Opini di HU Pikiran Rakyat, 25 Juni 2016
Ini artikel asli yang saya kirim ke Harian Umum Pikiran Rakyat. Versi koran lebih padat, tak banyak melantur seperti ini 😀
Seorang ibu mengeluh tentang putrinya yang sudah dua belas tahun tapi belum tertib membereskan kamarnya sendiri. Semula sang ibu membiarkan kamar sang putri berantakan, tapi lama-lama tidak tahan dan turun tangan sambil mengomel. Kamar pun beres untuk kemudian dibuat berantakan lagi, demikian setiap hari.
Saat menyadari bahwa anak beranjak remaja dan kecakapan hidupnya belum sesuai harapan—misalnya dalam hal tingkah laku atau prestasi belajar—yang paling sering dilakukan orang tua adalah menyalahkan diri sendiri. Berikutnya akan ada kecenderungan untuk menyalahkan orang lain seperti pasangan, guru, atau teman-teman sang anak.
Masalah kian ruwet ketika yang disalahkan tidak terima dan balik menyalahkan. Ayah menyalahkan Ibu dan sebaliknya, orang tua menyalahkan guru, guru menyalahkan orang tua, anak menyalahkan orang tua dan sebaliknya.
Ini jalan buntu.
Semua pihak terjebak dalam pertikaian yang menguras energi tanpa solusi. Anak menyaksikan perilaku orang-orang dewasa yang kontraproduktif dan menjadikan perilaku itu sebagai pijakan bertindak.
Menyalahkan diri sendiri dan orang lain mungkin memberi ruang untuk memperoleh pembenaran, mengapa perilaku anak meleset dari harapan.
Kita tahu, sebagian remaja kita tumbuh dalam lingkungan yang kondusif dan sebagian lagi harus berjuang keras menjalani tumbuh kembang yang layak. Faktanya, tumbuh dalam kondisi apa pun, tuntutan masa depan yang mereka hadapi tetap sama.
Lantas apa yang bisa dilakukan oleh orang tua atau orang dewasa lain dalam proses pembelajaran remaja menjadi pribadi yang bertanggung jawab?
Setop berperan jadi korban
Juara dalih terpopuler yang biasa diajukan remaja ketika tanggung jawabnya meleset adalah menyalahkan orang lain atau hal lain. Ketika datang terlambat, misalnya, dia berdalih “Adik saya rewel. Saya harus menghiburnya dulu. Angkotnyangetem (nunggu penumpang lain) hampir sejam. Tadi saya lewat pasar tumpah, jalan jadi macet.”
Artinya, dia mencoba berkata bahwa “Saya ini korban kerewelan adik saya, korban angkot yang lambat, korban pasar yang padat. Jadi saya seharusnya diampuni. Aturan-aturan itu tidak berlaku bagi saya karena saya ini korban. Karena saya korban, saya tidak perlu bertanggung jawab.”
Ketika remaja menempatkan diri sebagai korban, kepada mereka harus disampaikan, “Menyalahkan adik atau angkot dan pasar tidak menyelesaikan masalah. Ayo kita cari cara untuk datang tepat waktu.”
Hal yang sama bisa diterapkan ketika kita menjumpai kamarnya berantakan dan dia menyalahkan tugas sekolah yang banyak, misalnya.
“Menyalahkan tugas sekolah bukan solusi. Kesepakatan kita adalah kamar harus rapi sebelum sarapan, dan kita sama-sama tahu konsekuensinya jika kamar berantakan.”
Artinya, kesepakatan dan konsekuensi harus diketahui bersama sebelum ada kejadian. Pastikan remaja paham bahwa konsekuensi adalah hasil dari pilihan yang salah, bukan hukuman.
Pada saat yang sama, orang tua pun wajib konsisten saat berhadapan dengan situasi yang memestikan teladan yang baik. Mari kita selisik peristiwa berikut ini:
Alif terlambat bangun dan kesal. Dia uring-uringan karena Senin adalah hari upacara. Murid yang terlambat akan dapat jatah membersihkan selokan sekolah. Sang ibu juga kesal karena semalam Alif melanggar jam tidur yang sudah disepakati. Tapi bagaimana lagi, ibunya merasa bersalah sekaligus tidak tega, bahkan ikut malu jika Alif membersihkan selokan.
Akhirnya sang ibu menelepon sekolah, “Alif sedang tidak enak badan, Pak. Mohon izin datang terlambat ke sekolah.”
Sekarang siapa yang punya problem dengan tanggung jawab? Mengapa Ibu memilih berpihak pada perilaku negatif Alif? Dia salah mengambil keputusan begadang, terlambat bangun, terancam kena sanksi, dan ibunya membereskan urusannya.
Ketika anak bersikap kurang baik, misalnya bersikap kasar, tidak mengerjakan PR, tidak sopan, atau melakukan pelanggaran lain di rumah atau di sekolah, sebagian orang tua mencari jalan pintas: jadi pembela.
Mereka mengemukakan dalih atas sikap kurang baik tadi, misalnya “Saya dan ibunya berpisah, jadi dia kurang fokus. Di rumah sedang ada masalah, jadi emosinya cepat terpancing. Mungkin dia kurang sehat, jadi cuek saja saat diajak bicara.”
Pada saat itulah orang tua mengiyakan bahwa anak adalah korban, jadi tak perlu bertanggung jawab. Anak akan melihat bahwa ternyata cara ini mujarab untuk menghindari konsekuensi dan menjadikannya kebiasaan.
Kita tak bisa menutup kemungkinan bahwa remaja kita sedang menghadapi situasi pelik yang membuatnya tidak leluasa menempatkan dirinya. Itu lain cerita. Yang sedang kita bahas justru dalih yang biasa digunakan orang tua untuk menutupi ketidakmampuan anak untuk bertanggung jawab. Jadi memang ada unsur manipulasi di sana, dan anak mengaminkannya.
