SETAN?

whatfix academy

Foto milik Whatfix Academy

Kemarin, saya dan teman-teman berdiskusi hangat tentang arti kata “ashiap”.

Sebuah link dibagikan, dan katanya kata itu artinya “setan”. Katanya.

Ada yang langsung beristigfar, ada yang minta agar berita itu dicek kebenarannya, ada yang bilang itu hoax, ada yang santai saja–termasuk santai dibilang hoax. #piyejal

Saat ada perbedaan pendapat seperti itu, saya biasa kembali ke kaidah umum.

Bahasa itu kesepakatan para penggunanya. Itu prinsip universal. Teman-teman yang gemar ngoprek bahasa asing atau bahasa daerah seharusnya mengerti benar.

Contoh:
Teman-teman yang paham bahasa Arab tentu tahu apa arti “syarif”–ini transliterasi Indonesia, atau mungkin ” shareef”, transliterasi ala Inggris. Artinya bagus, lah.

Lha, ternyata kata guru SMP saya begini, “Jangan namai anakmu Sarip. Itu artinya kentut.”

Ada teman saya yang memanggil anaknya dengan julukan tertentu, teman lain protes karena menurutnya artinya tanaman beracun.

So, words are sometimes just personal.

Yang personal itu bisa beranjak jadi komunal jika saling disepakati, atau bahkan kemudian menjelma sebagai lingua franca.

Nah, nah, sebelum jadi kesepakatan atau terbukti secara ilmiah–dibenarkan melalui rujukan sahih dan narasumber yang tepercaya–isu perbedaan makna kata-kata yang belakangan ini bermunculan sah saja dijadikan obrolan ringan.

Ringan artinya ya selow saja, bukan sebagai kebenaran yang teruji. Jadi tidak perlu juga menganggap orang yang menggunakan kata itu sebagai anu anu anu.

Btw, nanti ada nggak yang mengartikan kata “selow” sebagai anu anu anu dan menuding saya anu anu anu, ehehe.

Salam takzim,

Anna Farida

DIA TIDAK MENUNDUK

DIA TIDAK MENUNDUK
Sepuluh tahun lalu.
Saya: “Pak, ada belimbing wuluh?”
Penjual-1: “Tidak ada, Bu. Mau masak apa, Bu? Yang lain, atuh. Ini baru datang, seger juga dioseng …”
Penjual-2: “Wah, kosong, Bu. Buahnya sudah ada? Ini pepaya dari kampung. Maniiis sekali …”
Begitu terus sampai ke penjual ke sekian. Saya dapat senyum, perhatian, sapaan, dan berbagai tawaran menggiurkan. Niatnya mau beli belimbing wuluh dapat belanjaan bermacam-macam.
Beberapa hari yang lalu.
Saya: “Pak, ada ragi tempe?”
Penjual-1 menggeleng lantas menunduk.
Penjual-2 menjawab “Teu aya” lalu menunduk.
Penjual-3 menyahut “Enggak punya” lalu menunduk.
Penjual-4 berkata “Di tukang beras” lalu menunduk.
Penjual-5 bergumam “Tanya tukang rampe” lalu menunduk.
Penjual-1279 (biar dramatis) membalas “Adanya ragi tape” lalu menunduk.
Semua menjawab singkat, tanpa tersenyum, lantas segera menunduk.
Saya keluar pasar dengan gontai. Tak ada belanjaan lain di tangan.
Di dekat tukang duku ada yang menyapa saya. Lelaki tua kurus berjaket cokelat.
“Becak. Bu?”
“Saya bawa sepeda motor, Pak. Ini lagi cari ragi tempe Sudah keliling enggak nemu.”
“Oh, dulu pernah lihat yang jual ragi tempe di toko kedelai, Bu. Di sana dekat jembatan layang. Coba saja tanya, siapa tahu masih punya.”
“Oh, nuhun, Pak. Saya coba ke sana.”
Meluncurlah saya ke arah yang ditunjukkan, ragi tempe saya peroleh tanpa kesulitan.
Saya kembali ke tukang becak itu dan berterima kasih. Dia membalas ucapan saya dengan senyuman.
Dia tidak menunduk, tampaknya tidak punya hape.
Salam takzim,
Anna Farida

Five Years Blogging

Lima tahun berbagi kata

Lima tahun berbagi kata

Tak terasa, aku sudah nge-blog selama lima tahun. Seumur putri bungsuku 🙂

Senang bisa berbagi cerita, mencatat sejumput kisah dalam perjalanan hidupku menuju Tuhan.

Ada yang serius, ada yang iseng. Tentang diriku, keluargaku, teman-temanku. Tentang masa laluku, masa kiniku, masa depanku.

Terima kasih sudah mau membaca blogku, terima kasih, WordPress sudah mau memberiku tempat gratis untuk berbagi kata 🙂