Membangun Kebiasaan Membaca Keluarga

parenting with heart

parenting with heart

Salam sehati, Bapak Ibu.

Ini kulwap kita yang ke-23.

Mana yang sering kita lihat sehari-hari di rumah? Anak sibuk membaca atau main komputer?

Di rumah saya, mereka lebih sering terlihat main komputer.

Penyebabnya, komputer mereka berdampingan dengan meja kerja saya.  Posisinya tetap, tak bisa dipindah-pindah. Lain halnya ketika membaca, mereka bisa ngumpet di ruang mana pun

Beberapa teman yang biasa melihat saya bawa anak-anak ke pengajian, atau seminar, atau mengajar) berkomentar, “Anak-anak Mbak Anna sukanya baca, ya? Seneng, ih! Nggak pernah main game, ya?”

Ehehe ehehe

Baik betul sangkaan mereka.

Sebenarnya anak-anak saya pun main game dan nonton film.

Mungkin bedanya, kami sepakat untuk tidak main game dan nonton di gawai yang mobile seperti hape dan tablet. Main game dan nonton hanya di komputer. Otomatis kalau sedang ikut Ibu, ya mau apa lagi selain baca? Ibu kan sedang konsentrasi, eh kadang ngerumpi juga sama ibu-ibu lain juga 😀

Menurut saya, salah satu penyebab yang mempertajam efek candu game adalah ketika alatnya bisa dibawa-bawa dengan mudah. – kita pernah bahas hal ini, kan, ya?

Lantas, sebenarnya apa yang bisa kita lakukan agar anak gemar membaca?

Saya bagikan tiga langkah sederhana yang biasa saya lakukan.

  1. Memberi teladan. Saya berusaha tertib baca buku. Ingat, walau penulis, saya tidak bisa dibilang gila baca. Biasa saja. Padahal saya tahu, modal penulis adalah membaca  #tutupmuka  Jadi saya berusaha mengkondisikan diri untuk membaca, terutama ketika sedang bersama anak-anak. Jaim dikit, gitu. Namanya juga sedang berusaha memberi teladan.
  2. Menyediakan. Kadang anak tidak suka baca karena buku yang kita sediakan tidak cocok dengan minat mereka. Di rak buku saya, hanya ada beberapa titik yang bukunya selalu berantakan. Lebih banyak rak yang bukunya rapi hingga berdebu dan dihiasi sarang laba-laba. Haish buka aib! Padahal, buku-buku yang saya belikan buat anak-anak itu bagus-bagus … errr … menurut saya. Menurut anak-anak mungkin tidak seru. Jadi, cek, tanya, diskusikan, buku-buku seperti apa yang diinginkan anak-anak.pizap.com14331490123081
  3. Menemani. Paling beruntung jika kita masih punya anak yang bisa dipangku dan dibacain buku. Anak-anak saya sudah melewati masa itu. Sekarang, saya menemani mereka membaca dengan mengajukan pertanyaan terkait buku yang mereka baca seperti, “Gimana, ceritanya? Ray itu siapa? Ini siapa? Mereka sedang apa? Apa sih bagusnya?

Salah satu problem yang sekarang saya hadapi dan saya sampaikan kepada banyak orang yang lebih tua (biar saya terkesan muda) adalah menurunnya semangat membaca ketika anak-anak mulai remaja. Sebagian besar sepakat bahwa gawai digital menjadi salah satu penyebabnya. Yahh … itu lagi, itu lagi.

Saya tidak mungkin menjauhkan anak-anak dari dunia digital, kan? Nanti ibunya gimana? Kan ibu harus jadi teladan. Nanti saya nggak bisa main Facebook dan Instagram, dong #halah!

Karenanya, untuk tetap menjaga kebiasaan baca, kami menetapkan reading time di rumah. Setelah magrib, ngaji, dan majelis ilmu, kami nangkring bareng buat baca sampai jam 8 malam. Setelah itu bebas. Kadang kami bergiliran cerita sedang baca apa, kadang juga saling membaca lantang untuk yang lain.

