The TEMPLE DANCER (John Speed), review untuk Mizan

temple-dancer1
Penerbit Mizan memintaku untuk mereview sebuah novel, The Temple Dancer tulisan John Speed, yang pada akhirnya tidak jadi diterbitkan. Untuk membuat review ini, berhari-hari aku berselancar cari data tentang profesi penari kuil di India. Korespondensiku dengan Dewi Chandraningrum di Jurnal Perempuan juga memperkaya wawasan.Dia berharap novel ini terbit, namun dengan berbagai pertimbangan, redaksi Mizan memutuskan untuk menolaknya.

Berikut reviewnya:

Novel ini diawali dengan kisah keluarga Dasana, keluarga Portugis kaya di Goa yang tengah menghadapi kebangkrutan di abad ke-17. Untuk menjamin kelangsungan kesejahteraan mereka, diaturlah sogokan kepada pihak yang mereka anggap akan menjadi penguasa. Maya, bekas penari kuil, akan dikirim ke Wali Khan (sang calon penguasa) untuk dijadikan selir. Perjalanan mengantarkan Maya ke Bijapur inilah yang membangun jalinan kisah seluruh tokoh utamanya…….

Geraldo, salah seorang kerabat Dasana ditugaskan mengawal Maya, bersama dengan seorang pengawal bayaran bernama Da Gama. Menjelang keberangkatan, Lucinda, pewaris Dasana, memutuskan untuk turut serta. Dua perempuan dengan latar belakang yang sangat berbeda itupun menunggang gajah melewati serangan bandit, menghadapi intrik, pengkhianatan, pembunuhan, berurusan dengan Slipper—kasim licik yang memburu benda misterius milik Maya.

Hadir pula tokoh Pathan, seorang kapten Muslim utusan Wali Khan, yang bertugas menjemput Maya, Kemuslimannya seringkali membuatnya berseberangan dengan rekan perjalanannya yang Kristen & Hindu. Namun sebuah peristiwa membuatnya jatuh cinta dengan salah satunya,

Cerita sudah mengalir sejak halaman-halaman awal.. Pembaca tak perlu menunggu lama untuk tahu inti masalahnya, jadi segera tergugah untuk terus membaca. Aroma sensual yang misterius langsung terasa. Disebut misterius karena peran penari kuil (devadasi) ini memang menarik untuk ditelusuri. Mereka memiliki peran yang dipandang suci karena bertugas menari untuk ‘membangunkan’ dan memuja dewa-dewi, dan menjadi sarana bersetubuh (maaf) oleh tetamu kuil dan para pendeta yang dimaknai sebagai ibadah.

Sayangnya, di bagian dua, saat rombongan dihadang bandit, detail pertempurannya terlalu panjang. Walaupun begitu, deskripsi panorama yang indah, tandu di atas gajah yang unik dan eksotis, perbincangan satiris antara Maya dan Lucinda, juga Slipper kasim yang menyebalkan membuat kisahnya tetap menarik disimak. Peran kasim dalam masyarakat (penguasa) India dijabarkan dengan menarik oleh John Speed.

Detail di bagian awal ini tidak konsisten dengan singkatnya klimaks kemudian antiklimaksnya yang selesai dalam beberapa halaman terakhir. Rangkaian peristiwa penting terjadi seolah berdesakan di bagian akhir. Masih ada misteri penting yang sengaja dilewatkan oleh Speed (mungkin disimpan untuk prekuel atau sekuelnya….)

Selanjutnya, yang perlu dipertimbangkan adalah unsur yang bisa dianggap pornografi. Alat kelamin laki-laki dan perempuan seringkali disebutkan dalam novel ini (walau dalam bahasa Hindi atau Portugis); perbicangan tentang imaji sensualitas dengan sang devadasi acapkali dibahasakan dengan vulgar. Deskripsi hubungan badan sepasang tokohnya juga ditulis eksplisit, termasuk teknik kamasutra yang menjadi salah satu bacaan wajib Maya. Walaupun begitu, saya tidak yakin bahwa novel ini akan utuh jika bagian-bagian tersebut dihilangkan, karena memang sensualitas Maya termasuk komponen utama kisah ini.

