Yang juga membedakan manusia dengan binatang adalah kemampuannya merepotkan orang lain.
Lihat saja apa yang dia lakukan begitu kehadirannya diketahui oleh ibunya.
Ada yang gembira sepenuh jiwa, “Alhamdulillah, positif!”
Ada yang cemas penuh sesal, “Oh, no! Kok positif?”
Pertapaannya di dalam rahim hingga proses kelahirannya melibatkan banyak orang: ayah ibunya, tenaga medis, kakek nenek, kerabat, tetangga, teman orang tuanya …
Tak mungkin dia bangkit sendiri mencari kain bedongnya.
Tangis pertamanya ditaburi ucapan selamat dibalur doa-doa. Pertumbuhannya dituntun oleh banyak orang. Dia dijaga benteng bantal guling saat belajar tengkurap, dialas tilam empuk ketika belajar duduk. Air susu tak henti disodorkan, langsung ke mulutnya. Makanan halus disajikan dan disuapkan, tinggal ditelannya.
Saat langkahnya mulai terayun satu dua, genggaman hangat membimbingnya. Tak seperti bayi kambing yang harus tersungkur dan bangkit sendiri, lengan-lengan terbuka lebar untuk menyongsong pijakan goyahnya. Ada senyum yang membuatnya merasa aman menapak, ada pelukan hangat yang menyambutnya.
Saat dia tumbuh sebagai anak-anak, sebagai remaja, sebagai orang dewasa, tak henti orang tuanya menggumamkan doa. Tak henti orang-orang di sekelilingnya membantunya hidup–ada yang mengajarinya kebaikan, ada yang menjerumuskannya dalam keburukan. Tak salah bila ada ucapan, “Baik buruknya seseorang turut ditentukan oleh bantuan kehidupan yang diterimanya”.
Di rumah, kepadanya disampaikan nilai-nilai kemuliaan: hormat kepada yang lebih tua, sayang kepada yang lebih muda, adil dengan sesama manusia. Di sekolah, kepadanya diajarkan ilmu dan wawasan, oleh guru oleh kawan. Di lingkungan tetangga dia belajar, di lingkungan kerja, dia belajar. Semua dia lakukan di antara manusia lain, yang bisa disentuhnya maupun yang dikenalnya melalui jejaring maya.
Hingga tiba saat kematiannya, manusia lain pun masih melibatkan diri. Ada yang melakukannya karena tulus cinta padanya, atau karena hormat pada orang tua dan anak-anaknya, atau sekadar prihatin karena tiada manusia lain yang mau mengurusnya.
Tak mungkin dia mencari sendiri kain kafannya. Mustahil dia berjalan sendiri ke kuburnya. Penghormatan yang terakhir sebagai manusia, pun dia terima dari orang-orang di sekitarnya.
Sekian gelintir, sekian puluh, sekian ratus … sekian banyak manusia lain ikut membentuk nilai kehidupan yang diyakininya. Dia belajar dari banyak guru dalam rentang usianya. Proses dan hasil belajar itulah yang akan dibawanya sebagai secuil kecil bekal untuk menghadap Tuhannya.
Manusia, dari awal kehadirannya hingga kepulangannya, adalah murid dari manusia lain.
Hari ini, 25 November 2014, adalah Hari Guru.
Untuk semua guru, dari sejak kelahiranku hingga kematianku, terima kasih atas semua bekal tentang laku hidup, kebaikan, dan ilmu. Salam takzim, ampuni kelalaikanku atas ajaranmu.