JELAJAH SULAWESI SELATAN BAGIAN-6: LOLAI, NEGERI DI ATAS AWAN

IMG_20170701_064005.jpgSebelum berangkat, Bapak kasih aba-aba. “Kita mau masuk daerah yang spesial. Tidak mudah cari makanan di sana, dan ada mayat yang bisa jalan sendiri.”

Haish, bikin horor saja.

Ngaku dulu. Semula saya kira nama resminya adalah Toraja, sedangkan Tana (Tanah) adalah julukannya. Ternyata, Tana Toraja adalah nama kabupaten, dan tujuan kami kali ini adalah Kabupaten Toraja Utara. Jaraknya 300 km dari Sorowako, kami berangkat sore.

 

Saat makan malam, kami berharap bisa menemukan tempat yang bisa dipakai berbaring sebentar. Makin jauh, makin malam, tempat makan yang dicari tidak ketemu. Keputusannya jelas: kami harus makan sebelum masuk ke wilayah Toraja.

Terlihatlah sebuah warung kecil. Menunya hanya ayam goreng dan ayam bakar. Upeng terlihat lesu, karenanya saya ambil inisiatif memesan telur dadar yang tidak ada dalam menu. Anak-anak yang sudah pesan ayam pun ikut-ikutan.

Ledakan tawa terjadi ketika bayar, karena ternyata satu telur harganya 20 ribu.

Ali keheranan, “Di warteg sih 5.000 sudah sama nasi—ini pasti karena ibu pesan yang tidak ada di menu.”

“Iya, kali,” sahut saya. “Ayamnya dipaksa bertelur dulu sebelum digoreng, makanya mahal, ahahaha.”

Lumayan kesal tapi semua tertawa.

 

Perjalanan dilanjutkan.

Di antara banyak destinasi kelas dunia di kedua Toraja ini, tujuan kami adalah Lolai. Terpesona oleh cerita saudara, juga oleh hasil browsing, kami nekat menempuh jalan di terjal, licin, dan menanjak.

Dari pantauan Google, terlihat gambar jalan yang berbelok belok ruwet, rapat, tak jarang ringsek. Tanpa mobil off road, pilihannya adalah memanjat tanpa banyak mengerem. Karenanya, sebelum subuh, kami harus sampai puncak, saat jalan masih sepi.

 

Beberapa kali ban tertahan batu dan kami harus mundur untuk ambil jarak, lantas melompat ringan–lompatan yang menimbulkan efek serrr, gitu, di perut.

Di sebuah tikungan tinggi dan tajam, mobil mendadak meraung tak mau bergerak, ban terus berputar tapi tak beranjak.

Seperti sebelumnya, Bapak mundur sejenak, ancang-ancang, lalu mencoba jalan lagi. Tapi sama saja. Di titik yang penuh batu mobil bergeming.

Saya takut, mulai ingat Allah, dan mulai berdoa. Entah ke mana ingatan itu beberapa menit yang lalu. Di sinilah maknanya, Tuhan kasih kesulitan biar saya tahu diri dan segera ingat Dia.

 

Tiba-tiba ada yang berteriak dari belakang, “Dorong! Dorong!”

Dua penjaga yang kami temui di tikungan bagian bawah berlari mendatangi kami. Rupanya di belakang sudah ada beberapa mobil mengantre. Zaky si sulung melompat turun dan ikut aksi dorong.

Setelah beberapa kali menjajal, maju mundur, bebatuan licin itu kami lalui dengan sedikit hentakan. Puji bagi Allah pemilik siang dan malam.

 

Perjalanan masih sejam lagi, medannya tetap sulit, tapi lebih stabil hingga sampai Lolai, sebuah desa di posisi 1300 mdpl.

Hawa dingin menusuk begitu kami berjalan menuju lokasi. Banyak sekali tenda di sana, kabarnya sebagian yang berkemah adalah para atlet paralayang yang akan terbang melewati bebukitan Lolai.