Apakah mudah? Umm … saya lebih suka bilang “menantang”!

Adddaa saja alasan yang muncul – namanya juga alasan, buanyak sekali. Kadang bolong kadang terlupakan. Setidaknya kami menciptakan tradisi itu dan berusaha patuh.

Melalui status FB saya pernah berbagi kisah tentang seorang kakek yang sudah susah jalan, mungkin karena usia lanjut atau stroke atau sebab lain. Dua buku tebal di tangannya membuat saya nekat bertanya, apa yang membuatnya masih suka membaca hingga usia tua. Saya juga curhat tentang menurunnya kebiasaan baca anak-anak saya yang mulai remaja.

Kakek itu berkata, “Ibunya saja jadi teladan. Limpahi anak dengan kasih sayang. Membaca itu perbuatan baik, dan perbuatan baik lahir dari kasih sayang.”

Walah! Kok saya merasa tertonjok gimanaaa, gitu.

Nah, mari kita berbagi pengalaman, apa yang Bapak Ibu lakukan di rumah untuk menumbuhkan minat baca anak-anak.

Ada ebook yang bisa diunduh gratis. Buku “Biasa Baca Sejak Balita” saya tulis beberapa tahun yang lalu, jadi abaikan jika ada yang terkesan zadul  😀

Ada petikan siaran saya tentang membangun minat baca di RRI Pro-4 Bandung.

Baca arsip tanya jawabnya di blog Suci Shofia

Kulwap ini disponsori oleh buku Parenting With Heart dan Marriage With Heart karya Elia Daryati dan Anna Farida.

Salam takzim,
Anna Farida, www.annafarida.com

Mau ikut kuliah via whatsapp (kulwap) tentang parenting dan pernikahan?

Daftarkan nomor WA Anda ke 089650416212 (Suci Shofia), gratis.

 

Mengenalkan Jajanan Aman untuk Anak

KULWAP KE-21

Salam Sehati, Bapak Ibu.
Kita mau bahas sebuah kabar yang kurang menyenangkan.
Buat apa? Agar kita bisa menempatkan diri di posisi yang jelas.

Beberapa hari yang lalu saya dapat berita tentang jajanan anak-anak yang dibungkus dengan benda tak layak. Ada juga kabar tentang permen yang mengandung zat adiktif.
Pernah juga baca tentang proses pembuatan bakso goreng yang tidak manusiawi.

Kabar semacam itu biasa hinggap di media sosial dan kadang tidak jelas dari mana sumbernya. Jadi plis jangan mudah menyebar-nyebarkan berita kecuali jelas dan tepercaya sumbernya, ya.

Namun demikian, kabar semacam itu bikin deg-degan juga. Ada kemungkinan anak kita terpapar juga jajanan tak sehat semacam itu. Bukan hanya tak bersih dari sisi bahan-pengolahan-penyajian, tapi juga ada kemungkinan tidak halal.

Anak anak saya biasa bekal makanan dari rumah, tapi ada kalanya kepingin juga saat lihat teman. Apa yang biasa saya lakukan untuk memberi pengertian kepada mereka?

Berikut adalah hal yang perlu diingat ketika berdiskusi dengan anak:
1. Tidak menuduh. Misalnya, jangan beli makanan itu, lihat, tangan penjualnya kotor, wadahnya penuh debu.
Anak-anak bisa saja berpikir, ah, ibu sotoy.
Lain halnya jika kita bertanya, “Di mana, ya, penjualnya cuci tangan setelah pegang uang?”
Atau, “Kita beli di tempat lain, yuk. Yang itu belum tentu bersih”.

