LITERASI ANAK: PERGESERAN PARADIGMA

cerpen

FL2N 2018 Bidang Cerpen

LITERASI ANAK: PERGESERAN PARADIGMA
Oleh: Anna Farida

Tiga puluh tujuh anak khusyuk menghayati kertas folio bergaris. Pena di tangan mereka bergerak dengan irama yang beraneka. Kadang kepala mereka mendongak, menatap langit-langit, mungkin sedang menata kalimat di kepala.

Anak-anak ini datang dari sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah, atau yang sederajat dari berbagai penjuru Indonesia. Selain utusan dari provinsi di Pulau Jawa yang masih mendominasi, ada peserta dari Bali, Bali, Jambi, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Riau, Kalimantan Barat, juga Sumatra Barat. Mereka terpilih sebagai finalis lomba menulis cerpen, menyisihkan lebih dari empat ratus naskah lain.

27-31 Oktober 2018 berlangsung kegiatan Festival dan Lomba Literasi Nasional (FL2N) Sekolah Dasar 2018, yang diselenggarakan oleh Subdit Peserta Didik Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Pada kegiatan ini, lima bidang lomba dipertandingkan: menulis cerita pendek, baca puisi, cipta pantun, cipta syair, dan mendongeng. 165 peserta terpilih sebagai finalis dari seluruh Indonesia dan unjuk kebolehan di hadapan para juri yang terdiri dari para akademisi dan praktisi literasi anak.

Tema besar yang diusung adalah “Literasi Membangun Pembelajar Sepanjang Hayat” dan tahun ini anak-anak berkarya dengan tema khusus memperkenalkan budaya daerah dalam bingkai keindonesiaan yang damai.

Sebagaimana dijabarkan dalam Petunjuk Teknis FL2N 2018, salah satu tujuan kegiatan ini adalah memotivasi peserta didik untuk meningkatkan budaya membaca dan menulis sejak dini, juga mendorong tumbuhnya semangat kebersamaan dalam keberagaman.

Ketika melakukan seleksi untuk menentukan finalis, para juri saling berbagi evaluasi berkaitan dengan karya anak-anak. Dari bidang cerpen, yang ditemukan adalah mulai bergesernya cara pandang anak-anak terhadap relasi sehari-hari.

Tema keragaman budaya yang disodorkan pada finalis sebagian menjelma menjadi tulisan yang sederhana, unik khas anak-anak, ada pula yang agak too good to be true. Ada anak yang berkisah tentang perselisihan dua kelompok masyarakat beda suku dan akhirnya bisa mereka damaikan. Ada yang menulis tentang temannya dari suku lain yang kehilangan keluarga kemudian anak itu meminta orang tuanya melakukan proses adopsi. Ada juga cerita tentang anak yang bertualang ke pulau lain dan menjalin persahabatan dengan penduduk asli di sana.

Dari kacamata orang dewasa, anak-anak tampil sebagai tokoh pendamai wilayah konflik rasanya mustahil. Proses adopsi anak dari suku lain juga tidak sederhana, begitu pula bertualang ke pulau lain sendirian. Banyak faktor yang harus dipertimbangkan.

Sebaliknya, anak-anak cenderung berpikir spontan dan berani melepaskan imajinasi. Pertimbangan teknis dan detail yang biasa dilakukan orang dewasa tentu bukan ranah mereka. Jangankan ke luar pulau, mendadak tersesat di luar negeri pun bisa. Tanpa harus repot mengurus visa bahkan tanpa orang tua, mereka bisa jalan-jalan ke mana-mana. Mereka bebas tanpa sekat formalitas.

Punya imajinasi yang terbebaskan adalah privelege yang kian terkikis begitu manusia mendewasa. Meski demikian, ada pula catatan kecil yang perlu dipertimbangkan. Ada paradigma yang bergeser tentang pengamatan anak-anak terhadap kehidupan sehari-hari.

Dari cerpen yang mereka tulis, terlihat bahwa tema-tema yang diambil cenderung jauh dari keseharian. Alih-alih bercerita tentang relasi yang dijalin dalam keseharian dengan keluarga atau tetangga terdekat, mereka memilih bercerita tentang hal yang dianggap lebih istimewa atau heroik.

