Cuma Tisu

ubit upengApa ini putih-putih?

Saya sedang menjemur baju dan mendapati semua baju bebercak serbuk putih.

Haish! Remukan tisu!

Godaan lewat sepintas, memprovokasi saya supaya jengkel dan berteriak di subuh buntu, “Siapa yang habis nyakuin tisuuu!”

Tunggu dulu. Mengawali hari dengan meributkan hal remeh sungguh membuat saya rugi tiga kali. Rugi empat kali jika tak ada yang mengaku. Rugi lima kali rugi jika ternyata biang masalah itu berasal dari saku baju saya sendiri.

Sambil terus menjemur dan mengibaskan setiap lembar kecil besar, tawa saya pecah tiba-tiba.

Salah satu kebiasaan buruk saya adalah menumpahkan seluruh isi keranjang cucian ke dalam mesin cuci. Emoh banget ngecek satu per satu. Dua kali dompet suami saya jadi korban. Earphone dan USB flash drive tercuci sudah biasa, bahkan sendok pun pernah ikut berperan.

Saat merasa kehilangan sesuatu, suami saya biasa tanya, “Ibu lagi nyuci?” 😀

Sayangnya kebiasaan itu bertahan hingga kini, sungguh tidak terpuji.

Dulu, ketika punya bayi, peristiwa kacau pernah terjadi.

Saat menjemur, saya rasakan ada yang lengket-lengket di jari. Saya perhatikan ada bulir-bulir lembut di semua baju. Bening, seperti agar-agar.

Sambil terus bertanya-tanya ini apa ini apa, saya nekat saja menjemur. Nanti sang bayi keburu bangun, kan.

Tak lama kemudian, kebenaran tersingkap dari balik handuk.

Terlihatlah celana panjang mungil, lengkap dengan gumpalan popok sekali pakai—mungkin Anda menyebutnya diaper atau bahkan pampers, hehe.

Kemungkinan besar itu ulah saya sendiri. Karena buru-buru, baju bayi jadi tercampur dengan baju yang lain.

Jadi butiran kecil-kecil tadi isi pospak. Saya belum pernah tahu seperti apa isinya.

Semua anak saya pakai popok kain, jadi pospak memang tidak begitu saya akrabi. Sesekali saja pakai ketika pergi-pergi.

Ya gitu, deh. Pengetahuan bisa datang dengan cara yang sangat tidak menyenangkan.

Kuesel banget.

Berarti kena najis semua, dong!

Berarti harus disikat semua, dong!

Berarti harus dicuci pakai tangan, dong!

Dengan masygul saya turunkan semua baju yang telah tergantung. Keranjang cucian yang sama jadi terasa tiga kali lebih berat.

Di kamar mandi, setengah hati saya mengalirkan air ke ember dan ambil bangku kecil untuk duduk. Sebel banget! Mungkin saat itu saya merengut sambil nangis, saya pura-pura lupa saja—haha.

Baru baju kedua saya bilas di bawah keran, eh … tangis bayi terdengar nyaring.

Selamat! Ada alasan menunda pekerjaan. Saya tahu, sih, saya juga yang harus membereskannya nanti. Yang penting derita nomor tujuh di dunia ini berakhir dulu.

Jadi, ini kan cuma tisu. Kibaskan dulu sebisanya, kibaskan lagi nanti setelah kering.

Bukan masalah besar. Tak perlu merusak pagi dengan investigasi tersangka. Kata ahli komunikasi favorit saya, tak perlu menghamburkan energi demi kebenaran recehan.

