Neurosains, “Neuroeducation”

Kang Jalal. Otaknya dilamar Dr. Taufik Pasiak, mau diteliti. Nanti setelah meninggal ;-)

Kang Jalal. Otaknya dilamar Dr. Taufik Pasiak, mau diteliti. Nanti setelah meninggal 😉

Tanggal 23 Oktober 2013, saya mendadak merasa cerdas.

Saya harus buru-buru menuliskan disclaimer bahwa berikut ini adalah cerita saya mengikuti Seminar Nasional  Neuroscience in Communication Studies.  Saya hanya menulis hal-hal yang mengesankan dan berhasil saya pahami. Artinya, semua materi bagus, makalahnya tebal, dan tak semua saya mengerti, haha… Sebagian saya tulis di twitter, @annafaridaku.

Dari pagi hingga sore, saya menyimak lima pemateri keren yang berbicara tentang otak. Dokter dan Doktor, semuanya pintar menyampaikan makalah dengan renyah.

Diawali oleh dr. Erial Bahar, M.Sc., pakar neurosains-neuroanatomi Universitas Sriwijaya:

  • Otak menerima dan mengolah informasi dalam waktu seper sekian milidetik, melakukan kalkulasi, dan menghasilkan respon motorik.
  • Menjelaskan cara kerja memori manusia tak semudah menerangkan kode biner. Otak bekerja secara highly parallel, multitasking, effortlessly. Komputer bekerja secara serial, perlu “klik” untuk bekerja.
  • Can the brain understand the brain?
  • Dokter yang menangani jasad Einstein “mencuri” otaknya untuk diteliti. Ternyata, otak Enstein sama berat dengan orang kebanyakan, tapi memiliki sel neuroglia yang lebih banyak.
  • Jumlah syaraf dalam otak manusia ada sekira 100 miliar dengan 100 triliun sinapsis (membayangkan angka ini membuat saya haus haha)
  • Prefrontal cortex (di dalam batok kepala kita di bagian depan—yak, silakan diraba. Benar, kira-kira di balik dahi, agak ke atas) adalah bagian otak yang membedakan manusia dengan binatang. Di dalamnya ada gen unik yang hanya dimiliki manusia.

Kedua adalah Dr. Rismiyati E. Koesma, pakar psikologi (komunikasi interpersonal) Universitas Padjadjaran. Kabarnya beliau sudah berusia 60 tahun lebih, tapi casing-nya menakjubkan. Cantik, suaranya jernih, tenang…

  • Neuropsikologi mempelajari bagaimana proses biologis memengaruhi perilaku mental.
  • Sistem limbik: hubungan antara otak, emosi, motivasi, dan memori. Tampil pada manusia sebagai sistem afektif.
  • Yang berperan dalam komunikasi interpersonal: Usia, jenis kelamin, kondisi neuropsikologis.
  • Komunikasi verbal dan non verbal. Lisan bisa direkayasa, tapi tubuh selalu jujur. Reaksi seperti kontak mata, keringat, gerakan spontan tubuh, tarikan napas, dsb. adalah bentuk komunikasi non verbal.

Ketiga adalah Popy Rufaidah, PhD., Ketua Program Magister Manajemen Universitas Padjadjaran berbicara tentang neurobranding, neuroeconomics.

  • Neurobranding memahami perilaku psikologis konsumen, dan pengetahuan itu digunakan untuk membangun brand yang mendatangkan efek paling optimal.
  • Kita ini dijajah merk dari pagi hingga pagi lagi. Kita nyaris tidak mengenal produk. Bangun tidur gosok gigi pakai pepsodent, sarapan pakai blueband, bepergian naik toyota, dan seterusnya… Jika kita sudah terbiasa dengan merk itu, rasanya tak sah jika memakai merk lain. That’s neurobranding.
  • Brand: lebih baik beda sedikit daripada sedikit lebih baik. Saya juga lupa apa artinya, tapi kalimat ini saya tulis dan saya garis bawahi, jadi penting sekali hehe…
  • Personal branding: Identity, image, integrity. What you say, what you wear, what you do.
  • Otak itu seperti hardware. Belajar adalah menginstal software baru. Jika rusak atau terjangkit virus, format ulang. Re-learn! Belajar lagi. Branding is installing a value.