Dengan daya pikir yang mulai berkembang, remaja tahu bagaimana perasaan ayah atau ibu terhadap mereka. Somehowremaja ini mengendus aroma rasa bersalah dari kedua orang tua jika mereka melakukan kesalahan.
Dalam bahasa Jawa ada istilah anak polah bapa pradhah, jika anak melakukan kesalahan, orang tua ikut menanggung akibatnya. Tentu benar, perbuatan anak masuk dalam cakupan tanggung jawab orang tua. Pada saat yang sama, melatih tanggung jawab anak juga tanggung jawab orang tua, bahkan jauh lebih besar bobotnya. Tak selamanya orang tua ada di sisi anak untuk jadi “pahlawan penyelamat”.
Kita berharap anak-anak tumbuh dan berkembang kuat sesuai dengan potensinya, bukan dilemahkan karena orang tua selalu jadi tameng yang melingkupi mereka.
Bahkan untuk anak-anak yang difabel sekalipun, latihan bertanggung jawab mesti diberikan sedini mungkin dengan porsi sesuai kondisi mereka masing-masing.
Jika mereka mengalami kesulitan menumbuhkan tanggung jawab, tugas orang tua adalah membantunya berlatih. Salah satunya adalah mengurangi porsi peran “pahlawan semu” tadi.
Awali dengan duduk bersama remaja kita, ajak dia bicara. Sampaikan bahwa usianya kini mulai remaja, dan belajar bertanggung jawab adalah salah satu cara menapaki keberhasilan dalam hidup (Covey, 2009).
Tepat pada saat yang sama, orang tua pun mesti yakin bahwa anak mampu melakukannya. Melepaskan porsi patron atau pahlawan juga perlu perjuangan. Jadi, terkait berlatih tanggung jawab, anak dan orang tua berjuang bersama-sama.
Ketika remaja bersikap tidak santun di sekolah atau kurang sopan ke tetangga, misalnya, jangan buru-buru menelepon untuk minta maaf. Ajak dia belajar bertanggung jawab dengan minta maaf sendiri. Temani dia jika perlu. Jika dia menolak, biarkan anak menerima konsekuensinya—misalnya dapat surat peringatan dan sekolah atau dijauhi teman sekitar rumah.”
Jadi bukan hanya anak yang harus siap, orang tua pun harus siap. Besar kemungkinan dia akan marah kepada Anda dan menyangka Anda tidak sayang lagi. Mungkin dia mengomel, mungkin juga bungkam sebagai tanda protes.
Ketika dia melakukan kesalahan dan menempatkan diri sebagai korban, ajukan pertanyaan yang tepat seperti ini:
“Tanggung jawab siapa, nih, buang sampah setiap sore?”
“Kemarin repot banget, Bu. Pak Guru kasih banyak tugas.”
“Yang kita bahas bukan siapa yang salah, tapi tanggung jawab siapa ini.”
Jika kita membantah tugas yang banyak atau menyalahkan keteledorannya, yang akan dia lakukan pada kesempatan lain adalah mencari alasan yang lebih paten.
Jadi, berikan tanggapan yang sederhana: Tanggung jawab adalah tanggung jawab. Kali ini dia lalai dan mesti diperbaiki lain waktu.
Lakukan tanpa pertengkaran panjang, tanpa omelan, fokus pada tanggung jawabnya. Bersiaplah juga untuk bersabar, perubahan tak akan terjadi dalam semalam.
Sepakati target bersama
Awali dengan membahas pentingnya bagi remaja belajar menjadi manusia dewasa yang mandiri dan bertanggung jawab. Ada target belajar yang wajib dicapai. Buat target yang masuk akal, sesuai kemampuan mereka, tingkatkan porsinya seiring waktu. Dengan menyepakati target bersama, misalnya berangkat les tanpa terlambat, remaja kita akan berusaha mencapainya.
Target juga bisa diwujudkan dalam daftar tugas.
Awalnya, remaja tidak akan suka. Bagi mereka, daftar tugas adalah bencana nomor tujuh di dunia.
Isi daftar tugas bisa bervariasi seperti mengurus rumah, latihan musik, latihan olah raga, baca kitab suci, baca buku, atau tugas apa pun sesuai keperluan dan ciri khas keluarga.
Bukan tidak mungkin akan terjadi “perang” pada masa-masa awal, atau anak hanya bersemangat di hari pertama, lupa di hari kedua, kemudian buyar di hari ketiga. Ketika ini terjadi, tugas untuk orang tua hanya satu: berhenti satpam yang rewel.
Kita boleh mengingatkan dia sesekali, menemaninya sesekali. Terapkan konsekuensi tanpa banyak menyalahkannya.
Yang tak kalah pentingnya, izinkan remaja memilih daftar tugas sendiri. Ini wujud tanggung jawabnya, dan efeknya jauh lebih bagus daripada untaian tugas yang dibuatkan oleh orang tua.
Pada hakikatnya, hidup anak adalah hidupnya, pilihan adalah pilihannya, orang tua adalah teman seperjalanannya. Tugas kita adalah mendampinginya mewujudkan pilihan itu, bukan memilihkannya jalan hidup dan menuntutnya bertanggung jawab atasnya.
Temani mereka, beri apresiasi atas pencapaian dan niat baik sekecil apa pun. Gagal di hari pertama? Mulai lagi besok, lusa, minggu depan. Start and restart, karena belajar itu sepanjang hayat.
————————-
Anna Farida adalah kepala Sekolah Perempuan, penulis buku “Parenting with Heart”.