Upeng dan Ubit kelelahan dan kurang bersemangat. Sampai subuh berlalu, mereka terus menempel di saya atau jongkok kedinginan. Hidung mereka mampet, dan sama sekali tidak tertarik dengan “awan” yang ditunggu banyak orang.

Ali yang paling antusias. Dia segera cari posisi paling aman untuk bikin video—posisi yang kudu diperjuangkan karena makin pagi pengunjung makin banyak.

 

Akhirnya fajar tiba, perlahan langit terbuka. Walau terlihat nyata, cahaya matahari tidak bisa menembus gumpalan kabut tebal yang bergerak menyerupai awan. Makin lama makin padat, pepohonan di bukit kian tak terlihat.

Sisi yang masih terbuka segera tersaput kabut dengan ketebalan yang berbeda, dengan sinar matahari yang berusaha menembus sela demi sela.

Sesekali gumpalan itu terbang mendekat, tapi segera hilang oleh panas tubuh manusia.

Jelas, pohon dan bukit yang lebih setia, tanpa pamrih dan dosa, adalah teman yang lebih dipilih awan-awan itu untuk berbincang.

Manusia sih cukup menyaksikan keindahannya.

 

Kami benar-benar seperti berdiri di antara awan. Pantas Lolai dijuluki Negeri di Atas Awan. Pantas juga orang-orang rela dikocok dan diguncang dalam perjalanan panjang.

 

Sesekali awan menghilang, matahari menggantikan. Tapi tak lama sesudahnya, bukit kembali menjadi lautan kapas, begitu bergantian. Sesekali juga udara lembap terhirup, lalu mencair dan meleleh dari lubang hidung. Kaki saya pegal, tapi mau pergi rasanya sayang.

Walau banyak suara orang, suasana syahdunya tetap meraja. Begitu melihat ke bawah, suara bising seperti lenyap tertelan sunyi.

Di antara kerumunan yang ingin berfoto bersama awan, saya bergumam sendiri, “Kayaknya ini perwujudan kiasan di atas langit masih ada langit.”

 

Setelah agak siang, kami pindah lokasi, masih di Lolai, tapi lebih sepi. Di sana ada jajaran tongkonan, rumah-rumah khas Toraja yang dijadikan penginapan. Otak irit saya langsung bekerja. Apa sebenarnya tujuan bangsa ini membuat rumah dengan menghamburkan begitu banyak bahan? Atap menjulang, seperti meraih langit, pasti diperlukan banyak kayu.

Jika disandingkan dengan rumah minimalis zaman sekarang, tongkonan terasa mewah dan megah. Bukan hanya karena tinggi bangunannya, tapi juga karena sentuhan seninya, nilai spiritualnya.

 

Di sini pun kami  kembali melihat awan berarak, meski dari jarak yang lebih jauh. Upeng dan Ubit lebih segar karena udara lebih hangat, matahari mulai tinggi, dan pengunjung sudah sepi. Mereka baru bisa berlarian, menikmati suasana, dan berkali-kali berkomentar, “Seperti duduk di dalam pesawat, ya, bisa lihat awan.”

Ada video Upeng main wushu di sini, melompat-lompat di hadapan awan yang tak henti memamerkan pesona. Om dan Tante boleh mengklik link ini:  https://www.youtube.com/watch?v=fHMfRhQW20A

 

Jika bukan karena lapar, kami ingin berlama-lama di sana. Efek pop mie dan roti sudah hilang, dan kami harus segera turun cari makan.

Tak perlu diceritakan, sudah pasti menuruni Lolai sama menantangnya dengan memanjatnya, justru menurut saya lebih seram karena jadi bisa lihat jurang di sana sini di sisi jalan. Karenanya, begitu ban menginjak aspal, rasanya saya ingin menciumnya—eh, mencium aspal, maksudnya  hahaha.

