Catatan Rindu

Shadow Diver

Shadow Diver

Ketika beres-beres rak buku—yang nggak pernah beres—aku menemukan dua lembar kertas di dalam kamus tua. Keduanya terlipat, nyaris lengket, tintanya mulai berbaur antara dua sisi yang semua kutulisi.

Aku meringis membaca isinya: definisi dari aneka istilah kapal selam.

Ternyata, kertas itu peninggalan dari pekerjaan terjemahan Shadow Diver, tahun 2004. Saat itu akses internet di rumah masih belum semudah sekarang. Pilihanku hanya warnet atau Telkomnet Instan yang mahal dan lelet itu hehe…

Jadi, Googling di rumah sama sekali bukan pilihan yang sangkil dan mangkus—Aha! Akhirnya aku dapat kesempatan memakai dua kata itu.

Ke warnet aku juga merasa tidak nyaman.

Pilihanku tentu perpustakaan.

Segera kubaca cepat naskah terjemahanku sambil mencatat semua istilah yang tidak kutemukan di kamus. Dan mulailah aku membongkar ensiklopedi di perpustakaan daerah.

Aku melakukannya selama nyaris seminggu, sesekali sambil membawa anak-anak.

Sama sekali tidak ada rasa berat. Santai saja.

Delapan tahun kemudian….

Nggak kebayang aku melakukannya lagi.

Boro-boro berkunjung ke perpustakaan, buka kamus cetak pun hanya kulakukan  ketika koneksi internet mati mendadak. Kamus daring terasa lebih praktis karena mejaku tak perlu penuh dengan aneka kamus. Definisi kata apa pun bisa kutemukan tanpa harus beranjak dari meja. Perpustakaan daring dari berbagai kampus kelas dunia bermurah hati memberikan akses gratis dan praktis.

Jelas, dong, aku merasa sangat terbantu. I’m a Goog-Mom, remember?

Tapi…

Saat memandangi catatan yang berdesakan, memenuhi setiap sisinya

Di hatiku terselip rindu.

Perempuan-Perempuan Penjemput Ajal

Repost dari Komunitas Ruang Baca Tempo, by Damanhuri

Judul buku: Army of Roses, Kisah Nyata Para Perempuan Pelaku Bom Syahid

Penulis: Barbara Victor

Penerjemah: Anna Farida

Penerbit: Mizan, Bandung, September 2005

Tebal: xiii + 404 halaman

Tak ada yang bisa disuguhkan perang selain malapetaka. Nalar sehat siapa pun tentu akan mengiyakan konstatasi ini.

Horor kematian yang setiap saat siap menjemput, ancaman raibnya masa depan anak-anak, malnutrisi dan serangan wabah penyakit, juga trauma pascaperang, adalah beberapa impak paling gamblang akibat gelegak perang yang disulut manusia.

Tapi anehnya kecamuk api peperangan masih saja menyala di sebagian pojok belahan dunia yang kian renta ini. Sengketa perbatasan wilayah negara atau perselisihan ideologi, misalnya, hingga kini acap jadi picu pelatuk yang menggerakkan naluri purba umat manusia untuk saling mengenyahkan satu sama lain. Kemajuan peradaban yang dicapai tangan dingin umat manusia dalam kenyataanya bukan kian memudahkan manusia untuk menyalakan api perdamain dan persaudaran abadi antarsesama seperti diharapkan; tapi sebaliknya malah lebih sering meredupkan dan bahkan mematikannya hingga jalan bagi terwujudnya harapan mulia itupun mampat dan tersumbat rapat.
***

Begitu banyak karya yang menguntai rumbai kisah kengerian yang dilahirkan peperangan tersebut dan darinya kita pun sesungguhnya bisa menambang kearifan untuk tak merayakannya lagi. Dan buku Army of Roses karya Barbara Victor ini merupakan salah satu karya yang merekam secara apik gejolak bara api permusuhan antara Palestina dan Israel yang seolah tanpa ujung itu.

Dalam buku yang didukung riset selama hampir satu tahun ini, kita disuguhi kisah-kisah getir para ibu yang tiba-tiba dengan dada sesak harus melepas suami, anak-anak, atau sanak saudara tercintanya ditawan tentara Israel untuk kemudian raib entah di mana. Tak ketinggalan paparan cukup detail ihwal alotnya tarik-tolak diplomasi antarelite kedua negara itu dalam mewujudkan perdamaian.

