Mendidik Anak, Mendidik Orang Tua

parenting with heartSejak buku Parenting with Heart terbit, saja sering mendapatkan pesan pribadi berisi pertanyaan, cerita, hingga curhat. Padahal, untuk buku ini saya hanya berperan sebagai co-writer. Saya mendampingi Bu Elia Daryati menuliskan berbagai pengalamannya sebagai psikolog.

Walaupun demikian, saya senang menerima dan membalas pesan-pesan itu, dengan disclaimer bahwa saya bukan ahli tumbuh kembang anak, bukan pula konsultan parenting. Saya ini ibu yang juga sedang sama-sama belajar.

Dalam sebuah talkshow di radio, Bu Elia menyampaikan satu hal penting yang rasanya perlu saya bagikan.

Sebagai manusia, kita punya target jangka panjang, menengah, dan pendek. Kita sekolah dari jenjang ke jenjang, ikut kursus ini dan itu, demi menangguk sukses di masa kini dan masa depan. Kita menyisihkan pendapatan sebagai dana pensiun, agar ada jaminan saat kita tak lagi produktif.

Sayangnya, untuk tugas pengasuhan, tak banyak orang tua yang menetapkan target jangka panjang, menengah, dan pendek. Tidak ada sekolah orang tua, tidak banyak kursus keayahbundaan yang didesain untuk mendidik para orang tua. Kebanyakan menganggap bahwa tugas pengasuhan adalah hal yang alami, natural, nggak perlu belajar juga bisa.

Saya sepakat bahwa yang pengasuhan adalah tugas alamiah, dan yang disebut alami sebagai orang tua adalah belajar. Artinya, kemestian sebagai manusia yang memiliki anak adalah belajar menjadi orang tua yang baik dan benar. Yang kita didik adalah manusia yang akan menjadi pemimpin manusia lain, dan pemimpin bagi diri mereka sendiri. Ini sama sekali bukan tugas sepele. Tantangannya sangat besar, apalagi di zaman sekarang, saat baik dan buruk  berjalan bersisian bagai tiada batas.

Tugas kita adalah menjadi teladan, memandu mereka memilih teladan yang benar, dan pada akhirnya menjadikan diri mereka teladan bagi orang lain. Tugas itu tak bisa kita jalankan dengan kaidah “jalani saja”. Never.

Tak ada pilihan lain kecuali belajar.

Payah!

surat luthfa

 

Nemu surat rahasia Luthfa (6 nyaris 7) ke bapaknya:

Bapa… jangan ngomong “payah” ya

soalnya ka ubit yang bikin kayak gitu

ibu juga jadi kerasukan sama ka ubit

jadi… jangan ngomong “payah”

OK?

Jawab, ya

 

Nyengir, deh.

Di rumah, kata “payah” tidak dikehendaki, tapi kadang terucap juga.

Sebenarnya, arti kamus kata ini baik-baik saja: lelah, penat, sulit, sangat berat… namun belakangan mengalami peyorasi. Kita lebih sering mendengar “payah” yang mengandung makna celaan.

Celakanya, apa yang kuajarkan di rumah sering kulanggar sendiri. Kadang tanpa sadar aku berkomentar, “Heuu, payah!” terhadap hal-hal yang tidak kusukai. Ubit (9) juga sering mengucapkannya—entah siapa merasuki siapa.  Yang jelas, kami kini jadi terdakwa.

Saat lidahku lepas kendali, Luthfa selalu menegurku, “Ibu, bilang apa tadi?”

Kujawab, “Oh, maaf. Ibu tidak sengaja.”

Tapi dasar aku, kesalahan yang sama selalu berulang. Rupanya gadis kecil itu berupaya menyelamatkan orang tuanya yang satu lagi agar tidak ikut kerasukan, maka terkirimlah surat di atas.

Saat menemukan dan membacanya aku tertawa, walau sebenarnya malu tak terkira.

Kadang anak-anak itu cerminan orang tuanya, kadang mereka sama sekali bukan bayangan.

Mereka tumbuhkan diri dengan panduan-Nya.