Terus terang, memasuki desa-desa Toraja membuat saya agak merinding. Tradisi ma’nene yang ternama itu membuat saya penasaran tapi takut. Untung ini Juli. Upacara mengganti baju leluhur dilakukan bulan Agustus. Tapi, tetap saja penasaran lihat kuburannya—tapi lapar dan takut. Halah, kebanyakan gaya.

Jadi bertolaklah kami ke kota.

 

Lirik sana sini, cari masjid jarang sekali. Kalaupun ada, tak terawat. Masjid yang bersih itu penting, karena sekalian jadi tempat mandi dan istirahat. Yang juga penting, buat nge-charge hape! #istighfar

Lirik sana sini juga, cari warung yang meyakinkan juga susah.

Anak-anak dikagetkan oleh banyaknya warung bertuliskan “bakso babi” di sepanjang jalan.

“Welcome to Toraja,” kata saya. “Gereja lebih banyak dari masjid, daging babi di mana-mana. Anggap saja ini latihan buat kuliah di Eropa.”

 

Tidak ada yang mengaminkan, haha. Anak-anak sedang kena cultural shock dan mereka jadi tambah lapar.

Inilah pentingnya jalan ke luar lingkungan keseharian. Mereka perlu tahu bahwa ada dunia yang berbeda, masyarakat yang berbeda. Biar nggak kuper, nggak merasa diri paling bener.

Pesan tentang perbedaan ini ingin saya selipkan di antara kesenangan yang kami dapatkan: ojo kagetan, ojo gumunan, ojo dumeh. Suwer, itu bukan bahasa Toraja.

 

Bapak berencana sarapan sekalian makan siang di Enrekang, kabupaten yang bersisian dengan Tana Toraja. Waduh, bisa-bisa kami tiba di sana setelah asar, keburu pada tepar.

“Pak, di Google ada Ayam Bakar Wong Solo tapi sudah kelewat,” seru saya.

Sambil terus berkomentar tentang owner ayam bakar ini—dia senang dan saya no comment—Bapak putar arah.

Penuh harap kami mencari alamat yang tertera di peta, dan rahasia terbongkar!

Yang kami temukan adalah gerobak kecil bertuliskan merk yang ternama ituuu. Lebih bikin miris, gerobak itu kosong, berdebu. Mungkin ditinggal pemiliknya mudik ke Solo, haha.

 

Bapak geleng-geleng kepala sambil tertawa, “Hebaaat! Gerobak begini bisa go online! Ibuuu, Ibu. Kena tipu Google lagi, tuh!”

Saya membela diri, “Kan memang tulisannya …” daaan seterusnya.

 

Anak-anak sama sekali tidak berminat tertawa. Ubit bersandar, Upeng meringkuk, Ali melihat ke luar jendela, Zaky buru-buru ambil hape.

Setelah mencuri beberapa foto gerobak yang mengglobal itu, kami bergegas. Batal sudah rencana singgah di beberapa gedung dan gereja yang khas. Semua lapar, dan memang akhirnya kami sarapan, makan siang, sekaligus makan sore-sore di warung ikan bakar yang murah meriah di Enrekang. Alhamdulillah semua wajah kembali menyala.

Bersambung ke bagian-7

JELAJAH SULAWESI SELATAN BAGIAN-5: SOROWAKO

WhatsApp Image 2017-06-30 at 8.53.49 AMSelama ini saya mendengar kata “Sorowako” hanya dari rumpian para ibu yang rindu piknik, atau lari sejenak dari cucian, atau istirahat dari antar-antar anak.

Desa ini berada di Kecamatan Nuha, Kabupaten Luwu Timur.

Alamnya yang masih segar, danaunya yang luas, sungguh menggoda untuk disambangi.

Jaraknya dari Palopo 240-an km dengan waktu tempuh 5 jam bermobil. Another wow for our dear chauffeur.

 

Saat kami singgah salat magrib, Upeng lebih banyak diam.

