Telaga

Buku Parenting dan Pernikahan
Elia Daryati-Anna Farida
Sampai jumpa, Bu.

Saya berkenalan dengan Bu Elia Daryati berkat seorang kawan. Perkenalan itu berbuah buku-buku parenting yang kami susun bersama. Keluasan hatinya dengan segera memupuk hubungan kemitraan kami menjadi persaudaraan antara guru dan murid.

Saya biasa berisik kepadanya, mengomel tentang banyak hal, dan mengajukan protes tentang berbagai isu.  Kemudian, dengan suaranya yang tenang, pilihan kalimatnya yang ramah, sesekali dengan tawa yang renyah, saya akan mendapatkan respons yang melegakan.

Dalam sebuah obrolan setelah kami siaran bersama di sebuah radio, Bu Elia pernah berkata sambil tersenyum, “Bu Anna terlihat sudah berdamai dengan diri sendiri, ya.”

Memang, Bu. Beberapa perjalanan dan pengalaman membawa saya pada kesadaran bahwa tidak semua bisa kita raih dalam satu rengkuhan. Saya harus memilah dan memilih hal-hal yang perlu saya perjuangkan dan hal-hal yang perlu saya letakkan. Semeleh, kata orang Jawa. Bu Elia termasuk orang yang turut memberi saya keberanian untuk meletakkan bahkan meninggalkan beberapa hal itu.

Berdamai?

Saya masih berjuang untuk merelakan banyak keinginan dan ambisi, Bu, tetapi setidaknya saya sedang menuju ke sana. At least I’ll die trying. Kini kau sudah lebih dahulu menemukan kedamaianmu, kedamaian yang abadi, Bu.

Sejam lalu, ketika suami saya bertanya apakah saya tahu Bu Elia Daryati wafat tadi subuh, saya perlu sekian detik untuk mencernanya.

Lalu bermunculanlah beberapa janji bertemu yang belum terpenuhi, juga hak persaudaraan yang saya abaikan—padahal sebenarnya saya punya kesempatan menyapanya setidaknya seminggu sekali dalam sebuah grup parenting.

Mea culpa.  Saya selalu tergesa-gesa, hingga bahkan menyapa pun tak saya lakukan dengan saksama. Sesal kemudian apalah gunanya. Maafkan saya, Bu.

Kata seorang kawan, kematian bekerja dengan caranya sendiri. Saya mendapati benar maknanya. Terasa sungguh bahwa kita ini hanya menunggu waktu.

Terima kasih, Bu Elia Daryati. Terima kasih sudah menjadi telaga yang tenang bagi saya yang nyaris selalu meletup-letup tiada tentu. Terima kasih sudah menjadi guru dan teman menulis yang penuh kasih.

Anna Farida

25 September 2023

Buku-buku yang saya tulis dengan Bu Elia ada yang disebarluaskan secara gratis, dapat diakses melalui tautan ini.

Kesetimbangan Baru

Manfaat menulis sok sok bijak begini adalah bisa baca tulisan sendiri saat sedang oleng.

Seperti biasa, Rabu minggu ini grup Kulwap Sehati menampilkan materi lalu yang pernah ditayangkan. Mahmud Admin kesayangan kami, Suci Shofia menayangkan tema yang sangat passs. Saya sudah lupa pernah menuliskannya.

🍉 Rabu Jejak Kulwap 🍉

Salam sehati, Bapak Ibu. Ini Kulwap ke-206. Masih dalam suasana penuh doa agar pandemi berlalu segera, kita akan membahas tema “Titik Kesetimbangan”.

Biar gaya kita buka KBBI dulu.
timbang1 » ke.se.tim.bang.an
⇢ Tesaurus
n hal (keadaan, sifat) setimbang; keseimbangan
n ketenangan (pikiran, batin); kemantapan (keadaan): ia dapat memikirkan keadaan dirinya sendiri dan menetapkan ~ pendirian dan sikapnya kembali

Dua tiga minggu ke belakang, kita—sedikit banyak—mengalami guncangan. Dalam level yang berbeda-beda, tatanan keluarga mengalami perubahan.


Saya, misalnya.
Saya veteran pekerja rumah. Kantor utama saya adalah rumah, dan pada saat-saat tertentu saya benar-benar jadi penguasa rumah. Saat anak dan suami beraktivitas di luar, saya punya me time yang benar-benar me time.
Suami saya punya him time, anak-anak punya them time. Mereka bisa melepaskan diri sejenak dari cengkeraman saya.