Netral, terbuka. Bahas semua kemungkinan yang baik dan yang buruk terkait jajan di tempat terbuka. Minta mereka yang menemukan baik buruknya, pancing pancing dengan pertanyaan, misalnya, kalau kena debu gimana, ya? Cuci mangkuknya di mana, ya?
Tidak reaktif. Ajak anak ngobrol pas dia siap, bukan ketika sedang mengunyah jajanannya. Tar beteee sama Bunda, kwesseel sama Ayah.
Ada yang mau berbagi pengalaman?
Kulwap ini disponsori oleh buku Marriage with Heart dan Parenting with Heart karya Elia Daryati – Anna Farida.

Salam takzim

Anna Farida

Tanya Jawab dan dikusi di blog Suci Sofia di bawah ini:

uchishofia

Image result for jajanan anak sekolah yang sehat keripik.co.id

[12:38, 1/29/2016] Anna Farida: Salam Sehati, Bapak Ibu.
Kita mau bahas sebuah kabar yang kurang menyenangkan.
Buat apa? Agar kita bisa menempatkan diri di posisi yang jelas.

Beberapa hari yang lalu saya dapat berita tentang jajanan anak-anak yang dibungkus dengan benda tak layak. Ada juga kabar tentang permen yang mengandung zat adiktif.
Pernah juga baca tentang proses pembuatan baskso goreng yang tidak manusiawi.

Kabar semacam itu biasa hinggap di media sosial dan kadang tidak jelas dari mana sumbernya. Jadi plis jangan mudah menyebar-nyebarkan berita kecuali jelas dan tepercaya sumbernya, ya.

Namun demikian, kabar semacam itu bikin deg-degan juga. Ada kemungkinan anak kita terpapar juga jajanan tak sehat semacam itu. Bukan hanya tak bersih dari sisi bahan-pengolahan-penyajian, tapi juga ada kemungkinan tidak halal.

Anak anak saya biasa bekal makanan dari rumah, tapi ada kalanya kepingin juga saat lihat teman. Apa yang biasa saya lakukan untuk memberi pengertian kepada mereka?

Berikut…

View original post 534 more words

Tanya Jawab Keuangan Keluarga

Salam Sehati, Bapak Ibu,
Wah, masuk ke materi-20, tanpa terasa.
Kita akan membahas tentang keuangan keluarga.

Siapa yang sebelum menikah membahas perencanaan keluarga? Atau, siapa yang bahas rencana anggaran sambil bulan madu? 😀

Dalam keluarga, siapa yang seharusnya cari uang? Kalau istri punya penghasilan, bagaimana alokasinya? Digabungkan dengan pendapatan suami atau dipisah?

Kata istri, “Uangmu uangku, uangku uangku sendiri” ehehe.
Kata suami, “Mengapa aku jadi lelaki?” 😥#halah

Sebenarnya, setiap keluarga punya kebijakan keuangan yang unik. Masing-masing punya pilihan tentang penataan anggaran sesuai dengan keperluan. Ada yang suami istri yang memilih bekerja salah satu, ada yang memutuskan untuk bekerja dua-duanya. Ada yang anaknya banyak ada yang hanya satu. Ada yang berkomitmen untuk menanggung keluarga lain ada yang tidak.

Tentang perencanaan keuangan keluarga, yang penting dibahas bukan hanya jumlahnya.

Amount is matter but not that important – weits, kalimatnya bagus buat instagram 😀

Jumlah memang ngaruh, tapi bukan yang paling penting. Salah satu sifat uang adalah banyak tak pernah cukup, sedikit tak selalu kurang (kata AF, ini sih). 😀

Jadi, apa yang lebih penting?

+ Bahas pandangan Anda terhadap uang secara terbuka dengan pasangan. Tanpa membahas siapa yang punya penghasilan lebih banyak, ya. Rezeki itu dari Allah. Dia bisa alirkan lewat siapa suami, istri, anak. Kemestian manusia adalah bekerja dengan giat agar bermartabat dan bermanfaat, kan?

