoga setelah di-training selama sebulan, aku tidak kemudian bagaikan kuda lepas dari kandang…. Kasihan anak-anak deh…

Tentang anak-anak:   

Seperti biasa, ketika ada tamu, anak-anak seperti punya kesempatan berulah. Semua peraturan yang telah mereka buat sendiri (tentang belajar, latihan musik, sholat, ngaji, main game, mandi, makan mie instan…) mendadak dirubah semau mereka. Alasan mereka persis dengan alasanku ketika meminta mereka tenang di hadapan tamu: Kan kita harus memuliakan tamu, Bu, jadi kak Akbar (sepupu mereka) kita ajak main Game…

Kesal memang, tatanan yang sudah berjalan jadi gonjang-ganjing. Anak-anak seperti tahu: Ibu tidak akan rewel kalau aku melanggar janji dan tidak disiplin. Ibu kan ingin menjaga rumah tetap tenang dan nyaman untuk para tamu. Ibu juga pasti ingin dilihat cool oleh para nenek (hehehehe….).

Yah…tak apa. Itung-itung memberi liburan panjang pada mereka. Aku & suami belum mampu membayar ongkos liburan panjang mereka ke Bali atau Disneyland …. Jadi, biarlah mereka ambil cuti panjang di rumah saja….

Kini rumah kembali sepi, kami kembali ke rutinitas semula. Sholat subuh harus kami lakukan setengah mati, karena suasana rumah yang sepi membuat kami tidur seperti bangkai. Aku merasa lebih merdeka, bisa bermalas-malasan atau begadang sesukaku….  

Entah perasaan anak-anak. Aku tak berani bertanya. Aku tak berani mendengar kekecewaan mereka karena “liburan panjang” telah usai. Kini saatnya berjuang, menjadi ibu yang baik karena memang itu sebuah kemestian. Bukan karena alasan selain itu.