Jamur-jamur yang Tabah

Aku tidak suka bercocok tanam. Alasannya macam-macam—namanya juga alasan, selalu ada kalau dicari.

Aku punya dua pot tanaman yang tak pernah berbunga. Awalnya kusimpan di teras, tapi belakangan kupindahkan ke depan rumah agar kehujanan. Lumayan, tak perlu kusiram. Di kebun ada sebatang pohon jeruk purut, pohon cincau pemberian teman, binahong liar, dan serumpun semak dari rimpang tertentu. Mereka semua tumbuh mandiri, di bawah pohon avokad yang tak terlalu lebat dan sejumlah batang pisang yang berbuah bergantian.

Tetangga selalu kasih kabar kalau pisang sudah matang dan membantuku mengurusnya. Kuambil dua sisir teratas, kubagikan sisanya ke beberapa rumah. Selesai, kan?

Begitulah. Ya mau bagaimana lagi, aku tidak telaten mengurus tanaman.

Ketika dua pohon sirih yang diseteknya untukku mati, ibuku berkata prihatin, “Tanganmu ki jan panas tenan! Wong wis urip oyoten kari nyirami kok yo mati!” –Tanganmu itu panas betul! (Sirih) sudah tumbuh berakar hanya perlu disiram kok mati–

Minder, lah… tapi  kan ada petani yang berbaik hati menanamkan semua keperluanku dan aku tinggal beli. Bagi tugas, hehe….

Prinsip itu membuatku sedikit terhibur :-p

Eh, tapi suatu hari aku seperti dapat hidayah ilahiah. Di dekat rumah ada kumbung jamur yang baru dibuka. Aku beli dua baglog, dengan harapan mereka memenuhi kriteria tanaman yang kusuka: bisa dimakan dan mandiri. Kan tujuan utamaku mengajak anak-anak punya tanaman, setelah sebelumnya punya ulat peliharaan sampai jadi kupu-kupu.

Ini dia liputannya:

Hari pertama beli, 24 Januari 2014

jamur 24012014

 

 

 

 

 

 

 

Aku menempatkan dua baglog ini di gudang. Karena sedang sering hujan, kupikir temperatur di gudang lumayan lembap. Ternyata aku salah haha… Tapi toh jamur ini tabah dan terus tumbuh.

25 Januari 2014

jamur 25012014

 

 

 

 

 

 

 

 

Hari demi hari mereka terus tumbuh mandiri 😀

 

26 Januari 2014

jamur 26012014

 

 

 

 

 

 

Percaya diriku melambung. Mungkinkah panas di tanganku mulai reda? Tibalah saat panen raya.

 

27 Januari 2014

jamur 27012014

 

 

 

 

 

 

Setelah kedua baglog kupanen…

Mulai minder lagi aku. Seminggu, dua minggu, tiga minggu… baglog kusemprot air setiap pagi. Tapi kok tidak ada juga tanda-tanda kehidupan. Anak-anak bahkan mulai lupa bahwa mereka punya tanaman.

Aku diam-diam kecewa, dan suamiku angkat bicara, “Gudangnya terlalu panas, itu. Tutup baglog-nya dengan ember besar.”

Aku sudah kehilangan minat. Tapi demi mematuhi petuahnya, kututupi spora merana itu dengan ember.

Ehh… dua hari kemudian, aku melihat tanda kehidupan! Jadi memang selama ini mereka kepanasan!

 

18 Februari 2014

jamur2 18022014

 

 

 

 

 

 

 

Masih dalam naungan ember, dia pun tumbuh tak tertahan.  Baglog yang satu belum memperlihatkan tanda kehidupan.

 

20 Februari 2014

jamur2 20022014

 

 

 

 

 

 

 

 

Sehari berikutnya… 21 Februari 2014

jamur2 21022014

 

 

 

 

 

 

Hari ini, 22 Februari 2014, Luthfa dan aku panen untuk kedua kalinya.

jamur2 22022014

 

 

 

 

 

 

 

 

Akankah ada panen ketiga? Entahlah… 😀

 

Kabar terkini, 21 maret 2014

Kemandirian mereka teruji sudah. Selama dua bulan, seminggu sekali, mereka memberi kami makan 😀

Aktivitas kedua baglog ini stabil setelah mereka kusimpan di lantai dan selalu ditutup ember besar. Kita lihat, apakah benar mereka bertahan hingga empat bulan, sesuai penerawangan sang pemilik kumbung.

jamur 21032014

Kelas Menulis Online Self Editing

Malam tadi adalah malam terakhir.

Dua bulan ini saya mengawal dua generasi kelas bertajuk Kelas Menulis Online (KMO) Self Editing. Penyelenggaranya adalah komunitas Ibu-ibu Doyan Nulis (IIDN), pesertanya tentu ibu-ibu. Tujuan kelas ini sederhana: belajar mengoreksi dan menyunting naskah sendiri. Pesertanya dari berbagai wilayah Indonesia, ada yang dari luar negeri. Kelas yang digunakan adalah sebuah lorong rahasia di Facebook. Pesan tersembunyi dari kelas ini adalah menjadikan media sosial sebagai sarana belajar, berjejaring dalam kebaikan, dan berbagi manfaat.

