Disiplin Positif Bagi Remaja: Bisa?

Sebelum merumpi, mari bernostalgia sejenak.

Ingat waktu anak masih bayi? Ingat waktu dia belajar jalan? Kita harap-harap cemas, ingin jadi orang pertama yang menyaksikannya menapakkan kaki sendiri. Mula-mula kita menuntunnya, berjalan bersamanya, mengikuti irama langkahnya. Otomatis kita bungkukkan punggung, dan pegal-pegal sesudahnya. Tapi tak kapok juga, kan? Besok diulangi lagi. Lagi dan lagi.

Ketika genggaman mulai kita lepaskan, kita tahu bahwa mungkin dia akan jatuh. Tapi di saat yang sama kita percaya bahwa jatuh adalah bagian dari proses belajar.

Kita serukan pujian, “Yuk! Bisa. Ayo, jalan ke Mama. Tenang, Ayah jagain …”

Ketika dia lelah, kita akan menunggunya, kadang menggendongnya. Tak pernah kita memaksanya, karena yakin bahwa pada saatnya dia akan berjalan juga.

Kita percaya.

Sambil menunggunya siap kembali, kita desain rumah dan teras sebagai tempat latihannya. Kita amankan pernik yang bisa berbahaya. Tangga ditutup, meja berujung runcing diplester, taplak dieliminasi. Kursi ditata sedemikian rupa agar bisa jadi pegangan—kita bangunkan lingkungan yang membuatnya bersemangat sekaligus aman. Ketika dia makin lincah bergerak, tata letak barang di rumah pun diubah lagi. Kita jadi interior designer yang bekerja penuh cinta.

Sekarang …

Kita punya remaja. Ke mana pegangan yang pernah kita rancang itu? Apakah kita kunci karena rasa takut? Atau kita perpanjang ukurannya demi mendukung tumbuh kembangnya?

Kita tahu, tibalah saat untuk mulai melepasnya, tapi di saat yang sama kita ragu apakah dia akan baik-baik saja. Bagaimana jika dia tersandung dan jatuh, sedangkan kita tak lagi di sisinya dan menggenggam tangannya?

Aduh, jadi mellow, gini.

Dalam berbagai buku dan pendapat ahli tumbuh kembang kita belajar bahwa saat memasuki masa remaja, anak cenderung mulai ingin menemukan diri sendiri dan melepaskan diri dari “penjagaan” orang tua. Padahal, sebenarnya mereka masih sangat memerlukan panduan, termasuk dalam mendisiplinkan diri sendiri.

Mereka sendiri merasa, saat masih anak-anak, disiplin lebih mudah diterapkan. Orang tua masih pegang peran besar, anak ikut mematuhi. Jika terjadi kesalahan, orang tua lebih mudah memaafkan dan segera mengambil alih tanggung jawab – ini umumnya, lho, ya.

Kini, mereka telah remaja.

Disebut dan diperlakukan sebagai anak-anak jelas tak mau lagi. Diminta bersikap sebagai orang dewasa pun masih gamang. Jadi disiplin yang seperti yang yang cocok?

Dalam pengasuhan, kita mengenal istilah positive discipline atau disiplin positif. Secara sederhana, ciri-cirinya adalah:

  • Disiplin ditujukan untuk mengatur perilaku agar anak mengerti mana yang salah dan yang benar
  • Anak menjadi subjek. Mereka tahu bahwa disiplin didesain untuk kepentingan mereka
  • Disiplin positif membangun sikap percaya diri, bukan untuk menyakiti anak dengan alasan apa pun
  • Disiplin bukan alat pangkas kepentingan anak atau senjata untuk melindungi kepentingan orangtua

Bagaimana menerapkannya?

  • Awali dengan membuat kesepakatan dengan anak tentang aturan yang hendak diterapkan
  • Sampaikan pendapat orang tua, simak dan apresiasi pendapat anak
  • Perjelas mana aturan yang tidak dapat diganggu gugat, jelaskan mengapa
  • Pilih intonasi, bahasa tubuh, dan waktu yang pas
  • Pilih kalimat positif
  • Berikan waktu pribadi untuk masing-masing anak
  • Jika anak memperlihatkan komitmen, berikan apresiasi
  • Jika terjadi pelanggaran, cari solusi bersama, bukan selalu hukuman. Ajak dia untuk mencoba lagi dan lagi.
  • Tegas, dan di saat yang sama tetap ramah.
  • Jadilah teladan. Jadilah orang pertama yang komitmen pada hal yang telah disepakati — ini tantangan bagi kebanyakan orang tua, hehe.
  • Sabar, perlu waktu – ini jauh lebih menantang, ehm!

