MENYISIHKAN EGO

IMG_20170629_115053.jpgRepost kulwap minggu ini

Salam Sehati, Bapak Ibu.
Ini kulwap ke-89, edisi spesial Iduladha. Saat ini orang-orang menyembelih binatang kurban, kita akan menyembelih ego.
Saya akan sarikan untuk Anda, sebuah artikel yang ditulis oleh seorang jurnalis, Fani Stipkovic.
Cara pandangnya unik, membuat saya meringis beberapa kali:

Jim Carrey berkata, “Jika mendengarkan ego, Anda akan melihat orang lain selalu lebih sukses, lebih berhasil, dan lebih wow dari Anda. Setinggi dan sebagus apa pun pencapaian Anda, ego itu tidak akan membiarkan Anda berhenti. Dia akan membujuk Anda untuk tidak mudah puas sampai mati.”

Lihat betapa ego itu penuh tipu daya. Dia selalu mengiming-imingi kita, menjanjikan kita dengan sesuatu yang sebenarnya sudah kita miliki.

Mari kita lihat bagaimana jiwa kita tumbuh.

Saat masih anak-anak, kita tidak takut mengekspresikan emosi, tidak cemas dengan apa yang mereka pikirkan, tidak takut disebut tidak tahu atau tidak bagus.

Pada tahap pertama perkembangan pribadi, kita berusaha menyesuaikan diri dengan orang-orang dan lingkungan yang berbeda. Salah satu tujuannya adalah agar kita merasa berharga dan diterima.

Pada saat itulah pikiran kita mulai bekerja dan ego kita mulai tumbuh, mulai mengontrol hidup kita.

Kita mulai memilih melakukan sesuatu dengan tujuan agar disukai, bukan karena kita memang mesti melakukannya. Kita juga takut melakukan sesuatu karena pernah mengalami hal buruk pada masa lalu—padahal ada kemungkinan hal itu bisa jadi kebaikan pada masa yang berbeda.

Masalahnya, ketakutan itu bukan murni karena KITA, tapi takut karena pandangan orang lain kepada kita.

Misalnya, kita bukan takut pada kegagalannya, tapi pandangan orang lain kepada kita ketika kita gagal. Gengsi, jaim, malu, pencitraan, you name it.

Dengan terus menerus memelihara perasaan semacam itu, alih-alih menghindarkan diri dari masalah, kita sebenarnya sedang sedang menutup diri dari datangnya pengalaman baru.

Misalnya, sebagai pasangan, kita pernah ribut karena membahas anggaran belanja yang berlebihan. Pasangan menuding—halah—kita sebagai orang yang cenderung pelit, atau bahkan matre.

Sesudahnya, kita enggan membahasnya karena takut bertengkar lagi—ini yang perlu ditelusuri. Kita takut bertengkar biasanya karena tidak mau ego kita terluka. Kita malu terlihat bersalah, malu terlihat tidak salihah #anotherhalah.

Padahal, kita punya peluang yang selalu terbuka untuk memperbaiki komunikasi. Memang ada risiko ribut di sana, tapi ada peluang juga untuk belajar. Memang ada kemungkinan ego kita terluka (lagi dan lagi) tapi dari situ kita tumbuh menguat.

Dengan anak-anak, misalnya, kita pernah punya pengalaman jadi tontonan orang saat dia berguling-guling minta mainan di supermarket.

Sejak itu, pilihan kita hanya tidak mengajaknya berbelanja, atau terpaksa menuruti permintaannya. Ego kita bicara. Kita malu jika harus jadi tontonan orang (lagi), malu terlihat sebagai orang tua yang tidak sukses mendidik anak #thenexthalah

Jadi, dalam peristiwa diskusi anggaran dan guling-guling di supermarket itu, ego kita pegang kendali. Dia menjanjikan perasaan sukses yang semu, ketenangan palsu. Cuma sejenak, dan masalah akan datang kemudian dengan intensitas yang lebih besar #ngancem

Lantas bagaimana cara merehabilitasi ego yang sok belagu itu?

Salah satu resep termudah adalah belajar minta maaf dan memaafkan. Kata Gandhi, orang lemah tidak pernah bisa memaafkan. Maaf adalah sifat orang yang kuat. Ego menghalangi kita untuk memaafkan orang lain dan memaafkan diri sendiri.

Kita bisa mengurangi belagunya ego dengan memberi dan meminta maaf secara fisik. Bilang saja maaf, bilang saja oke saya maafkan. Walau hati masih dongkol setidaknya lidah kita sudah berusaha minta dan memberi maaf. Dengan niat baik, lama-lama kita akan jadi benar-benar pemaaf.

Ego kita ini seperti pengontrak yang menyebalkan. Dia habiskan semua ruang dengan barang-barang miliknya, sampai tuan rumahnya sendiri tidak kebagian tempat. Meminta dan memberi maaf akan menyingkirkan beberapa barang milik ego itu, sehingga ada ruang terbuka untuk emosi yang lebih positif.

Jadi, ketika pasangan menuduh kita matre, atau anak guling-guling di supermarket, mintalah maaf dan maafkan dia.

Walau sekadar maaf di lisan, bukan di hati, percayalah, efeknya tetap ada. Namanya juga latihan. Kita kan tidak bisa mendadak jadi jagoan.

Nah, pada hari mulia ini, saya mohon maaf setulusnya—jemari dan hati saya—pada peserta kulwap yang selalu mengajari saya untuk menjaga wilayah ego dalam diri saya dan selalu menagih uang kontrakannya tepat waktu #apaseh.

Kulwap ini terselenggara atas sponsor buku “Parenting with Heart” dan “Marriage with Heart” karya Elia Daryatiti dan Anna Farida.

Salam Iduladha, salam takzim
Anna Farida

#orangtuabelajar #pasutribelajar #learnhowtolearn #kulwap #kuliahviawatsapp #marriage #parenting