KMO Self Editing

KMO Self Editing, foto oleh Ardiba Sefrienda

Tunggu. Jangan bayangkan suasana kelas editing ini serius dan penuh kerut. Selama dua bulan, dua gerombolan ibu meramaikan malam-malam saya dengan celoteh, senda gurau, pertanyaan, bahkan perisakan yang menyenangkan. Kelas yang digelar dua jam setiap malam ini pun jadi ajang bertukar ilmu dan wawasan, sekaligus berbagi ikatan persahabatan.

Dengan sejumlah pertimbangan, saya memilih lima materi ini untuk disajikan:

1. Mengapa naskah wajib disunting?
2. Mengolah diksi sesuai target pembaca.
3. Mengenali kalimat tidak efektif dan mengoreksinya.
4. Menata paragraf agar nyaman dibaca.
5. EYD dan selingkung.

Saya melewatkan detail materi tertentu dan memberikan porsi lebih di  materi yang lain, disesuaikan dengan keperluan peserta. Bahasa Indonesia yang mungkin jadi pelajaran membosankan saat di bangku sekolah, kini menjelma sebagai pelepas penat. Menyunting tulisan teman dan tulisan sendiri itu hiburan, bahkan mengunduh dan menjajal KBBI daring pun jadi permainan yang mengasyikkan—atau membingungkan bagi yang gagal mengunduh, ehehe…. Kan wajib melibatkan emosi dalam pembelajaran.

Saya berani bersumbar bahwa KMO Self Editing adalah kelas terpadat yang pernah saya kawal. Semua diskusi dan tugas dipajang di dalam kelas agar peserta saling belajar. Dari empat jenis penugasan, saya memberikan penilaian dan masukan secara terbuka. Semoga, peserta kenyang dengan ratusan paragraf, lengkap dengan pembahasannya, bonus rumpian dan jitakan saya 😀

Ibu-ibu yang ajaib. Di antara padatnya aktivitas pekerjaan dan rumah, mereka sempat bermain dengan diksi, imbuhan, frasa, kalimat, kohesi, koherensi, merubah… eh, mengubah, hehe…

Kelas ini nyaris tak pernah sepi. Ketika saya berhalangan hadir pun, mereka menciptakan diskusi sendiri. Hingga malam terakhir tadi, pertanyaan masih saja dilontarkan. Enggan rasanya berhenti.

Sayang, tiba juga saatnya saya berterima kasih, berpamitan, meminta maaf, dan mengucapkan salam, “Jayalah di udara” hahaha….

Memisahkan Biji Sirsak

Selain es durian, aku suka jus sirsak.

Jus yang lain juga suka, wong jus bayam dan binahong saja kutelan 😀

Rasanya yang masam membuat jus sirsak kurang digemari di rumah. Karenanya, jadilah ia jus spesial bagiku, haha…

Dulu, aku paling emoh mengurus sirsak karena bijinya yang merepotkan. Aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk memisahkan bijinya dengan senjata garpu. Hasilnya adalah lengan pegal dan tangan lengket.

Sungguh malang buah ini. Belum di-jus saja sudah bikin kesal 😦

Beberapa waktu kemudian, seseorang membisikkan rahasia memisahkan biji sirsak dengan cara yang mudah. Sayang aku lupa siapa dia.

Melupakan kebaikan seseorang itu memang mudah, ya.

Karenanya, tulisan ini kupersembahkan kepadanya, siapa pun dia, semoga kebaikannya mendapatkan pahala, amin.

Potong dan kupas sirsak

Potong dan kupas sirsak

Pertama:

Cuci dan kupas sirsak, potong jadi beberapa bongkahan besar.

Kedua:

Siapkan blender, isi air matang sedikit saja. Kira-kira cukup untuk membuat blender berputar.

Biji terpisah setelah diblender sebentar

Biji terpisah setelah diblender sebentar

Ketiga:

Masukkan bongkahan sirsak secukupnya. Aktifkan blender dengan kecepatan rendah. Asal berputar saja. Jangan dibiarkan terlalu lama, nanti bijinya ikut tergiling. Sreeet… sreeet… Begitu saja 😀 Ulang beberapa kali.

Pisahkan bijinya dengan mudah

Pisahkan bijinya dengan mudah

Keempat:

Tuang sirsak ke wadah. Seharusnya biji sirsak sudah lepas dari dagingnya. Anda tinggal memunguti bijinya dengan sendok.

Kelima:

Daging sirsak sudah siap dijus sesuai selera.

Selamat menikmati jus sirsak yang masamnya mengalahkan masamnya kehidupan 😀