Kemarin, saya dan teman-teman berdiskusi hangat tentang arti kata “ashiap”.
Sebuah link dibagikan, dan katanya kata itu artinya “setan”. Katanya.
Ada yang langsung beristigfar, ada yang minta agar berita itu dicek kebenarannya, ada yang bilang itu hoax, ada yang santai saja–termasuk santai dibilang hoax. #piyejal
Saat ada perbedaan pendapat seperti itu, saya biasa kembali ke kaidah umum.
Bahasa itu kesepakatan para penggunanya. Itu prinsip universal. Teman-teman yang gemar ngoprek bahasa asing atau bahasa daerah seharusnya mengerti benar.
Contoh:
Teman-teman yang paham bahasa Arab tentu tahu apa arti “syarif”–ini transliterasi Indonesia, atau mungkin ” shareef”, transliterasi ala Inggris. Artinya bagus, lah.
Lha, ternyata kata guru SMP saya begini, “Jangan namai anakmu Sarip. Itu artinya kentut.”
Ada teman saya yang memanggil anaknya dengan julukan tertentu, teman lain protes karena menurutnya artinya tanaman beracun.
So, words are sometimes just personal.
Yang personal itu bisa beranjak jadi komunal jika saling disepakati, atau bahkan kemudian menjelma sebagai lingua franca.
Nah, nah, sebelum jadi kesepakatan atau terbukti secara ilmiah–dibenarkan melalui rujukan sahih dan narasumber yang tepercaya–isu perbedaan makna kata-kata yang belakangan ini bermunculan sah saja dijadikan obrolan ringan.
Ringan artinya ya selow saja, bukan sebagai kebenaran yang teruji. Jadi tidak perlu juga menganggap orang yang menggunakan kata itu sebagai anu anu anu.
Btw, nanti ada nggak yang mengartikan kata “selow” sebagai anu anu anu dan menuding saya anu anu anu, ehehe.
Salam takzim,
Anna Farida