Kemudian datang kebijakan bekerja dan sekolah di rumah. Kami jadi harus bersama-sama 24 jam.
Awalnya tentu menyenangkan. Saya belanja aneka bahan makanan, dan menyiapkan segala macam persiapan pembelajaran di rumah.
Saya yang biasa kerja di rumah tenang saja dan yakin tidak akan terpengaruh.
Toh ini yang saya lakukan sehari-hari.

Ternyata kejadiannya tidak semudah itu.


Seminggu dua minggu berjalan. Kami saling menyesuaikan diri dan saling menjaga suasana, dan itu ternyata menghabiskan energi—terutama energi saya sebagai manajer rumah. Bertepatan pada minggu itu, saya sedang menghadang beberapa pekerjaan. Yang SMP dan SMA mengeluh karena mendadak banyak tugas—ini perlu dimaklumi karena guru pun kaget dengan situasi ini dan cara darurat termudah adalah memberikan tugas. Yang mahasiswa mulai resah karena biasanya sebelum UTS dia belajar bareng sama teman-teman, dan belajar online bukan pilihan asyik

Kepada siapa semua keluhan itu dialamatkan?

Tentu kepada kita, orang tua mereka.
Nah … setelah dua tiga minggu, apakah kita masih punya energi?

Kemungkinannya ada dua.
Kemungkinan yang pertama adalah kita sudah sampai pada titik kesetimbangan.

Secara sederhana, ketika kondisi yang biasa kita miliki diguncang oleh sesuatu, misalnya hadirnya atau keluarnya anggota keluarga karena kematian atau sebab lain, anggota keluarga yang sakit, atau mendadak dirumahkan seperti saat ini, kita akan berusaha menyesuaikan diri dengan berbagai cara. Ada yang mudah ada yang sulit, ada yang sambil tertawa ada yang harus menangis. Masing-masing keluarga memiliki kekhasan.

Nah, pada saat kita memutuskan baik secara sadar maupun tidak, disukai maupun tidak, menerima bahwa inilah kondisi yang harus dijalani, tampaknya kita sudah menemukan titik kesetimbangan baru.
Artinya, guncangan telah berlalu atau kita sisihkan demi mendapatkan ketenangan baru. Kita menjadikannya titik pijakan baru tanpa lagi menyalahkan kondisi yang ada.
We dance with the storm, lah, bahasa kerennya.

Kemungkinan kedua adalah kelelahan.
Setelah dua minggu penuh energi dan penuh semangat, misalnya, mungkin di antara kita mulai ada yang nglokro karena kehabisan energi.


Dalam berbagai kasus lain, guncangan mendatangkan dampak yang berbeda-beda, dan kita pada posisi tidak bisa segera menyesuaikan diri.
Akibatnya, energi yang harus keluar pun berlipat ganda.
Pertama kita harus bertahan. Kedua, kita melawan. Kita tidak terima kondisi ini dan menghabiskan banyak energi untuk mencari jalan keluar yang tak kunjung diperoleh.

Bagaimana mengenalinya?
Lihat diri kita. Lihat pasangan kita. Lihat anak-anak yang berada dalam pengasuhan kita.

Lihat apakah mereka masih berani mengeluh pada kita?
Apakah mereka masih berani mengomel dan berkata tidak suka?
Atau mereka terlihat menahan diri demi menjaga perasaan kita?
Atau mereka berusaha menjauh dari kita secara fisik? – Ini saya aman. Soalnya rada susah dilakukan orang di rumah saya karena rumahnya kecil, haha. Kalau mau menjauh kudu naik ke jemuran.

Nah, mari amati.
Komplain, keluhan, rengekan, curhatan, pada masa gamang seperti ini adalah hal wajar. Apakah mereka masih menyampaikannya pada kita?

Mari kita berdiskusi.

Salam takzim,

Anna Farida
http://www.annafarida.com
Everything seems impossible until it’s done (Nelson Mandela)

Btw salah satu kealpaan saya adalah tidak mencantumkan tanggal setiap menge-post materi.

Saat ini Seri Kulwap Sehati ada di Kulwap ke-362 dan Kulwap dilakukan seminggu sekali dipotong bulan Ramadan. Jadi, kira-kira kapan Kulwap-206 ini ditayangkan?

Kemungkinan Maret 2020-an, saat kita semua dirumahkan total karena pandemi Covid-19.