(KATANYA) BEST SELLER?

Sekolah yang Menyenangkan-2

“Sekolah yang Menyenangkan” terbit bertahun lalu, cetak ulang beberapa kali, dan masih bertahan di rak-rak toko buku hingga kini.

Buku itu saya tulis berdasarkan observasi berdurasi panjang, wawancara berderet-deret, studi dokumentasi yang bikin mata berair, dan studi literatur yang bikin saya malah belajar—tambah lama, deh, proses penulisannya. Fase editing pun lama, revisinya berkali-kali, dan tetap saja ada yang meleset hingga terbit—walau tidak ada pembaca yang protes 🙂

Hari ini saya baru sadar bahwa pada buku cetakan terakhir ada label “Best Seller”.

Tentu saya senang.

Kan gaya, bisa buat bahan eksis narsis.

Jenis kertasnya pun baru, bukunya lebih ringan walau tebalnya 300 halaman.

Setahu saya, hingga kini Indonesia belum punya standar yang jelas untuk menetapkan sebuah buku sebagai “best seller”. Ketika saya tanya penerbitnya, saya hanya dapat jawaban “Cetak terus, Bu. Laris sampai sekarang.”

Ah, ini kan baru cetakan keempat. Saya bisa menghitung, sih, berapa eksemplar sekali cetak. Tidak ada seujung kukunya jika dibandingkan dengan buku-buku “keren edun” yang bisa laku jutaan eksemplar dan cetak ulang berkali-kali.

Kesimpulan saya, buku “Sekolah yang Menyenangkan” termasuk buku dengan penjualan terbaik di Penerbit Nuansa Cendekia. Alhamdulillah segitu juga, kan. Royaltinya bisa buat beli tas baru—ini dusta besar. Teman-teman saya tahu, tas saya itu-itu melulu dan kebanyakan gratisan dari acara-acara pelatihan.

Lantas, apa sebenarnya makna “best seller” bagi saya?

Salah satu penerbit pernah menjewer saya, “Bu Anna ini tulisannya bagus, gaya bahasanya khas, tapi promosinya malas.”

Biasaaa, dipuji dulu baru dibanting.

Saya tak hendak menyangkal. Memang demikianlah adanya.

Bukan hanya urusan buku. Untuk kelas-kelas menulis yang saya mentori pun, saya harus diingatkan panitia untuk ikut promosi untuk menggenjot perolehan peserta. Biasanya saya promosi pada hari-hari akhir, saat kuota kelas sudah mau penuh—tutup muka. Ampuni saya.

Karena kemalasan saya promosi itulah, saya tidak berani kepedean bahwa buku-buku saya bakal laris. Soalnya barang bagus juga kalau tidak di-manage dengan baik kan tidak akan optimal. Ada, lho, buku saya yang diobral di sebuah pameran—bete juga, sih. Jadi saya duga larisnya buku Sekolah yang Menyenangkan adalah berkat tim marketing penerbit yang pantang menyerah. Last but not least, bukunya memang bagus, sih—another kepedean.

Nah, kalau yang ini jangan ditiru: Bagi saya, buku disebut best seller atau tidak, saya tetap bahagia sudah menuliskannya. Jadi yang saya lakukan adalah menulis, menerbitkannya, kemudian melupakannya, dan menulis buku yang lain lagi. Niki mboten sae, nggih. Asli jangan ditiru.

Mau bagaimana lagi. Saya punya banyak gagasan, lamunan, rumpian, ocehan, hingga igauan. Ada yang bagus, ada yang buruk. Ada yang membuat saya bangga, ada pula yang memikirkannya saja saya malu.

Somehow saya ingin tetap membagikannya pada orang lain, termasuk racauan buruk dan memalukan itu—tentu saya menyamarkannya dengan berbagai teknik ngeles yang yang saya pelajari selama ini. Apakah Anda bisa memastikan, kisah-kisah yang saya jadikan ilustrasi dalam berbagai buku itu kisah orang lain atau sebenarnya kisah saya?

Salah satu kisah pernah terciduk oleh suami saya, “Bu, ini kok mirip pengalaman kita. Eh, tunggu, ini Ibu cerita tentang kita, ya? Nekat banget, sih, yang begitu diceritain.”

“Emang. Tapi tenang saja. Tidak ada yang tahu kecuali kita. Biar orang lain dapat pengalaman dan tidak melakukan kesalahan yang sama.”

Singkatnya, saya selalu tergoda untuk menulis apa saja. Bakal laris atau tidak, itu urusan nanti. Saya terus belajar meningkatkan kualitas tulisan biar disayang pembaca, dan belajar promosi biar disayang marketing penerbit. Lebih dari itu, saya bahagia jika bisa menulis buku yang baik.

Yuk, ah, belajar nulis lagi. Nulis apa pun yang laik dan baik, walau nanti hanya satu orang yang membaca, dan orang itu adalah Anda sendiri.

 

Salam takzim,

Anna Farida

www.annafarida.com