Tema favorit mereka adalah berlibur ke tempat yang jauh atau ikut lomba yang sulit, berlatih sangat tekun bahkan dalam waktu singkat, lantas jadi pemenang. Tema pilihan lainnya adalah bertemu dengan anak yang sangat nakal kemudian menyadarkannya, menjadi penengah antara kelompok yang saling berseteru, hingga memecahkan misteri yang seru. Pendek kata, mereka memilih tema-tema yang dianggap “wow”.

Dari aspek bahasa, sebagian anak menggunakan bahasa di luar bahasa sehari-hari. Pilihan kalimat mereka cenderung formal dan berbunga-bunga, diselingi dialog yang dramatis dan tidak natural.

Yang justru jadi hiburan yang menyegarkan adalah keberanian anak-anak menyelipkan beberapa kata dalam bahasa daerah ke dalam cerita mereka. Selama pembaca yang bukan penutur bahasa itu tetap bisa mencerna maknanya, penggunaan bahasa daerah membantu penulis cilik menyajikan narasi atau dialog yang alamiah. Walau tidak banyak anak melakukannya, ini pertanda bahwa kebanggaan anak terhadap bahasa daerahnya masih ada.

Perihal pemilihan tema favorit dan penyajian bahasa pada karya anak ini hendaknya menjadi catatan bagi para guru atau pelatih mereka. Pertama, menciptakan karya yang berkualitas tetap bisa dilakukan tema yang dekat dengan keseharian.

Dengan demikian, mereka bisa menuliskannya dengan mendalam karena pernah peristiwa atau situasi tersebut pernah dialami atau diinderai.
Imajinasi tentu sah adanya, karena pada dasarnya cerpen itu bermuatan fiksi dan berisikan hal-hal khayali. Meski begitu, imajinasi yang bagus tetap perlu dilandasi oleh pengetahuan atau pengalaman yang memadai.

Kedua, cerita yang menggugah tetap bisa disampaikan kepada pembaca melalui kalimat-kalimat sederhana. Kekuatan cerita pendek ada pada tema, penokohan, setting, dan alurnya, sementara kalimat adalah sarana penyampaiannya. Kepada anak-anak semua aspek itu bisa dilatihkan perlahan-lahan, setahap demi setahap, hingga cerita demi cerita yang mereka tulis adalah teman seperjalanan mereka menuju dewasa.

Salam literasi.

Anna Farida, Juri Bidang Lomba Cerpen FL2N 2018

MENULIS ITU SEMESTINYA MEMBEBASKAN

20180206_114446

Smuthers menggali ide paling umum dan paling ganjil

Saya membuat riset kecil, berdiskusi dengan sepuluh anak muda. Delapan dari mereka mengaku tidak suka menulis. Alasannya tidak bisa, tidak punya ide, males, atau semata-mata tidak suka.

Baik, akan saya buktikan bahwa semua bisa menulis.

 

Seminggu kemudian, saya bikin ribut di kelas XI SMU Plus Muthahhari Bandung. Selama satu semester, saya bakal menemani para remaja ini belajar menulis.

Pada pertemuan pertama,  kami eksplorasi kendala-kendala yang biasa muncul saat menulis. Kebanyakan menyatakan bahwa menulis itu tidak menyenangkan karena mereka takut salah dan tidak biasa.

OK, kita akan buat kelas menulis yang akan membuat mereka berani, kita jadikan menulis sebagai kebiasaan.

 

Jurus pertama, Free Writing.

Saya menggunakan buku “Free Writing” karya Hernowo Hasim sebagai panduan.

Saya sampaikan kepada pemuda-pemudi itu bahwa dalam waktu lima menit, mereka bebas menulis apa pun. Saya berjanji tidak akan membacanya, apalagi membacakannya di depan kelas.

Mereka boleh menulis rasa kesal, curhat, keluhan, apa pun. Tulisan boleh disimpan boleh dibuang. Kami melakukan FW ini beberapa kali dalam beberapa pertemuan.

 

Setelah alarm 5 menit berbunyi, saya minta mereka bercerita tentang pengalaman melakukan FW. Mereka berkata menemukan kebebasan, merasa ringan saat menulis, merasa bingung mau menulis apa, ada juga yang masih bertanya-tanya sebenarnya tujuan saya itu sebenarnya apa, haha.