“Kaki Upeng perih,” keluhnya setelah saya tanya.

Tadi pagi di pantai, punggung kakinya tergores. Saya amati di dekat luka kecil itu ada bagian yang menghitam. Upeng mengaduh ketika bagian itu saya sentuh.

Serrr.

Punggung saya dingin. Jangan-jangan infeksi.

“Upeng nggak enak badan? Demam? Pusing?”

Buyar semua informasi tentang luka yang pernah saya tulis di buku. Rasa takut merayap, membuat perut saya mulas.

 

“Coba lihat kakinya, Peng,” bapaknya membujuk.

Tak lama sesudahnya, “Ibuuu, Ibu. Yang hitam ini sih kotor bekas sendal. Ya pasti sakit karena yang disentuh kan dekat luka.”

 

Hmmmh, sambil malu tapi lega, saya amankan luka yang penuh tipu daya itu dengan plester. Alhamdulillah.

 

Perjalanan panjang kami lanjutkan, mendekat ke Sorowako.

Di sisi sebuah bukit, Ali tiba-tiba terbangun dan berseru, “Ini Ali yang salah lihat atau sedang mimpi? Ini malam, kan? Kok matahari terang sekali?”

 

Bapak menjelaskan, “Itu cahaya dari cairan panas, sisa limbah tambang nikel.”

Cahaya itu membara seperti sunset yang tidak pada tempatnya. Saya kemudian diam, Bapak diam, Ali kembali tidur.

 

Lelah malam itu tunai terobati karena Umi Lisa menjamu kami dengan traktiran all out. Penginapan, makan, piknik di danau dan city tour, sampai foto-foto eksis narsis, semua disediakan dari A-Z. Jadi jika Anda ingin ke sana dengan fasilitas yang sama, hubungi saya #eh.

 

Behind the scene: Di kamar, pasukan langsung sibuk cari charger. Para pemuja sinyal dan colokan pun memulai ritual. Haduh. Suatu hari akan saya post foto mereka yang bikin ngenes sekaligus ngakak. Tunggu saja.

Saya sih langsung tidur, biar keesokan harinya bersinar saat difoto, dong!

 

Pagi datang.

Kami dan rombongan keluarga Umi Lisa bertolak ke Danau Matano. Lepas dari pro dan kontra penambangan nikel yang dikabarkan merusak ekosistem sekitar, dan kabar bahwa danau luas sedalam 600 meter itu jadi tempat pembuangan limbah tambang, Matano itu cantik. Benar-benar cantik.

 

Sebuah perahu ditambatkan.

Ketika menginjak lantainya, goyangan lembut menyambut kaki. Upeng menggenggam tangan saya erat. Takut tenggelam, katanya.

Dia baru tertawa dan mulai berjalan ke sana kemari ketika perahu berjalan, karena posisinya justru stabil ketika melaju.

 

Kami berkeliling.

Danau membentang, airnya bersih kebiruan. Barisan bukit besar menghijau melingkar, membuat mata hanya melihat pemandangan yang menakjubkan.

Berkedip pun rasanya sayang.

Walau tahu bahwa terlempar ke danau bisa berarti hilang selamanya, bagian perahu yang jadi favorit adalah ujungnya.

Semua penumpang bergiliran duduk di sana, berkhayal menjadi raja dunia, atau berpose dengan gaya paling jaim sekaligus paling mainstream, ahaha—maksud saya tuh pose ala candid, memandang ke arah yang jauh, itu, lho.

Saya sudah pasti ikutan juga, lah.

 

Di ujung perahu itu pula saya duduk berlama-lama dengan Umi Lisa, berbincang tentang rahasia-rahasia. Setengah jam di sana ditemani percikan air dan imajinasi liar, saya rela banget diganjar pilek sesudahnya.

