Sebelum berangkat, Bapak kasih aba-aba. “Kita mau masuk daerah yang spesial. Tidak mudah cari makanan di sana, dan ada mayat yang bisa jalan sendiri.”
Haish, bikin horor saja.
Ngaku dulu. Semula saya kira nama resminya adalah Toraja, sedangkan Tana (Tanah) adalah julukannya. Ternyata, Tana Toraja adalah nama kabupaten, dan tujuan kami kali ini adalah Kabupaten Toraja Utara. Jaraknya 300 km dari Sorowako, kami berangkat sore.
Saat makan malam, kami berharap bisa menemukan tempat yang bisa dipakai berbaring sebentar. Makin jauh, makin malam, tempat makan yang dicari tidak ketemu. Keputusannya jelas: kami harus makan sebelum masuk ke wilayah Toraja.
Terlihatlah sebuah warung kecil. Menunya hanya ayam goreng dan ayam bakar. Upeng terlihat lesu, karenanya saya ambil inisiatif memesan telur dadar yang tidak ada dalam menu. Anak-anak yang sudah pesan ayam pun ikut-ikutan.
Ledakan tawa terjadi ketika bayar, karena ternyata satu telur harganya 20 ribu.
Ali keheranan, “Di warteg sih 5.000 sudah sama nasi—ini pasti karena ibu pesan yang tidak ada di menu.”
“Iya, kali,” sahut saya. “Ayamnya dipaksa bertelur dulu sebelum digoreng, makanya mahal, ahahaha.”
Lumayan kesal tapi semua tertawa.
Perjalanan dilanjutkan.
Di antara banyak destinasi kelas dunia di kedua Toraja ini, tujuan kami adalah Lolai. Terpesona oleh cerita saudara, juga oleh hasil browsing, kami nekat menempuh jalan di terjal, licin, dan menanjak.
Dari pantauan Google, terlihat gambar jalan yang berbelok belok ruwet, rapat, tak jarang ringsek. Tanpa mobil off road, pilihannya adalah memanjat tanpa banyak mengerem. Karenanya, sebelum subuh, kami harus sampai puncak, saat jalan masih sepi.
Beberapa kali ban tertahan batu dan kami harus mundur untuk ambil jarak, lantas melompat ringan–lompatan yang menimbulkan efek serrr, gitu, di perut.
Di sebuah tikungan tinggi dan tajam, mobil mendadak meraung tak mau bergerak, ban terus berputar tapi tak beranjak.
Seperti sebelumnya, Bapak mundur sejenak, ancang-ancang, lalu mencoba jalan lagi. Tapi sama saja. Di titik yang penuh batu mobil bergeming.
Saya takut, mulai ingat Allah, dan mulai berdoa. Entah ke mana ingatan itu beberapa menit yang lalu. Di sinilah maknanya, Tuhan kasih kesulitan biar saya tahu diri dan segera ingat Dia.
Tiba-tiba ada yang berteriak dari belakang, “Dorong! Dorong!”
Dua penjaga yang kami temui di tikungan bagian bawah berlari mendatangi kami. Rupanya di belakang sudah ada beberapa mobil mengantre. Zaky si sulung melompat turun dan ikut aksi dorong.
Setelah beberapa kali menjajal, maju mundur, bebatuan licin itu kami lalui dengan sedikit hentakan. Puji bagi Allah pemilik siang dan malam.
Perjalanan masih sejam lagi, medannya tetap sulit, tapi lebih stabil hingga sampai Lolai, sebuah desa di posisi 1300 mdpl.
Hawa dingin menusuk begitu kami berjalan menuju lokasi. Banyak sekali tenda di sana, kabarnya sebagian yang berkemah adalah para atlet paralayang yang akan terbang melewati bebukitan Lolai.
Upeng dan Ubit kelelahan dan kurang bersemangat. Sampai subuh berlalu, mereka terus menempel di saya atau jongkok kedinginan. Hidung mereka mampet, dan sama sekali tidak tertarik dengan “awan” yang ditunggu banyak orang.
Ali yang paling antusias. Dia segera cari posisi paling aman untuk bikin video—posisi yang kudu diperjuangkan karena makin pagi pengunjung makin banyak.
Akhirnya fajar tiba, perlahan langit terbuka. Walau terlihat nyata, cahaya matahari tidak bisa menembus gumpalan kabut tebal yang bergerak menyerupai awan. Makin lama makin padat, pepohonan di bukit kian tak terlihat.
Sisi yang masih terbuka segera tersaput kabut dengan ketebalan yang berbeda, dengan sinar matahari yang berusaha menembus sela demi sela.
Sesekali gumpalan itu terbang mendekat, tapi segera hilang oleh panas tubuh manusia.
Jelas, pohon dan bukit yang lebih setia, tanpa pamrih dan dosa, adalah teman yang lebih dipilih awan-awan itu untuk berbincang.
Manusia sih cukup menyaksikan keindahannya.
Kami benar-benar seperti berdiri di antara awan. Pantas Lolai dijuluki Negeri di Atas Awan. Pantas juga orang-orang rela dikocok dan diguncang dalam perjalanan panjang.
Sesekali awan menghilang, matahari menggantikan. Tapi tak lama sesudahnya, bukit kembali menjadi lautan kapas, begitu bergantian. Sesekali juga udara lembap terhirup, lalu mencair dan meleleh dari lubang hidung. Kaki saya pegal, tapi mau pergi rasanya sayang.