Bagaimana menjaganya?

Rapat keluarga dan membahas aturan bisa sangat menyenangkan. Bagian yang tricky adalah menjaga konsistensi saat menerapkannya. Terkait penerapan aturan, sejujurnya, remaja masih tergantung pada orang tua. Perilaku orang tua akan menjadi cermin dan rujukan mereka dalam bersikap.

Ketika orang tua melanggar aturan lalu lintas, misalnya, remaja akan melihatnya sebagai referensi. Awalnya mereka ragu, apakah ini benar atau salah.

Jika sesuatu yang salah menjadi kebiasaan, bukan mustahil jadi kebenaran bagi mereka. Saat pengetahuan mereka kian berkembang, dan menemukan bahwa ternyata orang tua melakukan pelanggaran, lunturlah kepercayaan.

Rasa tak percaya ini akan merembet ke aspek kehidupan yang lain.

Tak heran jika remaja mulai mencari patron dan teman lain yang lebih fair, teman yang tidak melulu berwacana tentang kebaikan namun di saat yang sama melanggar peraturan tanpa sungkan.

Konsistensi.

Inilah benteng pertama sekaligus utama dalam membangun perilaku disiplin bersama remaja. Semoga Allah menggenapkan yang tercecer dalam upaya pengasuhan kita.

————————-

Anna Farida, kepala Sekolah Perempuan, penulis buku-buku pendidikan keluarga. Karyanya bisa dilihat di www.annafarida.com

Makalah ini disampaikan dalam seminar orang tua tanggal 21 November 2015 bertema Save The Children With Helmet. Program SELAMAT – Save The Children – Yayasan Sayangi Tunas Cilik – SMPN 14 Bandung – Komite Orang Tua Kota Bandung.

#ngaku: Makalahnya serius biar nggaya, padahal presentasinya curhat-curhatan seperti biasa 😀

 

 

 

Game yang baik?

Di rumah saya, Jumat adalah hari mulia. Menu istimewa tersaji di meja makan, buah dan kue enak tersedia. Hari Jumat juga hari ibadah. Diharapkan anggota keluarga lebih banyak baca wirid dan Alquran, lebih seru meramaikan majelis ilmu, dan lebih khusyuk baca buku.

Hari Jumat pun jadi hari menahan diri dari kesenangan duniawi.  Artinya, anak-anak dikondisikan untuk tidak menyentuh game dan film-film yang bersifat hiburan. Jika sedang di rumah, Bapak berhenti nonton streaming movie. Ibu tidak nonton konser-konser musik, apalagi konsernya Josh Groban dan Il Volo :-p

Kami menyebutnya jeda, pause.

Berhenti bersenang-senang sehari dalam seminggu seharusnya sip-sip saja.

Itu harapan.

Kenyataannya, di antara kegiatan hiburan—terutama hiburan digital—yang sehari-hari menemani anak-anak, mengajak mereka berhenti main game bisa jadi tantangan besar. Di saat yang sama, anak-anak tak kurang akal agar tetap bisa berdekatan dengan komputer walau di hari Jumat. Salah satu cara ngeles mereka adalah belajar. Anak bungsu saya punya situs game interaktif yang jadi tempat dia “belajar” di hari Jumat, eheheh.

Jumat lalu, saya dan Luthfa—Upeng (8) cari-cari game yang bisa dimainkan di hari Jumat. Saya ajak dia cari game buatan Indonesia dulu. Dukung produk sendiri, dong!

Eh, ternyata banyak juga pilihannya.

Di urutan pertama pencarian ada Petualangan Boci. Kata petualangan rupanya menarik perhatiannya. Baiklah, mari kita cek, apa isinya.

Begitu di-klik, warna hijau cerah langsung menyambut kami.

Upeng mendekat dan bertanya, “Apa itu, Bu?”

“Ibu juga belum tahu. Ayo kita lihat bareng.”

Saya buka bagian “about” dan senang menemukan game yang menyertakan keterangan tentang peran orang tua. Semangat untuk menciptakan aplikasi yang bisa mendekatkan anak dan orang tua patut diberi bintang. Menu yang ditawarkan juga menarik: belajar menulis, belajar membaca, belajar berhitung, mewarnai, hingga teka-teki.

Anak-anak bisa terpancing untuk bertanya dan orang tua jadi punya bahan untuk memberikan penjelasan lebih luas.