 

Mungkin mereka berpikir, masa iya kelas menulis mengajarkan hal seperti itu.

Bisa jadi berdasarkan pemahaman mereka, mengarang atau menulis adalah kegiatan yang penuh aturan dan penghakiman: tunjukkan kalimat utama, gunakan ejaan yang benar, tulis tema yang bagus, bacakan di depan kelas.

Memang, ada anak yang terpapar budaya baca tulis sejak kecil, sehingga menulis sudah menjadi kebiasaan. Mereka biasa menulis spontan, misalnya dalam buku harian atau corat-coret di halaman paling belakang buku tulis, sekaligus percaya diri saat tulisan mereka dibaca orang lain.

Pada saat yang sama, ada juga anak yang tidak biasa menulis—karena tidak biasa, malu, atau takut salah tadi.

 

Bagi yang biasa atau tidak biasa menulis, FW sangat membantu.

FW membangun rasa percaya diri mereka bahwa menulis bisa mudah dan membebaskan. Mereka bebas menulis apa pun, dan tulisan itu sepenuhnya jadi milik mereka. Mereka bisa berlatih tanpa takut duluan atau malu duluan, atau duluan-duluan yang lain.

 

Dalam pertemuan berikutnya kami bahas ide-ide yang bisa diangkat jadi tulisan—dari tema yang paling mainstream sampai tema yang paling ganjil seperti bersin sambil membuka mata 😀

Mereka bisa mengambil salah satu tema yang ada untuk jadi bahan FW. Sebagian anak mengizinkan saya membaca tulisan mereka, sebagian tetap tidak mau.

Masih menikmati FW yang sangat privat, rupanya. Saya sabar saja.

 

Agar tidak bosan dengan FW—siapa tahu ada yang tidak suka—saya sampaikan juga materi copywriting. Kami belajar membuat kalimat-kalimat menarik dalam poster kegiatan dan menulis profil diri.

Saya amati cara kerja mereka dalam kelompok. Saya beri peluang bagi anak yang suka tampil untuk memaparkan poster kelompoknya, sambil sesekali saya beri trik public speaking sederhana.

 

Nah, berikutnya adalah blogging.

Minggu lalu saya ajak mereka membuat blog dan berdiskusi mengapa blog penting untuk menyimpan portofolio. Sudah SMA, penting punya rumah maya untuk menyimpan karya. Yang sudah mahir nge-blog bertugas membantu teman lain.

Hari ini, setelah beberapa pertemuan mereka bebas menulis apa pun, saya menerima kiriman tautan blog mereka.

Isinya beraneka, mulai dari kopi, game, sepeda motor kuno, sahabat, cerita di sekolah, puisi, fotografi, bale nyungcung, anime, musik, hijab, sampai kematian.

Gaya tulisan mereka penuh warna, ada yang panjang ada yang pendek.

Saya sampaikan bahwa blog ini akan dibaca publik dan mereka santai saja. Tidak ada yang berkata takut atau malu. Karena itulah saya berani memberi beberapa masukan kecil terkait tata penulisannya. Sedikiiit saja, sambil lalu saja.

 

Hari ini kami belajar, setelah nyaman menulis untuk diri sendiri, perlahan kami bakal nyaman menulis untuk publik.

Minggu depan kami sudah punya rencana lain. Mohon doa senantiasa.

 

Salam takzim,

Anna Farida

 

Ini tautan blog mereka, feel free to read and add comments 😊

https://malikahdiza18.blogspot.co.id

http://kunyukwarrior.blogspot.co.id

https://javadictivity.blogspot.co.id

https://kikiwotits15comeasyouare.blogspot.co.id/

http://ondeondee05.blogspot.co.id

http://obromarkoto72.blogspot.co.id/

http://iniblognyamd.blogspot.co.id/

http://ranisyaaw.blogspot.co.id

https://therumix.blogspot.co.id/

https://auouoel.blogspot.co.id

http://hafifah99.blogspot.co.id/

https://bosvandromen.blogspot.com/

http://stuff-discussion.blogspot.co.id/

http://arafisetiawan67.blogspot.co.id/

http://aiamareru.blogspot.co.id/

http://imah018.blogspot.co.id/

http://mutamimmah14.blogspot.co.id

BERCANDA DENGAN EYD

bercanda dengan EYD

Artikel ini dimuat dalam “Wisata Bahasa” Harian Umum Pikiran Rakyat. Saya bagikan versi aslinya, ya.