Walau banyak suara orang, suasana syahdunya tetap meraja. Begitu melihat ke bawah, suara bising seperti lenyap tertelan sunyi.
Di antara kerumunan yang ingin berfoto bersama awan, saya bergumam sendiri, “Kayaknya ini perwujudan kiasan di atas langit masih ada langit.”
Setelah agak siang, kami pindah lokasi, masih di Lolai, tapi lebih sepi. Di sana ada jajaran tongkonan, rumah-rumah khas Toraja yang dijadikan penginapan. Otak irit saya langsung bekerja. Apa sebenarnya tujuan bangsa ini membuat rumah dengan menghamburkan begitu banyak bahan? Atap menjulang, seperti meraih langit, pasti diperlukan banyak kayu.
Jika disandingkan dengan rumah minimalis zaman sekarang, tongkonan terasa mewah dan megah. Bukan hanya karena tinggi bangunannya, tapi juga karena sentuhan seninya, nilai spiritualnya.
Di sini pun kami kembali melihat awan berarak, meski dari jarak yang lebih jauh. Upeng dan Ubit lebih segar karena udara lebih hangat, matahari mulai tinggi, dan pengunjung sudah sepi. Mereka baru bisa berlarian, menikmati suasana, dan berkali-kali berkomentar, “Seperti duduk di dalam pesawat, ya, bisa lihat awan.”
Ada video Upeng main wushu di sini, melompat-lompat di hadapan awan yang tak henti memamerkan pesona. Om dan Tante boleh mengklik link ini: https://www.youtube.com/watch?v=fHMfRhQW20A
Jika bukan karena lapar, kami ingin berlama-lama di sana. Efek pop mie dan roti sudah hilang, dan kami harus segera turun cari makan.
Tak perlu diceritakan, sudah pasti menuruni Lolai sama menantangnya dengan memanjatnya, justru menurut saya lebih seram karena jadi bisa lihat jurang di sana sini di sisi jalan. Karenanya, begitu ban menginjak aspal, rasanya saya ingin menciumnya—eh, mencium aspal, maksudnya hahaha.
Terus terang, memasuki desa-desa Toraja membuat saya agak merinding. Tradisi ma’nene yang ternama itu membuat saya penasaran tapi takut. Untung ini Juli. Upacara mengganti baju leluhur dilakukan bulan Agustus. Tapi, tetap saja penasaran lihat kuburannya—tapi lapar dan takut. Halah, kebanyakan gaya.
Jadi bertolaklah kami ke kota.
Lirik sana sini, cari masjid jarang sekali. Kalaupun ada, tak terawat. Masjid yang bersih itu penting, karena sekalian jadi tempat mandi dan istirahat. Yang juga penting, buat nge-charge hape! #istighfar
Lirik sana sini juga, cari warung yang meyakinkan juga susah.
Anak-anak dikagetkan oleh banyaknya warung bertuliskan “bakso babi” di sepanjang jalan.
“Welcome to Toraja,” kata saya. “Gereja lebih banyak dari masjid, daging babi di mana-mana. Anggap saja ini latihan buat kuliah di Eropa.”
Tidak ada yang mengaminkan, haha. Anak-anak sedang kena cultural shock dan mereka jadi tambah lapar.
Inilah pentingnya jalan ke luar lingkungan keseharian. Mereka perlu tahu bahwa ada dunia yang berbeda, masyarakat yang berbeda. Biar nggak kuper, nggak merasa diri paling bener.
Pesan tentang perbedaan ini ingin saya selipkan di antara kesenangan yang kami dapatkan: ojo kagetan, ojo gumunan, ojo dumeh. Suwer, itu bukan bahasa Toraja.
Bapak berencana sarapan sekalian makan siang di Enrekang, kabupaten yang bersisian dengan Tana Toraja. Waduh, bisa-bisa kami tiba di sana setelah asar, keburu pada tepar.
“Pak, di Google ada Ayam Bakar Wong Solo tapi sudah kelewat,” seru saya.
Sambil terus berkomentar tentang owner ayam bakar ini—dia senang dan saya no comment—Bapak putar arah.
Penuh harap kami mencari alamat yang tertera di peta, dan rahasia terbongkar!
Yang kami temukan adalah gerobak kecil bertuliskan merk yang ternama ituuu. Lebih bikin miris, gerobak itu kosong, berdebu. Mungkin ditinggal pemiliknya mudik ke Solo, haha.
Bapak geleng-geleng kepala sambil tertawa, “Hebaaat! Gerobak begini bisa go online! Ibuuu, Ibu. Kena tipu Google lagi, tuh!”
Saya membela diri, “Kan memang tulisannya …” daaan seterusnya.
Anak-anak sama sekali tidak berminat tertawa. Ubit bersandar, Upeng meringkuk, Ali melihat ke luar jendela, Zaky buru-buru ambil hape.
Setelah mencuri beberapa foto gerobak yang mengglobal itu, kami bergegas. Batal sudah rencana singgah di beberapa gedung dan gereja yang khas. Semua lapar, dan memang akhirnya kami sarapan, makan siang, sekaligus makan sore-sore di warung ikan bakar yang murah meriah di Enrekang. Alhamdulillah semua wajah kembali menyala.
Bersambung ke bagian-7