Kebenaran yang prinsipil adalah segera menyelesaikan menjemur dan menulis lagi 🙂

Salam takzim,

Anna Farida

 

Konsultasi Life Skill Pada Anak

BERBAGI LIFESKILLS DENGAN ANAK

Salam Sehati, Bapak Ibu
Kita masuk ke materi-19. Angka cantik, angka remaja yang segar 😀
Tema kita kali adalah Berbagi Life Skills Dengan Anak
Dalam bahasa Indonesia, kita mengenal istilah kecakapan (hidup). Secara umum, definisinya adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri secara positif sehingga kita bisa menghadapi kebutuhan dan tantangan hidup sehari-hari, yang biasa maupun yang di luar kebiasaan. Kecakapan ini diperoleh melalui pendidikan, pembiasaan, atau pengalaman langsung.
Eh, saya punya cerita menarik. Saya akan samarkan kasusnya, tapi jika kau membacanya di mana pun, mohon ikhlas, ya, hueheh.
Saya berkunjung ke rumah seorang teman. Anaknya yang berusia 12 tahunan keluar memanggil tukang roti. Uang yang dia minta dari ibunya tak ada kembalian. Dia bingung karena tukang roti juga nyebelin, nggak mau tahu.
“Kasih aku uang pas atau nggak usah beli rotiku,” katanya (ini jelas saya buat-buat)
Akhirnya saya buka dompet, itung-itung nraktir ponakan. Uang receh saya kan selalu banyak.
Sambil malu-malu anak itu melesat ke dalam rumah sambil berterima kasih setelah diingatkan ibunya.
Kami melanjutkan obrolan dan telepon berdering. Ternyata anak itu menelepon ibunya – dari kamarnya.
Ibunya minta izin masuk sebentar.
Bukan saya kalau nggak kepo, jadi saya tanya, “Ada apa?”
Jawaban teman saya itu bikin melongo, “Itu, minta dioleskan roti. Kalau dia yang ngoles katanya berantakan.”
Kami ngobrol sebentar, dan telepon berdering lagi.
Yak, anaknya memanggil lagi. Kali ini lapor kalau internet lelet – dan hanya lapor saja.
Dua tiga kali lagi anak itu menelepon untuk minta ibunya membukakan kemasan keripik dan dia tidak nemu gunting dan membetulkan antena televisi.
Beberapa saat kemudian …
Bukan! Anda salah tebak. Anak itu tidak menelepon.
Ibunya yang menelepon dan bertanya, “Gimana, Kak? Tivinya sudah bagus?”
Saya melongo lebih lama.

Ooo … ternyata ini biangnya.

Saya buru-buru bikin catatan di hape, bahwa saya akan menulis tentang hal ini suatu hari. Anda apes sekaligus beruntung punya teman penulis – ada saja ide yang dia curi dari Anda 😀
Anak-anak perlu diajak belajar hidup berkualitas – diajak, ya, bukan diajari. Diberi teladan, bukan disuruh, karena orang tuanya juga selalu dalam proses meningkatkan kualitas hidup.
Kisah sederhana di atas memberikan gambaran betapa anak 12 tahun bisa nangis-nangis jika ibunya atau orang dewasa lain tidak ada untuk membantunya.
Saya tidak berani membayangkan anak seperti ini naik angkot sendiri, kemudian angkotnya rusak, dan dia diturunkan sebelum tujuan. Jika dia tidak bisa menelepon ke orang tuanya, apa yang akan dia lakukan?
Atau, dia mendadak harus di rumah sendiri karena sebab tertentu, atau dia harus menginap di rumah saudara lain tanpa ayah dan ibu, dan atau-atau yang lain.
Kecakapan hidup yang sangat sederhana ini baru teruji ketika anak lepas dari orang tua – sebentar atau lama.
Kecakapan dasar seperti menjaga kesehatan, memasak, tetap waspada dalam segala keadaan, ramah tanpa jadi gampangan, hingga mengelola uang perlu dikenalkan sejak dini.
Oh iya, komunikasi asertif dan disiplin adalah salah duanya.
Jadi, mari kita berdiskusi, apakah pernah ada yang mengalami kejadian serupa?
Apakah anak Bapak Ibu pernah mengalami hal yang menantang kecakapan hidupnya?
Apa yang Bapak Ibu lakukan untuk menumbuhkan kecakapan hidup mereka?