Tapi, selain jalinan narasi apik ihwal sisi-sisi paling muram buah peperangan yang juga telah banyak didedah media massa itu, apa yang paling menarik dari buku karya jurnalis untuk CBS Television dan US News and Worlds Report ini adalah tilikan cermatnya yang lebih terfokus pada babak baru perjuangan rakyat Palestina dengan keterlibatan kaum perempuan dalam upaya kemerdekaan negerinya. Apalagi, keterlibatan kaum perempuan itu, ironisnya, ditempuh tidak dalam “cara konvensional”; tetapi dengan jalan menjemput ajal secara sukarela dalam aksi bom bunuh diri yang biasanya secara salah kaprah digeneralisasi media massa Barat sebagai aksi terorisme.

Tak hanya mendedahkan jalan syahid yang ditempuh empat perempuan Palestina (Wafa Idris, Darine Abu Aisya, Ayat al-Arkhas, dan Andalib Sulaeman Takatka), Barbara Victor pun begitu jauh masuk ke dalam jejaring akar-akar teologis-ideologis dan konteks sosial-politik-ekonomi masyarakat Palestina yang “menggoda” mereka yang dijuluki Arafat sebagai “Lasykar Mawar” itu untuk memungut kematian sebagai puncak kemuliaan hidup. Menelisik sisi-sisi yang tak tersingkap selama ini mengapa kaum perempuan Palestina di sepanjang Jalur Gaza dan Tepi Barat akhirnya “mulai memendekkan rok, memakai celana panjang, dan menanggalkan kerudung mereka”. Juga mendedah secara rinci bagaimana mereka berhenti pada sebuah keyakinan bahwa pilihan paling mulia yang bisa ditempuh untuk kehidupan yang tengah dilakoninya adalah dengan jalan mengakhirinya.

Tak diabaikannya sisi tersebut bagaimanapun sangat penting. Sebab, pilihan kaum perempuan Palestina untuk menjadi martir atas nama agama dan negara dengan “meledakkan diri”, menurut Barbara Victor, sesungguhnya bukan tak didesak kekuatan-kekuatan di luar kendali kesadaran autentik kaum perempuan itu. Malah tak jarang, preferensi tersebut merupakan bukti telanjang suksesnya eksploitasi atas perempuan dengan berbalutkan kultur dan pemahaman agama yang patriarkis dalam masyarakat Palestina.

Apa yang diteriakkan penyokong Hamas dan Jihad Islam pasca-Intifadah pertama yang semula secara terang-terangan menista keterlibatan perempuan dalam aksi-aksi demonstrasi sebagai langkah tak patut, juga fatwa para ulama yang memosisikan peran ideal perempuan melulu di ranah domesik—karena menurut mereka “peran utama perempuan adalah melahirkan sedini mungkin dan sesering mungkin”—adalah dua contoh dari sebukit contoh lain yang dipungut Barbara Victor untuk menyokong paparannya. Padahal saat memasuki Intifadah babak kedua, bom bunuh diri diserukan sebagai kebajikan spiritual yang akan berbuahkan gemerlap surga. Di nuktah inilah buku dengan kualitas terjemahan cukup mengalir ini menyuguhkan sesuatu yang “berbeda” sekaligus tak mustahil dituding “kontroversial” oleh sebagian pembaca Muslim.

Cerita perih yang dipikul Wafa Idris—sekaligus jadi alasan utama bagi pilihannya menjadi pionir pelaku kamikaze di Palestina—yang merasa tersingkir dan tak bermakna di mata keluarga serta menghadapi kebuntuan untuk tak lagi jadi benalu keluarga, adalah contoh yang ditampilkan paling awal dalam buku ini. Tak berhenti di situ, bias patriarki pun kembali mengemuka saat tunjangan yang diterima keluarga Wafa hanya setengahnya dari jumlah tunjangan yang biasa diberikan kepada pelaku bom bunuh diri laki-laki.

Apa yang melatarbelakangi Darine Abu Aisya untuk “meledakkan diri” justru lebih ganjil lagi: ia melakukannya sebagai wujud pemberontakan atas kawin paksa yang dikehendaki orang tuanya dengan konsekuensi harus berhenti kuliah. Padahal menjadi akademisi adalah cita-cita yang terus menghuni relung kalbunya.

Tak begitu jauh berbeda dalam substansi, perkara nama baik keluarga merupakan pemicu mendasar bagi Ayat al-Arkhas untuk menjadi perempuan penjemput ajal yang ketiga. Bagi Ayat, rasa malu dan terhina yang tak tertanggungkan akibat keterlibatan ayahnya dalam perusahan jasa konstruksi milik Israel hanya bisa impas jika “ditebusnya” dengan menjadi syahidah.