Keempat adalah Dr. Taufik Pasiak, ahli neuroanatomi & neuroteologi Universitas Sam Ratulangi. Hubungan otak dan keberagamaan.

  • Neuroplasticity: Kemampuan otak manusia mengatur ulang apa pun secara terstruktur. Ketika Anda memikirkan sesuatu, otak sudah berpikir bahwa sesuatu itu benar-benar terjadi. Hati-hati dengan pikiran Anda.
  • Kerusakan prefrontal kanan (yak, silakan raba kembali, bagian mana tadi?) akan menimbulkan kerusakan moral.
  • Ketika Anda merasakan Tuhan sebagai tumpuan harapan dan cinta, prefrontal kanan otak Anda aktif.  “Penyucian jiwa akan memperkuat akal pikiran” (Muthahhari)
  • Facial Acting Coding System. Ada senyum di dalam otak (benar-benar tersenyum, tulus, jujur) ada senyum yang tampak—direkayasa, hanya menarik dua ujung bibir.
  • Ada beberapa foto senyum yang diperlihatkan dan Dr. Taufik menganalisis senyum mereka—termasuk senyum tokoh dan selebriti yang kita kenal, hehe… Tebak siapa?
  • Default manusia adalah makhluk jujur. Jika berdusta dia akan stress.
  • Beda mistikus dan orang gila. Penampilan bisa jadi sama, tapi mistikus sikapnya mencerahkan. Pengalamannya datang dan hilang secara sadar, dan datang dalam waktu singkat, bisa berulang. Orang gila sebaliknya. Anda tidak akan tercerahkan olehnya.
  • Qalbu adalah satu sisi dari otak.

Pemateri pamungkas adalah Dr. Jalaluddin Rakhmat. Seminar nasional ini diadakan untuk beliau yang memasuki masa pensiun dari Universitas Padjadjaran, sekaligus memperingati Dies Natalis Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad. Kabarnya Fikom akan mendirikan The Jalal Center untuk mengkaji pemikiran beliau di bidang ilmu komunikasi. Kali ini Kang Jalal berbicara tentang neurokomunikasi.