Salam takzim,
Anna Farida

uchishofia

Image result for life skill overcomingbyfaith.org

Kulwap Keluarga Sehati yang disponsori oleh Buku Parenting With Heart dan Marriage With Heart ke 19 kali ini bertema Berbagi Life Skills Dengan Anak. Sebagai orangtua pastinya kita berharap anak menjadi sosok yang mandiri dan bertanggung jawab. Berbagai cara bisa dilakukan salah satunya dengan mengajarkan kecakapan hidup (life skill). Mengajari mereka merapikan mainannya sendiri salah satunya, meskipun ada asisten rumah tangga di rumah. Memberikan mereka kesempatan untuk menyelesaikan masalahnya (kesulitan) sekecil apapun. Kebingungan memakai baju mana depan mana belakang, biarkan saja ia asyik dengan kesulitan tersebut. Boleh saja menawarkan diri untuk membantu, bukan “Udah sini, Ibu/Ayah aja yang pakaikan baju!”.

Yuk, simak konsultasi peserta Kulwap Keluarga Sehati berikut ini:

Anna Farida: Salam, Bapak Ibu. Bandung cerah. Kali ini saya dulu yang manggung, yaaa,  Bu Elia nyusul 🍃🌿Tanya 1:
Anak saya dua perempuan semua kelas 1 dan 3.
Kalau enggak ada ortunya mereka mandiri, tapi kalau ada ortunya seringnya manja pinginnya dilayani seperti ambil…

View original post 1,881 more words

Konsultasi Penggunaan Gadget bagi Anak

Haish judulnya propokatif, Generasi Tunduk.

Sebuah penelitian di Inggris menyebutkan bahwa 1 dari 7 orang tua membiarkan anak-anak bermain smartphone lebih dari 4 jam sehari. Entah mengapa saya menduga persentasenya bisa meningkat jika penelitian yang sama dilakukan di Indonesia. Nggak usah jauh-jauh, deh. SAYA sendiri, iya, saya, pegang hape dalam sehari bisa lebih dari 4 jam. Bagaimana dengan Bapak Ibu sekalian? #tutupmuka

Yakin, deh, umumnya orang tua sepakat bahwa teralu banyak mantengin gawai (gadget) itu tidak baik. Umumnya penelitian juga menyebutkan bahwa 1-2 jam sehari adalah angka terbanyak bagi anak menatap layar — errr sebenarnya termasuk kita juga eheheh.

Nothing wrong with the gadget. Gawainya nggak salah, kok. Hapenya baik-baik saja. Ini sudah zamannya, era digital sudah jadi bagian hidup kita. Anak-anak tidak akan bisa menjauh dari teknologi digital karena orang tuanya juga ogah pisah dengan hapenyaaaa ahahah. Kebutuhan primer kita kan sandang pangan casan 😎

Dalam buku “Parenting With Heart” ada kisah seorang anak yang hobi main game dor-doran dan orang tuanya santai saja. Katanya kan hanya game 😱

Padahal, apa yang paling sering kita lakukan akan membentuk watak. Sama-sama buang waktu, kenapa, sih, nggak milih game yang lebih baik.

Saya mengizinkan anak-anak main game—bisa dimusuhi saya jika tidak – syaratnya sederhana. Ada batas waktu dan isi game-nya. Ini yang utama.
Batasnya kami sepakati 1-2 jam, dan isinya adalah yang membangun, memelihara, bukan bunuh-bunuhan dan merusak. Nanti kita bahas lebih jauh dalam diskusi, pasti Bapak Ibu punya banyak pengalaman terkait game.