Namun, sangat berbeda dari alasan ketiga perempuan di atas, motif pribadi yang melatarbelakangi Andalib Sulaeman Takatka dalam aksi kamikaze tampaknya paling ganjil: untuk menggapai ketenaran. Sebab, sebagai seorang gadis yang hidup bak generasi MTV—seperti tampak dalam kegemarannya mengoleksi majalah dan poster para selebritis serta VCD/DVD terbaru—pilihannya itu merupakan titik balik yang bahkan tak dipahami ibunya. Bagi sang ibu, pilihannya itu tak lain akibat sebuah hasutan. Andalib, dalam kalimatnya Barbara Victor, adalah gadis muda yang amat gampang terbujuk dalam fantasi diri sendiri tentang popularitas.

Alhasil, seperti sekilas telah diungkap di muka, paparan rinci yang tak jarang terkesan “sinis” sepanjang buku ini boleh jadi tak begitu “mengenakkan” mereka yang menilai aksi bom bunuh diri sebagai jalan mulia yang direstui ajaran agama. Tapi, ketelatenan Barbara Victor dalam mengungkai moralitas ganda yang mengidap para pembesar Palestina dan kaum agamawan konservatif dalam memosisikan status perempuan bagaimanapun sangat berharga untuk disambut apresiasi.

Sebab, dengan menyimak lembar demi lembar buku ini, lagi-lagi kita akan melihat bahwa dengan berlindung di balik jubah tradisi lapuk dan pemahaman harafiah serta distortif atas agama; kaum perempuan dieksploitasi, dikucilkan, dan akhirnya disepak ke bagian buritan paling belakang dalam perhelatan sejarah Palestina yang memang masih merayakan “masyarakat laki-laki” (al-mujtama’ al-abawy).

Damanhuri,
mahasiswa S-2 ICAS-Paramadina, Jakarta

Filsafat Islam dan Budaya China

(oleh: Sayyed Muhammad Khamenei)

Jalan Sutra yang pernah menghubungkan China ke Timur Tengah dan belahan dunia yang lain itu ternyata bukan sekedar rute yang digunakan untuk mengangkut barang dan menjalin hubungan dagang atau keterkaitan yang bersifat material, namun juga jalan untuk membangun hubungan dalam hal pemikiran, budaya, sains, industri, filsafat, dan mistisisme. Beruntung sekali saat itu ada jalan terbuka yang bisa menghubungkan hati dan saling bertukar cinta kasih antar bangsa.

Abad ke-6 SM merupakan titik balik bagi sejarah kebudayaan. Abad ini menyaksikan munculnya Zoroaster, nabi reformis yang saleh, yang juga teosof dari Persia. Selain itu ada pemuka ajaran moral dan filsafat yang jenius seperti Lao Tzu dan Konfusius, Buddha di India, Pythagoras dan Thales di wilayah yang berdekatan dengan Yunani. Menurut beberapa peneliti, dulu Pythagoras dan Thales pernah melawat ke Iran dan menjadi murid di sekolah-sekolah yang didirikan Imam Magi Persia. Ada juga beberapa pendapat yang menyatakan adanya berbagai persamaan yang dijumpai pada prinsip-prinsip filosofis Iran Kuno—yang disebut iluminasionisme atau Filsafat Timur—dengan doktrin-doktrin yang diperkenalkan oleh Buddha dan Lao Tzu (berkenaan dengan filsafat spekulatif, pemikiran mereka serupa dengan Mistisisme Islam modern); dan Konfusius (ajaran filsafat praktis, politik, dan prinsip pemerintahan yang diusungnya sejalan dengan dinasti Magi di Persia). Karena itu, muncul dugaan bahwa memang ada hubungan antara para teosof ini dengan para pemikir Iran, bahkan dengan Zoroaster sendiri.

Dasar pemikirannya adalah, para teosof Persia Kuno, yang dikenal dengan sebutan Magi, merupakan masyarakat kelas pertama setelah raja dan pengadilan, dan merupakan komunitas yang mandiri, dan luas cakupannya di masa itu. Disebutkan juga bahwa selama pemerintahan Cyrus dan raja-raja lain di masa itu, para Magi itu hadir di semua wilayah di sekitar Persia, dari anak benua India, hingga Mesir dan Yunani.

Continue reading