BERCANDA DENGAN EYD

(Anna Farida)

Bagaimana jika ada kajian Ejaan Yang Disempurnakan yang diawali dengan dialog seperti ini:

#IngatEYD

Ini perlu diketahui para suami ketika merayu istri.

Istri: “Mas, baju baruku bagus, enggak?”
Suami: “Bagus, dong, Sayangku. Lehermu jadi terlihat jenjang …”
I: “Maksudmu apa? Nyindir leherku yang besar, ya?”
S: “Oh … um … maksudku … berjenjang-jenjang …”
I: “Hah! Tahu enggak kata itu apa artinyaaa? Grrrhhh!”

Istri kian murka, rayuan gagal.

Saya mengajar di sebuah komunitas menulis perempuan yang kebanyakan anggotanya adalah ibu rumah tangga. Ada yang memiliki latar belakang pendidikan bahasa, ada yang tidak. Ada yang masih ingat pelajaran tata bahasa, ada yang bilang lupa. Rata-rata, alasan mereka adalah karena tak suka pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah.

Pendek kata, dulu tak suka sekarang lupa.

Selain ilmu, bahasa itu kan keterampilan. Begitu jarang digunakan, dia akan segera dilupakan. Dulu, saat SMA, nilai rapor saya untuk bahasa Jerman selalu 9. Sekarang, kemampuan Deutsch saya ada di level pre-basic alias dasar saja tidak. Kosakata? Nyaris punah.

Apa sebabnya?

Lulus SMA, saya mendalami pendidikan bahasa Inggris di IKIP Bandung. Setelah itu, saya aktif menulis, mengajar menulis, dan menjadi trainer berbagai pelatihan orang tua dan guru. Artinya, saya lebih sering menggunakan bahasa Indonesia. Untuk berjejaring dengan komunitas guru internasional, saya pakai bahasa Inggris. Tak bisa dicegah, kurang dari sepuluh tahun, bahasa Jerman saya bisa dibilang lenyap.

Tragedi yang sama bisa terjadi pada bahasa Indonesia—termasuk bahasa ibu. Kecakapan berbahasa sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Pengaruh itu bisa positif bisa pula sebaliknya.

Tren bahasa singkatan misalnya. Kebiasaan menyingkat kata mulai muncul ketika telepon genggam menawarkan menu pesan singkat alias SMS. Jumlah karakter per pesan dibatasi, dan untuk setiap pesan dikenakan biaya tertentu.

Tak lama kemudian media sosial menyediakan fasilitas chatting. Bahasa tidak formal berkembang cepat, bahasa alay ikut menyergap. Seiring dengan mudah dan murahnya akses internet, tren ini cenderung diiyakan oleh kebanyakan pengguna media sosial.

Awalnya para ibu adem ayem saja, bahkan ikut dalam euforia komunikasi abad ke-21.

Saya juga.

Lama-lama yang mengeluh kian banyak.

Saya juga.

Menurut para ibu, anak-anak mengalami kesulitan ketika harus menuangkan gagasan dalam tulisan karena lebih akrab dengan bahasa chatting. Ini terjadi dalam semua mata pelajaran.

Beberapa rekan guru termasuk dosen curhat. Mengajar anak-anak membuat laporan atau sekadar menulis pengalaman dan pendapat jadi tugas yang mahaberat. Murid dan mahasiswa mereka rata-rata masih harus dibimbing untuk menghasilkan kalimat-kalimat yang baik. Kesalahan tata bahasa yang sama terus berulang. Kosakata mereka terbatas, dan gaya tulis mereka terlihat sekali dipaksakan. Laporan dua halaman bikin mereka mengeluh, sementara arsip chat harian bisa ribuan pesan.

Para ibu tak kalah gerah.

Sebagian besar lupa banyak hal, sebagian yang lain lebih akrab dengan bahasa media sosial. Buntutnya, saya sering jadi sasaran tembak saat anak-anak mereka dapat tugas bahasa Indonesia.

