kejar tayang HEBRON JOURNAL

Dua minggu ini aku (bersama 2 penerjemah lain) kerja keras menuntaskan terjemahan yang kejar tayang. Hebron Journal sudah harus terbit sebelum jadwal kedatangan Arthur Gish, penulisnya, ke Indonesia.

Menerjemahkan catatan harian ini tak ayal membuatku sering terpaku, membayangkan betapa carut marut kehidupan umat Islam di Palestina. Malu rasanya saat ingat betapa leluasa kehidupan ber-Islam di sini, tapi aku tak juga mau menjalaninya dengan tekun. Islamku seadanya, imanku seadanya, taqwaku seadanya, semua serba seadanya.

Aku jadi ingat saat kisah para perempuan pelaku bom bunuh diri di sana. Tiga tahun lalu, aku menerjemahkan Army of Roses, juga terbitan Mizan, dan sering menahan tangis di depan komputer. Perempuan-perempuan itu bagai mati rasa. Saat dirundung putus asa, mati syahid adalah obsesi yang mudah membakar semangat siapa pun. Sedih rasanya membaca kesaksian mereka, bahwa mereka rela mati demi membela kehormatan keluarga, demi agama (alih-alih berbagai analisa psikologi Barat atas kerapuhan jiwa mereka).

Frustrasi bisa membuat orang apatis. Namun lain halnya dengan Arthur Gish. Selalu saja ada harapan yang dilihatnya, walau di tengah bencana kemanusiaan di Tanah Suci Palestina. Art (juga istrinya) adalah penganut Kristen taat yang sudah melintasi sekat ritual maupun sekat ras. Dia memandang manusia dengan kemanusiaannya. Dia rela menjadikan dirinya tameng hidup, menghalangi tank Israel yang hendak menyapu peradaban Islam di Palestina. Bertahun-tahun dia menyuarakan cinta, menemani korban pencaplokan tanah, dan turut menempati rumah warga Palestina yang terancam dibuldoser.

To Anna, Salam damai, begitu tulis Arthur Gish di halaman muka buku Hebron Journal terbitan Mizan yang dihadiahkan padaku. Art, salam damai.juga untukmu.

The TEMPLE DANCER (John Speed), review untuk Mizan

temple-dancer1
Penerbit Mizan memintaku untuk mereview sebuah novel, The Temple Dancer tulisan John Speed, yang pada akhirnya tidak jadi diterbitkan. Untuk membuat review ini, berhari-hari aku berselancar cari data tentang profesi penari kuil di India. Korespondensiku dengan Dewi Chandraningrum di Jurnal Perempuan juga memperkaya wawasan.Dia berharap novel ini terbit, namun dengan berbagai pertimbangan, redaksi Mizan memutuskan untuk menolaknya.

Berikut reviewnya:

Novel ini diawali dengan kisah keluarga Dasana, keluarga Portugis kaya di Goa yang tengah menghadapi kebangkrutan di abad ke-17. Untuk menjamin kelangsungan kesejahteraan mereka, diaturlah sogokan kepada pihak yang mereka anggap akan menjadi penguasa. Maya, bekas penari kuil, akan dikirim ke Wali Khan (sang calon penguasa) untuk dijadikan selir. Perjalanan mengantarkan Maya ke Bijapur inilah yang membangun jalinan kisah seluruh tokoh utamanya……. Continue reading