Selama ini saya banyak menghabiskan napas untuk menatap layar monitor, berkutat dengan urusan rumah, atau antar jemput anak. Saya lebih banyak beraktivitas di ruang terbatas, baik di rumah atau di jalan. Tahu sendiri, kan, macetnya jalanan di Bandung seperti apa.

 

Karenanya, sama sekali tidak lebay jika saya enggan melepaskan pandangan dari Danau Matano dan bukitnya.

Di salah satu sisi bukit ada gua di bawah air dan ceruk-ceruk kecil–air di sekitarnya dangkal. Kami parkir di sana dulu.

Maka berlompatanlah anak-anak dari perahu, berenang di antara sedikit ikan di sana. Mungkin ikan butini khas danau itu berlarian ke tempat persembunyian. Takut mendengar teriakan orang gunung dari Bandung.

 

Tak mau kalah, masih dengan celana panjangnya, suami saya menceburkan dirinya begitu saja.

Haish! Air danaunya kan dingin. Berenang tanpa pemanasan sebelumnya, bisa membuatnya kram.

Alhamduilllah, atas keberkahan “nenek moyangku orang pelaut”, saat naik kembali dia hanya mengeluh, “Basah, euy!”

Ya iya, lah, Darling.

 

Perjalanan cukup panjang dan menyegarkan. Kami sempat salat Jumat di desa seberang dan mengunjungi mata air yang menjadi sumber air Danau Matano.

Mata air itu tak begitu dalam, tapi debit airnya melimpah, disalurkan dengan pipa besar ke danau. Dari dasarnya muncul banyak titik gelembung air, bergerak tanpa henti, berpindah tempat bergantian.

Ada mitos ketika mata air surut, kehidupan di desa sekitar danau pun surut. Karenanya, kita bisa memanggil gelembung air dengan berseru, “Bura! Bura! Bura!”

Anak-anak menjajalnya, saya juga – sambil bisik-bisik, tentunya.

 

Kembali ke perahu, para penumpang makan (lagi dan lagi).

Hidangan khas Lebaran masih menemani kami. Buras, sokko tumbu, ayam, dan sup—supnya unik, segar, hangat, bersantan.

 

Setelah berperahu, kami dibawa Umi Lisa ke sisi lain Danau Matano.

Sisi ini mendangkal seperti pantai. Airnya bening, dasarnya berkerikil.

Bapak dan anak-anak bertanding memantul-mantulkan batu di permukaan air. Ibu duduk-duduk di rumput tebal, memandang ke danau, lagi-lagi dengan imajinasi liarnya.

Kunjungan ini terlalu singkat untuk dinikmati sehari.

Karenanya, sambil enggan, kami meninggalkan kesenangan itu untuk pulang.

 

Saat melewati perumahan perusahaan tambang, aroma Barat terendus dari nama-nama jalan dan bloknya. Rumah-rumah panggung ditata berdasarkan warna cat, desain, dan ukuran—sesuai dengan jabatan pemiliknya. Sebagian rumah terlihat kosong tak terpakai, tapi kebanyakan terawat rapi.

Pepohonan tertata di sepanjang jalan, ujung-ujung daunnya melengkung membentuk terowongan hijau panjang. Pas buat foto-foto—another halah.

Wilayah ini bak punya kedaulatan sendiri, tapi saya tidak ingin membahasnya di sini. Kita sedang piknik, ini!

 

Saat sore meredup, kami berpamitan dari kehangatan keluarga Sorowako.

Kami lambaikan tangan pada desa pemangku Danau Matano yang benar benar bikin lupa daratan. Salam.

Bersambung ke bagian-6.

JELAJAH SULAWESI SELATAN BAGIAN-4: PALOPO

durian palopoJarak Bone – Palopo 400-an km, jarak tempuh hampir lima jam. Kami berkendara, beriringan dengan Daeng Abu sekeluarga yang akan kami kunjungi rumahnya.

Di perjalanan kami singgah di rumah kerabat dekat di Sengkang, ibu kota Kabupaten Wajo. Dia ternama dengan gelar Kota Sutra.