Jadi, ketika anak main game, sebaiknya ibunya jangan sibuk chatting di grup melulu #sayaitusih. Sesekali libatkan diri dengan mereka, walau Anda serumpun dengan saya: bukan gamer.

Eh, saya kasih resep sedikit. Saya menuliskannya di buku “Parenting with Heart”.

Ketika anak main game, jangan pernah coba-coba jadi saingan. Bagi mereka, game yang sedang dimainkan adalah segalanya. Jangan mengecam game-nya, karena Anda akan dikecam pemainnya ahaha. Arahkan saja ke hal yang lebih produktif, misalnya ajak ngobrol tentang isinya (sebenarnya saya mau nulis “konten” tapi sayang kata itu belum masuk KBBI), siapa perancangnya, sampai jenis musik apa yang digunakannya.

Biasanya, ketika diajak ngobrol tentang hal yang berkaitan dengan game kesukaannya, dia akan lebih fokus kepada Anda. Di saat itulah, Anda boleh memintanya mandi, karena memang sudah sore, heheh.

Nah, mulai ke mana-mana.

Kembali ke Upeng yang sedang cari teman belajar.

Ketika dia ngoprek menunya, saya ngoprek informasi yang lain. Maklum, emak-emak kepo 😀

Saya cek nama-nama yang berperan menghadirkan Si Boci alias Bunglon Cilik ini. Di antara jenis pekerjaan yang lain, mengapa mereka memilih menciptakan game untuk anak. Tentu kita juga tahu, persaingan dunia ­game bukan hanya ketat tapi juga … (nggak tega, ah, nulisnya).

Sama-sama bisa bikin game, memilih muatan pendidikan adalah pilihan hebat. Padahal kan bikin game bermuatan perjudian bisa mendatangkan duit lebih banyak. Game yang nyerempet pornografi dan kekerasan juga lebih laku. Itu kabar yang saya dapat dari teman-teman di Next Generation yang aktif memantau muatan game, khususnya yang dimainkan anak-anak Indonesia.

Karena itu, sambil membaca jajaran nama para pencipta Petualangan Boci, saya bergumam, “Terima kasih. Semoga kalian tetap memberikan karya terbaik untuk anak-anak Indonesia, karya yang penuh berkah melimpah.”

Semoga kian banyak kreator game yang bersedia melakukan gerakan pendidikan. Setidaknya, ibuk-ibuk seperti saya yang tidak paham game ini bisa tenang sedikit. Iya, sedikit juga sangat berarti.

Sudah, ah, nanti jadi panjang lagi.

 

 

Diskusi Puber Kedua

Psst, hati-hati. Kayanya pasanganmu mulai mengalami puber kedua!

Hoho …

Yang merasa cemas angkat tangan, meringis tipis juga boleh.

Secara ilmiah, tidak ada istilah puber kedua. Yang disebut pubertas adalah masa mulai matangnya fungsi fisik, psikis, dan seksual. Tampaknya, semua penghuni kulwap sudah melewatinya. Ada yang belum?

Namun demikian, secara kasat mata kita melihat perubahan perilaku yang terjadi pada usia tertentu, sebut saja 40-60 tahun. Atau … kita kan cenderung melihat apa yang ingin kita lihat. Jadi perilaku wajar pun terlihat berbeda.

Selain kian tenang dan bijak, pada rentang usia tersebut, kadang ada perilaku spesifik yang terkait dengan keinginan untuk terlihat lebih muda, lebih bersemangat, dan … ehm lebih cakep.

Dari berbagai sumber penelitian, kecenderungan ini muncul karena lazimnya pada usia ini manusia mulai stabil dari berbagai sisi. Pilihan pekerjaan relatif tetap, pandangan hidup mulai kokoh, usia pernikahan rata-rata masuk tahun ke-10, dan ketergantungan anak mulai mengendur.

Artinya, anak-anak tidak lagi bergantung di ujung baju kita, mulai bisa main sendiri, atau sekolah.

Setelah selama kurang lebih 10 tahun berjuang menegakkan rumah tangga, membesarkan anak, menetapkan visi dan misi keluarga, kini kita jadi punya waktu lebih leluasa untuk diri sendiri.

Yang sebelumnya nyisir pun rasanya tak sempat, kini jadi kepikiran untuk ke salon. Yang sebelumnya cuek dengan uban, kini mulai cari-cari suplemen rambut. Mandi jadi lebih lama, karena sudah tidak ada anak yang bikin buru-buru.

Apakah itu salah?