Pesan-pesan begini, nih, yang bikin saya tambah sayang pada para ibu.

“Bu Anna, yang baku mana, sih? Nasihat atau nasehat? Tampak atau nampak? Maaf, ini PR anak saya.”

“Lah, kan tinggal buka kamus online, Bu.”

“Kan ada Bu Anna. Bisa sekalian tanya-tanya hal lain.”

“Haish!”

Jadilah saya kamus berjalan. Padahal, untuk banyak kata, saya pun buka kamus. Saya bahkan berkali-kali buka kamus untuk satu kata yang sama karena lupa.

Saya merasa mau dan merasa perlu, karena ingin tulisan saya bermutu. Bahasa kan mewakili karakter sekaligus kredibilitas seseorang. Saya belajar juga belum lama, kok. Bukti tertulisnya ada di blog saya. Tulisan yang saya buat dua tahun yang lalu masih berantakan, tulisan dua bulan yang lalu, bahkan dua hari yang lalu, masih saja ada yang meleset. Saya meringis sambil menyunting tulisan lama begitu ada pembaca berkomentar.

Saya juga tak bersedia disebut guru, apalagi pakar EYD—biasa, para ibu sering lebay kasih julukan macam-macam. Saya lebih suka disebut juru siar.

Sesuai namanya, hobi saya adalah menyiarkan kabar, kadang salah kadang benar.

Tak sekali saya minta maaf di depan khalayak bahwa ternyata penjelasan saya salah, atau tulisan saya tak sesuai kaidah.

Berulang-ulang saya sampaikan kepada para ibu bahwa belajar bahasa bukan perkara instan. Bahasa bukan melulu rumus yang bisa dihafal, melainkan sarana komunikasi yang mesti dijadikan kebiasaan. Kemauan untuk menggunakan bahasa yang baik secara konsisten perlu dijaga.

Dengan niat menularkan kemauan inilah, saya memilih metode humor dalam menyampaikan materi EYD. Materi ajar selama tiga tahun terakhir akan dijadikan ebook untuk dibagikan gratis. Tunggu tanggal edarnya.

Saya sajikan materi dalam bentuk cerita atau dialog imajiner yang lucu, kadang agak berlebihan. Setahu saya, berdasarkan pengalaman, humor membuat orang merasa santai dan membuka diri.

Nah, kesediaan membuka diri adalah kondisi ideal untuk belajar. Materi lebih mudah diserap, pemahaman menancap kuat. Suasana cair membuat belajar jadi produktif sekaligus menyenangkan.

Mau contoh?

Dialog semacam ini bisa menuai komentar panjang yang hidup:

#‎IngatEYD

“Lihat, Bu! Bis diangkut oleh bas pakai bus!”
“Biarin. Asal bukan bapakmu yang diangkut.” –kalem mode on– 

Bis: Kotak kecil milik kantor pos, untuk memasukkan surat. 
Bas: Kepala pekerja (mandor).
Bus: Kendaraan besar beroda empat.

Nah, Ibu-ibu …
Naiklah bus, bukan bis, apalagi bas!

Kadang saya tantang para ibu untuk membuat kalimat, kemudian saya bahas—tentu dengan pendekatan dan penjelasan sesantai mungkin. Dengan begitu, mereka tidak merasa dihakimi. Contoh soalnya seperti ini:

#‎IngatEYD
Ingin kuhangatkan sore yang basah. Sayang, denting mangkuk tukang bakso mengiang sejenak lantas menghilang.

Kalian kutantang.
Buat dua atau tiga kalimat. Gunakan beberapa kata yang suku kata terakhirnya mengandung “ang-ing-ung-eng-ong”. EYD akan kita benahi bersama. Ayo, tulis. Kok malah “ndomblong” 

Hasilnya luar biasa. Daya imajinasi dan daya bahasa para ibu ini meletup tanpa katup!

Yang perlu saya lakukan hanya mengoreksi sebagian kaidah EYD yang meleset dan membiarkan sebagian yang lain. Tak perlu dikoreksi semua, nanti mereka jera. Saya juga kan tidak tahu semua.

Nah, mari bercanda.

Salam takzim,

Anna Farida, Kepala Sekolah Perempuan, juru siar EYD, penulis, tinggal di Bandung, www.annafarida.com