Banyak yang malu-malu, sungkan dianggap matre—apalagi baru nikah, kok sudah bahas duit? Justru, harus dibahas dulu sejak awal agar tahu sama tahu pandangan masing-masing tentang uang dan alokasinya. Misalnya, apakah Anda akan memutuskan hidup sesuai pendapatan (bisa mewah bisa sederhana) atau memang tetap hidup sederhana walau penghasilan melimpah? Bagaimana pandangan Anda tentang kredit: mau nyicil atau nabung dulu agar bisa beli tunai? Daaan sebagainya. Bahas prinsip-nya saja, tak perlu buru-buru bahas detailnya, nanti ribut haha. Tak juga harus selesai satu hari, bisa dibahas dan diselaraskan pelan-pelan. Yang penting ngomong, kecuali Anda berdua punya ilmu kebatinan level 9.

+Tetapkan tujuan. Apa yang ingin Anda dan pasangan raih. Misalnya, lima tahun lagi mau naik haji, keliling dunia, bikin rumah sakit gratis, amin … Miliki tujuan bersama agar masing-masing punya semangat mencari rezeki yang luas dan berkah, bukan hanya buat keluarga tapi juga sesama.

+ Catat anggaran keuangan masing-masing. Apa yang diperlukan suami, istri, anak, dan tanggungan lain. Lakukan secara terbuka dan penuh cinta. Jika Anda punya hobi gelap # halah (misalnya perlu anggaran khusus untuk fotografi) anggarkan sejak awal. Anggarkan juga dana darurat. Ingat, ini bukan masalah jumlahnya, tapi pengaturannya.

+ Catat pemasukan dan pengeluaran. Sekarang banyak aplikasi praktis yang bisa diunduh di telepon pintar. Dari catatan itu Anda akan tahu, mana yang lebih dominan: pengeluaran rutin atau pengeluaran lain-lain hahaha — Anda juga harus catat pemasukan, apalagi jika Anda bekerja tidak dengan gaji tetap. Catatan ini adalah bukti tanggung jawab Anda dan pasangan dan bermanfaat untuk melakukan koreksi jika ada yang tidak beres dengan pengaturan keuangan: adakah yang harus dipangkas, mana yang bisa ditambah, keperluan apa yang sering diabaikan …

+ Anggarkan selalu sedekah—bisa untuk orang lain bisa untuk saudara sendiri. Sedekah memberi semangat kepada Anda untuk berbagi, dan membuat Anda merasa kaya.

Lima saja, ya. Nanti layar hape-nya penuh.

Selebihnya, mari kita saling bertukar pengalaman, bagaimana perencanaan keuangan yang Anda lakukan bersama pasangan.

Salam takzim,
Anna Farida
http://www.annafarida.com
It always seems impossible until it’s done
(Nelson Mandela)

uchishofia

Image result for keuangan suryanara.org

[13:59, 1/23/2016] Anna Farida: Salam Sehati semuaaaa
Mana suaranyaaa 😀
[13:59, 1/23/2016] Anna Farida:

Tanya 1:

Saya biasa mengatur pengeluaran dan pemasukan dengan suami. Saya sendiri alhamdulillah merasa cukup dengan pemberiannya selama ini. Namun kadang ada campur tangan dari mertua (orangtua suami), yang berpendapat bahwa seharusnya kami sudah memiliki ini, itu, dan ana (eh … bukan ding 😁)
Nah … Bagaimana sebaiknya kami menyikapi hal itu? Saya sih inginnya ya rumah tangga kami biar kami yang urusi. Toh kami tidak pernah mengeluh dan meminta-minta pada orangtua (yang memang berada).
Kami tahu orang tua kami sayang pada kami. Namun, cara mereka kurang sreg di hati.
Saya sudah meminta pada suami untuk bicara baik-baik. Intinya biarkan kami mengurusi rumah tangga kami sendiri. Akan tetapi suami enggan melakukannya. Kalau saya sebagai menantu menyampaikan hal tersebut pada mertua, apakah etis?
Saya sudah memikirkan kalimat (asertif, yg sudah dipelajari) untuk disampaikan pada mertua. Tapi saya masih menahannya…

View original post 881 more words