  • Banyak film diputar, mengaduk emosi: takut, haru, cemas, dan bingung, haha…
  • Kisah Phineas Gage, mandor yang mengalami kecelakaan dan luka di kepala. Setelah sembuh, dia yang dulu penyayang, kini jadi temperamental. Seorang istri yang awalnya sederhana dan taat berubah jadi hobi selingkuh (aduh!). Setelah diperiksa, ada kerusakan di prefrontal cortex. Masih ingat, kan, di mana itu? Penyebabnya adalah karena kepala sang istri pernah dibenturkan suaminya ke dinding.
  • Mirror neuron: penemuan ilmiah terpenting setelah DNA? Neuron yang membangun peradaban (manusia) – Vilayanur Ramachandran. Anda bisa search presentasinya di Ted Talk. Search juga Dr. Daniel Glaser.
  • Mirror neuron ada di prefrontal cortex. Mirror neuron membuat kita bisa menangkap pemikiran orang lain tidak melalui nalar tapi melalui stimulasi langsung. melalui perasaan, bukan pikiran.
  • Ketika mengamati orang lain, kita (seolah) melakukan tindakan mereka itu dalam diri kita, dan kita turut merasakan emosi mereka.
  • Neurolinguistik: Memperbaiki kemampuan dan kebiasaan berbahasa melalui ilmu tentang otak. Diyakini bahwa bahasa yang benar akan menjadikan otak manusia benar.
  • Neuroanatomi melahirkan brain-based learning. Cara belajar manusia itu dipengaruhi oleh aktivitas otak, tapi ilmu otak ini tidak (belum) diajarkan secara khusus di fakultas pendidikan. Neurokomunikasi akan menjadi mata kuliah wajib di Fikom Unpad, Thanks to Kang Jalal.
  • Di titik ini, saya (iya, saya, Anna Farida...) jadi kepikiran dengan istilah neuroeducation, neuroteaching, neurolearning. Ngarang, hehe…
  • Word can change your brain (buku Andrew Newberg). Kata yes bersifat assuring, kata no menimbulkan stress. Jika anak Anda merengek hendak ikut, alih-alih berkata “Nggak, jangan ikut Ibu…” katakan “Ya. Hari ini Adik di rumah dulu, ya…”
  • Melalui CT scan sejumlah subjek dipindai aktivitas otaknya. Ketika membaca tulisan berisi kata-kata kasar, reaksi otaknya adalah fight, flight, dan freeze. Melawan, lari, atau mogok. Sekadar membaca tulisan saja reaksinya nyata, bagaimana dengan anak-anak yang setiap saat terpapar dengan kata-kata dan perlakuan kasar.
  • Kata-kata kasar melukai otak Anda dan otak orang di sekeliling Anda. Cara berkomunikasi yang salah akan mendatangkan efek yang sama.
  • Jika Anda membayangkan Tuhan sebagai zat yang keras dan hobi menghukum 15 menit sehari, Anda akan mengalami permanent brain damage.
  • Semua makalah akan diterbitkan menjadi jurnal tentang neurosains. Publish or perish.

Catatan saya sudah habis. Tunggu saja jurnalnya terbit 🙂

Ini salah satu seminar terasyik yang pernah saya ikuti. Tempatnya nyaman, di ballroom Grand Preanger Bandung. Kue sponge rasa jeruk dan puding mangganya enak. Semur daging & cah brokolinya segar, cangkir lemon tea-nya bagus. Eh, ada kue sosis yang selalu hangat dengan saus pedas.

Nah, kan… langsung ketahuan kualitas otak saya.

Maaf!

Road to ABRSM Royal

Alhamdulillahirabbil’alamiin…

Biar nggak bolak-balik buka partitur

Biar nggak bolak-balik buka partitur

Hari ini dapat kabar bahwa Zaky lulus ujian Grade 5 Violin ABRSM Royal.

Sebuah panggilan telepon membuatku heboh. Kalau dituruti, aku kepingin menangis terharu.

Mengapa se-lebay itu reaksiku?

Lha iya! Perjalanan menempuhnya bukan perkara sepele, tak semudah soal pilihan ganda yang bisa dia tebak saat Ujian Nasional.

Zaky 15 tahun, sekolah di SMA berasrama yang padat kegiatan dari pagi hingga sore. Gurunya di Swara Harmony Music School merekomendasikan dia mengambil Grade 5.

Waduh! Berat jika aku melihat kemampuan sekaligus gaya latihannya yang sekenanya.

Tapi gurunya percaya ke Zaky, sekaligus percaya diri bisa membimbingnya.

Baiklah, kuserahkan sepenuhnya keputusan ini  kepada yang bersangkutan.

Setelah berpikir beberapa minggu, dia berkata YA.

Maka mulailah kami menyusun strategi.

Kami? Maksudnya Zaky dan aku, gitu?

Ya. Tepat sekali.

Ternyata setelah Zaky berkata “sanggup”, aku harus sangat terlibat dalam proses ini. Sang guru memberiku tugas mendampingi dan memastikan Zaky latihan sesuai porsi.

Dan itu TIDAK mudah.

Jadwal les dan latihan diatur sesuai dengan jadwal dan kegiatan sekolah yang super sibuk. Sesekali (atau sering kali) Zaky sok sibuk. Haha… ngaku, Zaky!

