DIA TIDAK MENUNDUK

DIA TIDAK MENUNDUK
Sepuluh tahun lalu.
Saya: “Pak, ada belimbing wuluh?”
Penjual-1: “Tidak ada, Bu. Mau masak apa, Bu? Yang lain, atuh. Ini baru datang, seger juga dioseng …”
Penjual-2: “Wah, kosong, Bu. Buahnya sudah ada? Ini pepaya dari kampung. Maniiis sekali …”
Begitu terus sampai ke penjual ke sekian. Saya dapat senyum, perhatian, sapaan, dan berbagai tawaran menggiurkan. Niatnya mau beli belimbing wuluh dapat belanjaan bermacam-macam.
Beberapa hari yang lalu.
Saya: “Pak, ada ragi tempe?”
Penjual-1 menggeleng lantas menunduk.
Penjual-2 menjawab “Teu aya” lalu menunduk.
Penjual-3 menyahut “Enggak punya” lalu menunduk.
Penjual-4 berkata “Di tukang beras” lalu menunduk.
Penjual-5 bergumam “Tanya tukang rampe” lalu menunduk.
Penjual-1279 (biar dramatis) membalas “Adanya ragi tape” lalu menunduk.
Semua menjawab singkat, tanpa tersenyum, lantas segera menunduk.
Saya keluar pasar dengan gontai. Tak ada belanjaan lain di tangan.
Di dekat tukang duku ada yang menyapa saya. Lelaki tua kurus berjaket cokelat.
“Becak. Bu?”
“Saya bawa sepeda motor, Pak. Ini lagi cari ragi tempe Sudah keliling enggak nemu.”
“Oh, dulu pernah lihat yang jual ragi tempe di toko kedelai, Bu. Di sana dekat jembatan layang. Coba saja tanya, siapa tahu masih punya.”
“Oh, nuhun, Pak. Saya coba ke sana.”
Meluncurlah saya ke arah yang ditunjukkan, ragi tempe saya peroleh tanpa kesulitan.
Saya kembali ke tukang becak itu dan berterima kasih. Dia membalas ucapan saya dengan senyuman.
Dia tidak menunduk, tampaknya tidak punya hape.
Salam takzim,
Anna Farida