Tidak, dong. Ingin tampil lebih segar itu wajar. Apalagi jika ingin tampil lebih menarik di depan pasangan, wajib hukumnya.

Lantas apa yang bikin cemas?

Sebenarnya yang punya potensi bahaya adalah waktu luang yang tidak dikelola dengan baik. Ketika anak sudah tidak terlalu merepotkan, ketika pekerjaan mulai stabil dan irama hidup mulai tertata, waktu luang pasti tercipta.

Apa yang kita lakukan? Menekuni hobi yang produktif? Memperkuat ibadah? Atau memperbanyak grup WA?

Potensi bahaya yang lain adalah energi yang tak terwadahi.

Masih terkait dengan waktu luang tadi, energi yang kita miliki kan jadi lebih banyak. Jika tak terwadahi, dia akan cari tempat untuk muncul.

Nah, muncul di mana dia?

Yang biasanya pulang kantor buru-buru jadi punya waktu leluasa untuk nangkring dulu. Yang biasanya harus bergegas jadi bisa main media sosial lebih lama. Pintu-pintu kebaikan dan keburukan bisa muncul kapan saja, di mana saja. Kita mau kelola dengan cara apa?

Eh, jika Anda melihat orang yang mapan (mapan tidak sama dengan kaya), berpembawaan tenang, terlihat rapi, wangi … senang tidak?

Penampilan di usia 40 ke atas bisa jadi sangat menarik perhatian, lho, baik dari pasangan yang sah atau yang bukan. Jadi, mungkin bukan Anda yang ganjen, tapi orang lain saja yang tertarik #halah!

Masalahnya jadi lain jika Anda memang sengaja cari perhatian (karena energi yang tak terwadahi tadi). Jika gejala ini mulai muncul, ada baiknya buka-buka kembali materi kita yang sebelumnya. Bahas hal ini dengan pasangan, segera putuskan apa yang harus dilakukan bersama-sama.

Waktu lebih luang, energi lebih besar, wadah pun mesti lebih leluasa.

Catatan khusus:

Perempuan usia 40 mulai menyambut masa pre-menopause, perasaan tak ingin tua pun mulai muncul — itu sih saya 😀 Ada perubahan hormonal yang tak terelakkan, dan ini bisa menyebabkan liukan irama emosi. Umumnya perempuan jadi lebih tergoda untuk memperhatikan hal detail, makanya muncul julukan nenek cerewet, dan tak pernah ada kakek ceriwis.

Pengetahuan tentang perubahan hormonal ini perlu diwaspadai, bukan dengan menumpuk krim anti aging, tapi dengan lebih banyak belajar. Karena menua itu tak terelakkan dan belajar adalah kemestian.

Dengan pengetahuan ini, pasangan suami istri akan tahu benar kapan mereka punya waktu luang, dan tahu benar bagaimana memanfaatkannya.

Daripada cemas memikirkan puber kedua, mengapa tidak mulai merancang bulan madu kedua saja?

Kulwap ini disponsori oleh Buku Parenting With Heart karya Anna Farida dan Elia Daryati.

File diskusi ada di blog Admin Kulwap, https://uchishofia.wordpress.com/2015/11/03/diskusi-puber-kedua/

uchishofia

Ada yang deg-degan, khawatir, was-was dengan datangnya puber kedua yang datang pada usia 40 tahun???

Jangan-jangan pasangan jatuh cinta lagi sama orang lain. Gimana neh?

Eitsss, puber kedua itu mitos, lo. Yang ada krisis paruh baya yaitu pada usia sekitar 40 tahun. Dengan asumsi usia tersebut orang sudah mulai mapan, ga harus kaya ya. Bisa secara pembawaan tenang, anak-anak sudah mulai mandiri, banyak waktu luang, keuangan mulai stabil, dan hal-hal lain yang membuat semakin terlihat menarik. Nah, pada usia tersebut ada keinginan untuk disanjung, dipuji. Jika ia tidak mendapatkannya dari pasangan sah, kemudian orang-orang yang mengelilinginya memberikan sanjungan, itu dia awal mula krisis.

Yuk simak tanya jawab sama Psikolog Elia Daryati dan penulis buku pendidikan Anna Farida berikut,

Pertanyaan 1
Suami saya dari kecil bukan orang yang suka tebar pesona. Tiap kali saya hamil, selalu ada perempuan yang ingin dinikahi. Pada kehamilan yang keempat ini, saya semakin was-was suami usia 38, khawatir puber kedua…

View original post 1,254 more words