Les, latihan, latihan, les. Satu tahun menuju D-day, Hari –H, Dinten-D.

Membuat dia berangkat les tepat waktu juga penuh perjuangan. Jadwal kereta tidak selalu tepat, angkot lebih sering melintasi daerah macet.

Dengan segala keterbatasan kesempatan, kadang latihan Zaky kupantau via skype, kadang dia kuculik dari asrama atau kegiatan kesiswaan agar bisa latihan di rumah. Satu ekskul yang menyita waktu terpaksa dia lepaskan dengan air mata, dan wali kelas serta guru-guru lain kuminta turut mendukung. Semua setuju!

Walaupun begitu, latihan tidak selalu mulus. Di antara pujian dan tawa bersama, proses ini sering juga diwarnai perdebatan tak penting, pertengkaran, marah-marahan, dan marah betulan.

Satu tahun seperti itu!

Untung tidak setiap akhir pekan Zaky bisa pulang. Kalau bisa justru kasihan dia. Kasihan aku juga, haha…

I’m a tiger mom, aren’t I? Gggrrauung!

So be it. Call me that way. Saatnya dia bertanggung jawab atas keputusannya itu.

Ketika menemaninya latihan, kendala terbesarnya adalah fakta bahwa aku tidak paham teori musik, tidak bisa main musik, tapi sering tergoda komentar sok tau. Sotoy, gitu.

Zaky sering ngambeg kalau aku mulai komentar. Kalau sedang baik, kondisi ini sering dia “selesaikan” dengan cara mengawuri aku. Dia tahu benar bahwa di tahap tertentu, ibunya nggak akan paham apa yang dia katakan atau lakukan.  Mengawuri adalah kosa kata temuanku dalam kurun waktu itu.

Ketika latihan tangga nada, misalnya, aku komentar, “Kok kayak fals, ya, Kak?”

Dia jawab enteng, “Itu tangga nada minor, Bu. Emang gitu suaranya.”

“Ooo…”

“Kak, kayaknya kata Kak Eya dan Bu Lina bagian itu mainnya jangan patah-patah, deh…”

“Nggak, Bu. Lihat partiturnya. Tanda ini artinya patah-patah…”

Huh! Mana bisa kubaca! Lagi-lagi aku hanya bisa bilang, “Oooo…”

Waktu berlari cepat.

Latihan bersama Kak Eya Grimonia dan Bu Carolina S Yana

Latihan bersama Kak Eya Grimonia dan Bu Carolina S Yana

Target les masih berjalan sesuai rencana gurunya, walau tidak optimal. Kesadaran Zaky untuk bersikap progresif timbul tenggelam. Tapi kami selalu punya harapan dan berpikir positif.

Nah…

Saat studio class pertama, Zaky gugup. Simulasi ujian yang diadakan di hadapan guru-guru Swara Harmony membuatnya nyaris menangis.

Aku galau. Gimana nanti kalau ujian beneran? Guru-guru menghibur, “Masih ada waktu, Bu…”

Studio Class kedua lebih parah karena kualitas dan kuantitas latihan Zaky merosot.

Ouugghhh…

Studio Class ketiga lumayan membaik…

Berikutnya Aural Class. Peserta ujian belajar teori dan wawasan musik klasik. Mereka juga belajar merespon pertanyaan penguji dengan cepat dan tepat. Seminggu sekali di luar jadwal les, selama dua bulan, Zaky sering pulang malam sendirian. Ini selalu bikin aku mules. Kadang dia terlambat dapat angkot, kadang miskomunikasi dengan yang menjemput, kadang hapenya tewas, bikin aku telepon sana sini untuk memastikan dia sudah sampai asrama. Dongkol campur lega ketika satpam bilang, ternyata dia sudah pulas di kamarnya. Heuu…

Akhirnya hari itu pun tiba.