Selain itu, perlu ditelusuri lebih jauh tentang status penari kuil ini dalam masyarakat India (Hindu???) di masa kini. Dalam Islam, hubungan badan di luar pernikahan adalah zina dan dosa. Sebaliknya, hubungan badan—juga di luar nikah—dengan devadasi adalah ibadah. Status mereka yang suci membuat penari kuil bisa menjadi sarana berkomunikasi dengan dewa-dewi. Saya sudah merusaha menggali informasi dari berbagai sumber, namun masih ragu tentang status “tugas” mereka ini. Benarkah masih berlangsung hingga saat ini?

SARA? Status devadasi di India (Hindu) bisa menimbulkan polemik—untuk tidak menyebutkan antipati, karena dalam sudut pandang Islam dianggap pezina. Novel ini jadi layak untuk diterbitkan Mizan jika ditujukan untuk membuka khazanah pengetahuan pembaca, khususnya tentang profesi penari kuil, dan tradisi India (Hindu). Lagipula, mayoritas pembaca novel-novel Mizan diasumsikan dari kalangan yang lazim ‘belajar.’

Tema-tema yang bernuansa sensual memang tetap menarik minat pasar. Namun demikian, ada baiknya Mizan melakukan penyuntingan di beberapa bagian yang vulgar, agar tetap santun dibaca, tanpa memangkas keindahan ceritanya.

Sekian, semoga berkenan.

Berikut jawabanku atas sejumlah pertanyaan lanjutan Mizan atas reviewku:

Speed lebih menempatkan devadasi dalam posisinya yang mulia dengan lebih banyak membuat tokoh-tokoh Hindu berbicara dalam novelnya. Hanya sedikit bagian yang mengetengahkan dialog tokoh-tokoh Kristen – Muslim saat mempertanyakan statusnya, atau menyamakannya sebagai perempuan ’nakal’ .

Walaupun begitu, sensualitas merupakan benang utama yang mengikat jalinan kisah dalam novel ini. Bila dihilangkan, rasanya bakal jadi garing. Pembaca juga pasti menunggu-nunggu untuk menemukan bagian semacam itu. Ketika ternyata tidak ada…..(what do you think?)

Mungkin cukup diperhalus.

Dengan tema semacam ini, adegan percintaan bukan hal yang jorok…Tapi kalau Mizan yang menerbitkan tanpa editing akan jadi lain ceritanya. Karena itu….perhalus saja bahasanya…

Menurut saya sebagai reviewer (bukan Ibu seorang anak cowok yang mulai puber….) novel ini UNIK. Ada khasanah pengetahuan baru yang saya temukan, yang membuat saya kian cinta pada kemuliaan Islam.

Selain itu, sejauh yang diinformasikan sheikh Google, tema devadasi ini jarang dibahas dalam literatur Indonesia. Novel-novel berbahasa Inggris dengan tema ini juga hanya 3 yang berhasil saya temukan.Tak banyak memang, hikmah kehidupan yang diajarkan di dalamnya—selain bahwa harta bisa membuat sebagian orang lupa segalanya. Bahkan saya sempat heran, bagaimana bisa kehinaan bisa dianggap kemuliaan (ini menurut kacamata saya yang Muslim). Ada baiknya Mizan bertanya kepada penganut Hindu untuk memperoleh perspektif lain.

Walaupun alur ceritanya datar saja (sama sekali tidak menegangkan), tapi beberapa bagian cukup membuat saya tertegun. Keindahan alam India, perjalanan dengan gajah, peran para kasim yang misterius, obrolan perih antara Maya-Lucinda…

SARA? Sama sekali tidak. Sekedar pandangan sang Kapten Pathan terhadap kebiasaan minum anggur di kalangan Kristen, juga terhadpa status devadasi dalam ajaran Hindu. Itupun hanya selintas dan dibahasakan dengan lazim.  Sekian.

Novelnya tidak jadi diterjemahkan Mizan, tapi e-book nya aku punya. Mungkin Mizan ga keberatan kalau ada yang penasaran mau baca. Mau?

2 thoughts on “The TEMPLE DANCER (John Speed), review untuk Mizan

  1. klo berminat ama e-book The Temple Dancer gimana caranya?? soalnya setelah baca review nya aku tertarik tuk membacanya (memiliki bukunya jika ada).

Leave a comment