Saya cukup membatin namanya saja, tidak boleh ada acara “jalan sutra”, demi menjaga anggaran tetap pada posisi neraca yang benar—halah bilang saja mau ngirit, gitu 😀

 

Sebelum sampai rumah, Kakak membawa kami singgah makan kapurung. Tersajilah bola-bola sagu yang lembut, lumer seperti lem, disiram dengan aneka sayuran, jagung serut, udang, dan irisan daging ikan. Mangkuknya besar, kuahnya melimpah dan mengepul, harum sekali.

 

“Dik Anna bisa makan, kan? Tidak sah ke Palopo kalau tidak makan kapurung,” ujar Daeng Lili.

Kakak ipar saya itu tidak tahu saya biasa menelan jus daun binahong, jadi kapurung yang didominasi sayur sudah pasti enak.

Tekstur bola sagunya memang asing di lidah, tapi karena licin dan tawar, sedangkan sayurnya gurih pedas, perpaduan uniknya membuat lidah terus bekerja.

Keringat merayapi pelipis, hidung berair.

Beginilah makan yang benar!

 

Kapurung tertunaikan, kami menuju rumah. Baru masuk beranda, hidung saya mengendus aroma wangi. Tak salah lagi, inilah durian Palopo yang selalu kami obrolkan di grup keluarga.

“Mana yang katanya suka durian? Bisa habis satu kepala?” tantang Daeng Abu.

Tanpa ragu saya terima tantangannya, toh ukurannya hanya sebesar kepala saya.

Durian pun dibuka, warnanya putih kekuningan, aromanya sopan.

Saya mulai menjulurkan tangan.

 

Yuumm, dagingnya tebal dan pongge-nya (ini bahasa Jawa, sebutan khusus untuk biji durian) mengerut kecil-kecil. Mirip durian montong, hanya ukurannya lebih kecil, warna dagingnya lebih terang.

Suami saya tertawa, “Puas-puasin, tuh, makan durian. Di Bandung kita biasa rebutan, kan?”

 

Pongge demi pongge tergeletak, saya mendadak sadar.

Demi jaim alias jaga image dan melindungi harkat martabat suami, saya harus berhenti makan, haha. Nanti sore dilanjutkan.

 

Keesokan harinya kami main ke Pantai Labombo di dekat rumah. Setelah main air, dua remaja menikmati kantuk di bawah pohon, dua anak yang lebih kecil mengejar kepiting. Sambil takut-takut, mereka juga berusaha membuat kelomang berjalan tapi gagal sampai kami pulang.

Nasib baik, sedang ada acara reuni di sana, dan kami kebagian makan siang gratis. Menunya ikan bakar ukuran besar dan sambal mangga. Pedas dan masam mengentak lidah. Semua piring licin tiada sisa!

 

Berikutnya Ali yang dapat jackpot. Di rumah, Tante Lili membuatkannya es pisang ijo ukuran jumbo. Hasratnya untuk makan pisang ijo di wilayah Bugis terlaksana sudah.

 

Sambil menyeruput kuahnya yang gurih segar, sekalian menanti baju-baju yang dicuci kering, kami menyusun rencana berikutnya: Toraja atau Sorowako.

Atas rayuan Ali yang sedang pilek tapi ingin banget bertemu dengan teman SMA-nya, kami menetapkan pilihan dan berpamitan.

Durian yang masih tersisa tanpa malu-malu saya bawa. Terima kasih, keluarga Palopo. Sambutannya hangat sampai ke hati.

Kepada anak-anak yang tidak suka aromanya saya berkata, “Tidak mau bau duren? Turun saja naik bus. Haha.”

 

Tunggu.

Setelah tulisan ini saya baca dari awal, tampaknya judul yang lebih tepat adalah “Wisata Kuliner di Palopo” kali, yaaa

Bersambung ke bagian-4