Hal yang kedua adalah terpaparnya anak dengan media sosial. Ketentuan umur legal 13 tahun terlalu mudah diabaikan. Sekarang ini anak-anak SD sudah aktif bermedia sosial. Kita lihat mereka lebih sering menunduk menatap hape daripada melihat manusia yang ada di dekat mereka. Semoga hal ini tidak terjadi setiap hari di rumah Bapak Ibu. Sesekali tentu biasa, kan Bapak Ibunya juga seperti itu #kabooor

Berikut ini hal sederhana yang bisa dilakukan untuk membuat penggunaan gawai jauh lebih positif:

+ Sepakati, gawai itu dipinjamkan kepada anak. Jadi ada hak ortu di sana. Ortu boleh setiap saat mengaksesnya, termasuk tahu passwordnya.
+ Untuk anak yang lebih kecil, jangan pernah gunakan gawai untuk menghiburnya saat rewel—plis, ini awal bencana, suwer.
+ Sepakati, tidak boleh bawa gadget ke tempat tidur. Buat alarm? Belikan jam weker.
+ Jadilah teladan. Ketika anak bicara, letakkan hape, lihat dia, pliiis.
+ Game boleh di komputer yang tempatnya tetap. Tidak ada game di hape – iniah yang saya terapkan pada anak-anak. Ketika pergi sama saya, misalnya ngaji atau ikut acara apa pun, mereka baca – ehehehe keren, kan? Ibunya dapat pujian padahal di rumah main game juga nonton juga. Efek dari game di satu tempat tertentu adalah bergantian dan tidak mudah dibawa-bawa—siapa yang mau gotong komputer ke mana-mana?
+ Lakukan off-screen day sesekali. Misalnya ketika sedang pergi bareng, semua hape masuk tas Mama (ini yang dilakukan Bu Elia).

Nah, trik di atas hanya berlaku jika orang tua menjadi teladan yang baik bagi anak-anak. Jika terbukti bahwa gadget membawa manfaat positif, misalnya untuk One Day One Juz, ikut kelompok diskusi yang terarah—seperti kulwap kita ini—ehm yang adminnya galak 😁, yang tidak membuat Ayah Ibu menunduk setiap waktu—gadget rasanya baik-baik saja, kok.

Nah, ada yang mau berbagi?

Ini tanya jawabnya, kuliah via Whatsapp parenting dan pernikahan
Keluarga Sehati pindah ke hari Senin, ya.
Bisa daftar ke Suci Shofia, pemilik http://www.uchishofia.wordpress.com
Salam takzim,
Anna Farida
http://www.annafarida.com
It always seems impossible until it’s done
(Nelson Mandela)

uchishofia

gambar gadget ilustrasi: stocklogos.com

Pertanyaan-1

Bagaimana cara memberi tahu bahaya dari terlalu sering online terutama dengan lawan jenis? Saya khawatir anak gadis saya (10 tahun) dimanfaatkan atau terjadi sesuatu. Misalnya cinta monyet. Mumpung masih baru buka akun facebook-nya.

Jawaban Bu Elia Daryati

Online (ol) dengan lawan jenis.
Dalam kasus ini, ada 2 hal yang menjadi titik persoalan.
Usia 10 tahun adalah masa prepubertas, salah satu tugas perkembangan anak memiliki ketertarikan secara sosial untuk berinteraksi dengan lawan jenis. Mereka memiliki sensasi lain, bukan sekedar berteman biasa, namun sudah memiliki ketertarikan dengan lawan jenis.
Ol dengan gadget, tanpa “niat” untuk berinteraksi dengan lawan jenis pun menimbulkan efek kecanduan.
Dengan melihat alasan diatas, maka dapat dikatakan bahwa perasaan untuk terpaku dengan gadget, apalagi anak baru memiliki akun facebook yang selama ini diimpikannya, bukanlah perkara yang mudah. Bagaikan anak sedang mendapat mainan baru, pasti euforia dan mulai dapat berselancar di dunia maya dengan asyik-asyiknya.
Apa yang…

View original post 3,782 more words