Rabu, 25 September 2013. Setelah subuh, Zaky, aku, dan bapaknya meluncur menuju Hotel Hyatt, Bandung. Ujian dilakukan di sana, dan orang tua tidak boleh mendekat. Hanya peserta dan pianis pengiring yang diperbolehkan berada di sekitar lokasi. Boro-boro bisa motret 😀

Bismillah… Ini kali pertama Zaky ikut ujian.  Internasional, pula. Hanya doa yang bisa kubekalkan untuknya. Sejam kemudian, dia keluar ruang ujian dan heboh bercerita dengan suara yang emosional.

“Pengujinya nanya apa sering nggak jelas, Bu! Telingaku mendadak seperti berdengung, gitu!”

Hehe…

Bahasa Inggris Zaky terhitung bagus, jadi kecil kemungkinan dia tidak bisa menangkap pertanyaan. Tapi kalau dia gugup… kemungkinan apa pun bisa terjadi.

Agak lega ketika pianis pengiringnya berkata tiga lagu ujian bisa dimainkan Zaky dengan aman.

Sudahlah, perjuangan sudah dijalani semampu kami.

Gurunya sudah bersinergi sebaik mungkin dengan Zaky yang ajaib karena sedang berkutat dengan sekolah dan hormon remaja.

Aku melepaskan semua lelah di hari itu.

A really BIG fyuhhhh…

Begitulah ceritaku.

Zaky pasti punya cerita lain di blog-nya sendiri. Dia tak akan menuliskannya hari ini. Lagi heboh teriak-teriak dia, haha…

Selamat, mein Sohn. Maafkan semua kekhilafan yang pernah terjadi saat kita melewati  proses ini.  Lagi-lagi ibu masih harus banyak belajar jadi orang dewasa yang bener.

Terima kasih, Kak Eya Grimonia sang guru biola, dan Ibu Carolina S. Yana, sang pianis. Dunno what to say. Tak lupa, nuhun, Kak Anna, staf SH yang sering repot dengan jadwal les Zaky.

Terima kasih, Bapak, atas dukungannya dan mengizinkan Zaky ikut aural class di malam Jumat.

Psst… izin ini kuperoleh dengan negosiasi alot dan rayuan yang paling uhuk!

Penasaran dengan penilaian pengujinya?

Ini dia liputannya:

Selamat, Zaky... Ibu bangga.

Selamat, Zaky… Ibu bangga.

Lagu Corrente: 2nd movt from Sonata in D minor, Op. 5 No. 7 Corelli (25/30)

A rythmic opening and the < > were all clear. There were some tonal slips and not all of the pitching was centred but there was a sense of character.

Lagu Pastorale, Op. 23 No. 1 Rieding (25/30)

You made a good start with warm tone but there were some pitching issues yet there were some musical colour and you thought in phrases

Lagu For Latin Lovers Brian Chapple (26/30)

This was all rythmically (…) and details were graded nicely. There were a number of coordination lapses and a few tonal slips, however.

Scales & Arpeggios (16/21)

A number of slips and one scale was flawed but others were safe. Appergios were acceptable and  (….) were fine as well as the chromatic.

Sight Reading (15/21)

A reasonable attempt but with some hesitation and < > were missed

Aural Test (16/18)

One of the sung tests was wrong but elsewhere a good response.

Total: 122

Keterangan:

< > tanda dinamik, suaranya makin kenceng – makin pelan

(…) bukan tanda dinamik. Itu tanda bahwa aku nggak bisa baca tulisannya hehe

25/30 = nilainya 25, dari nilai tertinggi 30

Nilai tertinggi ABRSM itu 150. 100 = pass, 120= merit, 130= distinction

Zaky 122, MA: Merit Alhamdulillah… 

Banyak yang mesti diperbaiki. Perjalanan masih panjang. Ini awal yang baik, insya Allah.